Eps16 Jejak Di Balik Kabut Karya SH Mintardja "Perutku sudah tidak dapat memuat lagi, Paman. " Penjual dawet itupun tertawa. Katanya.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Begitu dalam kesetiaan para pengikut Harya Wisaka, sehingga seorang yang berilmu tinggi seperti Ki Santen Ireng itu tidak dapat membuat pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berjuang untuk menempatkan Harya Wisaka pada kedudukan yang tertinggi, apa pun yang harus dikorbankannya. “Tetapi jika hal itu dilakukan oleh Ki Santen Ireng, tentu bukannya tanpa pamrih apa-apa” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Namun Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Sambil bergeser ke samping, Raden Sutawijaya telah bersiap sepenuhnya untuk bertempur melawan Ki Santen Ireng. Ki Santen Ireng pun tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menerkam Raden Sutawijaya. Jari-jari pada kedua tangannya yang mengembang menyambar ke arah wajahnya. Raden Sutawijaya dengan cepat menghindar. Hampir di luar sadarnya ia pun berdesis, “Kau mengenakan kuku-kuku baja itu, Ki Santen Ireng. Juga kau lapisi telapak tanganmu” “Kau dapat melihatnya?” “Tentu. Anak-anak pun dapat membedakan antara kuku aslimu dan kuku-kuku baja itu. Bahkan telapak tanganmu” Ki Santen Ireng tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Tangannya dengan jari-jari yang mengembang menyambar-nyambar menggapai tubuh Raden Sutawijaya. Tetapi di tangan Raden Sutawijaya telah tergenggam tombak pendek. Meskipun senjata itu bukan senjata khusus, tetapi tombak itu menjadi sangat berbahaya di tangan Sutawijaya. “Raden” desis Ki Santen Ireng kemudian, “aku tahu, bahwa kau bunuh Harya Penangsang dengan ujung tombak. Tetapi tentu bukan tombak mainan seperti yang kau pakai sekarang ini. Yang kau pakai untuk membunuh Harya Penangsang adalah tombak berlandean panjang. Tombak pusaka terbaik di Pajang, Kangjeng Kiai Pleret” Tetapi Raden Sutawijaya itu menjawab, “Meskipun tombakku sekarang tombak mainan, Ki Santen Ireng, tetapi ujungnya akan dapat mengoyak dadamu, menembus sampai ke jantung. Di tanganku, mainan kanak-kanak pun akan dapat menjadi sangat berbahaya bagimu dan bagi semua lawan-lawanku” Ki Santen Ireng tertawa berkepanjangan. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya terhenti. Dengan tangkasnya ia meloncat mengambil jarak. Hampir saja ujung tombak pendek Raden Sutawijaya menyentuh lengannya. “Kau memang tangkas bermain tombak, Raden” Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tombaknya terjulur lagi mengarah ke dada, sehingga Ki Santen Ireng harus meloncat mundur lagi beberapa langkah. Namun Raden Sutawijaya tetap memburunya. Ujung tombaknya semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulit Ki Santen Ireng. Dengan telapak tangan yang dilapisi baja hitam serta kukunya yang tajam kehitam-hitaman, Ki Santen Ireng berusaha melawan tombak pendek Raden Sutawijaya. Ditepisnya tombak yang terjulur itu. Bahkan dengan baja hitam di telapak tangannya, Ki Santen Ireng telah menangkis ujung tombak yang mematuknya. Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya memiliki kemampuan yang tinggi, sebagaimana namanya yang mendebarkan. Semakin lama maka Ki Santen Ireng itu harus mengakui kenyataan, bahwa Raden Sutawijaya yang masih terhitung muda itu benar-benar seorang berilmu tinggi. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng itu pun menjadi semakin terdesak. Ia tidak lagi dapat mengandalkan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku bajanya. Karena itu, untuk melawan ujung tombak pendek yang seakan-akan mempunyai mata dan memburunya kemana saja ia berloncatan, Ki Santen Ireng harus mempergunakan senjatanya yang lain. Dengan demikian, maka Ki Santen Ireng telah meloncat mengambil jarak. Dilepasnya lapisan baja di telapak tangan serta kuku-kuku baja di jari-jari tangan kanannya. Kemudian dicabutnya sebuah luwuk yang besar dan panjang. Raden Sutawijaya yang melangkah satu-satu mendekatinya sambil merundukkan ujung tombaknya tertegun. “Aku tidak lagi main-main, Raden” geram Ki Santen Ireng. “Jadi selama ini kau hanya main-main?” “Ya. Sekarang aku bersungguh-sungguh dengan luwuk peninggalan guruku ini” Raden Sutawijaya memandangi luwuk di tangan Ki Santen Ireng. Nampaknya pamornya berkeredipan ditimpa cahaya matahari. Luwuk itu memang luwuk yang sangat baik. “Tetapi segala sesuatu akan tergantung pada orang yang mempergunakannya” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. “Bukan sebaliknya” Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Disamping harus memperhatikan luwuk di tangan Ki Santen Ireng, Raden Sutawijaya masih juga harus memperhatikan tangan kirinya, yang masih mengenakan lapisan baja hitam di telapak tangannya, serta kuku-kuku baja di ujung jari-jarinya. Sementara itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Pasukan Ki Tumenggung Yudatama telah mendesak para pengikut Harya Wisaka. Apalagi setelah Ki Santen Ireng terikat dalam pertempuran melawan Raden Sutawijaya. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi telah memasuki padukuhan dari sisi yang lain, bersama para prajurit yang ada di arah lain dari Padukuhan Pandean itu. Meskipun mereka mendapat perlawanan dari para pengikut Harya Wisaka, tetapi para pengikut Harya Wisaka itu tidak mampu menghentikan gerak maju Pangeran Benawa, Paksi dan para prajurit. Di dalam Padukuhan Pandean, Pangeran Benawa dan Paksi pun segera berusaha menemukan Harya Wisaka yang mereka yakini masih berada di padukuhan itu. Sementara itu, Harya Wisaka sendiri, bersama para pengawalnya yang kuat telah siap untuk keluar dari padukuhan di arah selatan. Mereka siap untuk menembus kepungan yang tidak terlalu kuat di sisi selatan. Bahkan mereka pun telah bersiap menghalau prajurit Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang di arah selatan itu. Raden Suminar dengan orang-orang terpilih telah merintis jalan, menyibak pasukan Pajang yang berusaha menyumbat pintu gerbang. Dengan kemampuannya yang tinggi, Raden Suminar bersama para pengikut Harya Wisaka telah berhasil mendesak pasukan Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di dalam padukuhan. Tetapi para pengikut Harya Wisaka itu terkejut. Selagi mereka berusaha membuka jalan serta siap untuk keluar dari padukuhan, maka mereka telah mendapat serangan dari belakang. Pangeran Benawa dan Paksi yang berhasil menyusup memasuki padukuhan itu telah berhasil mengguncang para pengikut Harya Wisaka yang akan menyertainya keluar dari padukuhan dan menembus kepungan yang lemah di sisi selatan. “Gila” geram Gadungbawuk, “siapakah mereka itu?” “Prajurit Pajang” berkata salah seorang penghubung yang memberikan laporan kepada Harya Wisaka. “Siapakah pemimpinnya?” bertanya Harya Wisaka. “Pangeran Benawa” “Pangeran Benawa?” suara Harya Wisaka meninggi. “Jangan cemas, Ngger” desis Kiai Gadungbawuk. “Aku akan menghentikannya” Tetapi penghubung itu berkata pula, “Bersama Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi” “Siapa?” bertanya Harya Wisaka. “Aku tidak tahu namanya” jawab penghubung itu. “Raden Sutawijaya?” bertanya Harya Wisaka. “Bukan” “Tentu Paksi” geram Harya Wisaka. Ki Madujae lah yang menyahut, “Jadi ada gunanya pula aku pergi bersama Harya Wisaka. Biarlah aku menghentikan anak itu. Sebaiknya Harya Wisaka melanjutkan rencana memecah kepungan di sisi yang paling lemah. Apalagi sebagian dari mereka sudah berada di sisi. Biarlah Raden Suminar menjadi ujung tombak kelompok yang akan mengantar Harya Wisaka” “Baiklah, Ki Madujae” sahut Raden Suminar. “Percayalah, bahwa aku dapat menghancurkan pasukan yang akan menahan gerak kami” Demikianlah, maka Raden Suminar dan beberapa orang kepercayaannya telah menembus perlawanan para prajurit Pajang. Mereka berhasil keluar dari pintu gerbang padukuhan. Dengan garangnya Raden Suminar yang berilmu tinggi itu menyibak jalan dengan ujung pedangnya. Sementara itu beberapa orang yang menyertainya bertempur dengan garangnya seperti sekelompok serigala yang sedang lapar. Dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Paksi yang berusaha untuk dapat menangkap Harya Wisaka di dalam padukuhan telah bertempur dengan sengitnya. Mereka berusaha untuk dapat menembus pertahanan para pengikut Harya Wisaka yang bertempur tanpa mengenal surut. Mereka benar-benar siap untuk mengorbankan apa saja yang mereka miliki, termasuk tubuh dan nyawa mereka. “Orang-orang itu benar-benar kehilangan pribadi mereka” berkata Paksi di dalam hatinya. “Jika aku tidak berhasil menemukan adikku, maka ia akan menjadi seperti orang-orang itu” Gerak maju Pangeran Benawa pun terhambat ketika seorang tiba-tiba menghadangnya. “Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Benawa?” berkata Ki Gadungbawuk. Pangeran Benawa memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada datar ia pun menjawab, “Ya. Aku adalah Benawa” “Apakah Pangeran sedang memburu Harya Wisaka?” “Ya. Aku memang sedang memburu Paman Harya Wisaka. Paman adalah buruan yang harus ditangkap” “Kenapa Harya Wisaka harus ditangkap?” “Aku tidak mempunyai waktu untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Minggirlah. Jangan korbanku dirimu untuk melindungi Paman Harya Wisaka” Tetapi Ki Gadungbawuk tertawa. Katanya, “Siapakah yang akan mengorbankan dirinya? Aku akan bertempur dengan sungguh-sungguh. Siapa yang menghalangi aku, akan aku singkirkan” Ki Gadungbawuk masih akan mengulur waktu untuk memberi kesempatan Harya Wisaka meninggalkan padukuhan. Karena itu, maka ia pun berkata selanjutnya, “Karena itu, aku mohon Pangeran mengurungkan niat Pangeran untuk menangkap Harya Wisaka” Pangeran Benawa sadar, bahwa orang itu sengaja mengulur waktu. Karena itu, maka Pangeran Benawa tidak berbicara lagi. Dengan tombak pendeknya Pangeran Benawa pun segera menyerang Ki Gadungbawuk. Tetapi Ki Gadungbawuk sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika ujung tombak Pangeran Benawa mematuknya, Ki Gadungbawuk pun bergeser ke samping. Namun ujung tombak Pangeran Benawa itu pun berputar. Seperti menggeliat, ujung tombak itu menyambar mendatar ke arah dada Ki Gadungbawuk. Tetapi Ki Gadungbawuk masih sempat meloncat surut, sehingga dadanya tidak tersentuh. Pangeran Benawa yang marah itu pun memburunya. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, agar ia tidak kehilangan Harya Wisaka. Tetapi Ki Gadungbawuk bukan orang kebanyakan. Ia pun memiliki ilmu yang tinggi, sehingga perlawanannya pun benar-benar harus diperhitungkan oleh Pangeran Benawa. Sementara itu, langkah Paksi pun telah tertahan pula. Ki Madujae berusaha untuk menghalanginya. “Namamu siapa, anak muda?” bertanya Ki Madujae. Paksi tidak menghiraukan pertanyaan itu. Ia tidak mau kehilangan waktu sekejap pun. Karena itu, demikian seseorang berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang, maka Paksi yang telah mendapatkan sebatang tombak pendek itu langsung menyerangnya. “Jangan terlalu garang, anak muda” berkata Ki Madujae sambil tersenyum. “Kau akan menjadi terlalu cepat tua” Paksi tidak menghiraukannya. Serangannya pun kemudian justru semakin garang. Ki Madujae berusaha untuk melawannya dengan mengerahkan segenap tenaganya. Ia pun seorang yang berilmu tinggi dan terlatih untuk terjun di segala medan. Meskipun demikian, Ki Madujae harus mengakui kelebihan Paksi yang bergerak dengan tangkasnya. Tombaknya berputaran dengan cepat, menyambar mendatar, kemudian terjulur mematuk dengan cepat. Ki Madujae harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi ketangkasan anak muda itu. Ia tidak boleh terlalu cepat tersinggung jika anak muda itu mendesaknya dan bahkan ujung tombaknya mulai menyentuhnya. Ia tidak boleh kehilangan akal sehingga penalarannya menjadi kabur. Dengan demikian, maka perlawanannya akan menjadi semakin lemah. Seperti Pangeran Benawa, maka Paksi pun ingin segera menyelesaikan lawannya agar ia sempat memburu Harya Wisaka. Tetapi Ki Madujae ternyata tidak mudah ditundukkannya. Dengan tangkasnya Ki Madujae berusaha mengimbangi kemampuan Paksi yang masih sangat muda itu. Dengan demikian, bagi Pangeran Benawa dan Paksi tidak terlalu mudah untuk menyelesaikan lawan-lawan mereka. Ki Gadungbawuk telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menahan Pangeran Benawa. Setidak-tidaknya untuk mengulur waktu. Meskipun ujung tombak Pangeran Benawa sempat menyentuh tubuh Ki Gadungbawuk, namun perlawanan Ki Gadungbawuk sama sekali tidak menyusut. Demikian pula Ki Madujae. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Tetapi ia lebih banyak memikirkan keselamatan Harya Wisaka. Sementara itu Harya Wisaka telah bergerak keluar dari padukuhan. Raden Suminar dan para pengawal terpilihnya telah berhasil menyibak para prajurit Pajang yang berusaha menahan mereka untuk tetap berada di padukuhan. Sementara itu, Pangeran Benawa dan Paksi masih belum berhasil menghentikan perlawanan lawan-lawan mereka. Demikian pula Raden Sutawijaya. Lawannya tidak lagi hanya seorang Ki Santen Ireng. Tetapi dua orang murid Ki Santen Ireng telah membantunya melawan Raden Sutawijaya. Baru kemudian, setelah pasukan Ki Yudatama berhasil menghancurkan sebagian dari lawan-lawannya, maka Ki Yudatama pun telah bergabung dengan Raden Sutawijaya menghentikan perlawanan Ki Santen Ireng dan murid-muridnya. Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya dan Ki Tumenggung Yudatama bersama pasukannya telah memasuki Padukuhan Pandean. Di dalam padukuhan mereka masih tertahan oleh beberapa orang pengikut Harya Wisaka. Namun mereka pun segera dapat diatasi. Dengan cepat maka Raden Sutawijaya pun bergerak ke pintu gerbang di sisi selatan. Ternyata Pangeran Benawa dan Paksi masih bertempur melawan Ki Gadungbawuk dan Ki Madujae. “Biarlah aku ikut bermain, Adimas” berkata Raden Sutawijaya ketika ia berada di belakang Pangeran Benawa yang masih bertempur. Namun Pangeran Benawa pun menjawab, “Susul Paman Harya Wisaka. Ia berada di pintu gerbang padukuhan di sebelah selatan” Dengan cepat Raden Sutawijaya pun segera meninggalkan Pangeran Benawa dan Paksi. Menurut pengamatannya, Pangeran Benawa dan Paksi akan dapat menguasai lawan-lawan mereka, meskipun masih memerlukan waktu. Karena itu, maka Raden Sutawijaya pun tidak merasa perlu untuk membantu mereka. Namun ketika Raden Sutawijaya sampai di pintu gerbang, maka yang ditemuinya adalah pertempuran antara prajurit Pajang dan para pengikut Harya Wisaka yang berusaha menahan mereka yang berusaha untuk memburu Harya Wisaka itu. Tetapi Harya Wisaka sendiri sudah tidak ada di arena pertempuran itu. Raden Sutawijaya pun kemudian bertanya kepada seorang prajurit, “Di mana Paman Harya Wisaka?” “Harya Wisaka berhasil melarikan diri keluar pintu gerbang selatan” “Apakah tidak ada yang memburunya?” “Kami tertahan dalam pertempuran ini” jawab prajurit itu. Raden Sutawijaya menggeram. Bersama Ki Tumenggung Yudatama dan beberapa orang prajurit terpilih, mereka berusaha menyibak medan pertempuran yang menjadi semakin tipis itu. Sejenak kemudian mereka telah berhasil menerobos pintu gerbang dan keluar dari padukuhan. Masih belum terlalu jauh dari pintu gerbang, Raden Sutawijaya melihat arena pertempuran yang tidak begitu besar. Hanya kelompok-kelompok kecil sajalah yang terlibat di dalamnya. “Agaknya Paman Harya Wisaka ada di sana” berkata Raden Sutawijaya. Dengan cepat Raden Sutawijaya bergerak diikuti Ki Tumenggung Yudatama. Mereka berlari ke arah arena pertempuran di tengah-tengah bulak persawahan yang kering itu. Namun langkah Raden Sutawijaya tertegun. Pertempuran itu tidak berlangsung lama. Ketika Raden Sutawijaya mendekat, maka rasa-rasanya semuanya telah selesai Harya Wisaka itu berdiri dengan kepala tunduk. Raden Suminar ternyata telah mengorbankan segala-galanya bagi Harya Wisaka. Tubuhnya terkapar di tanah. Nafasnya pun telah terhenti sama sekali. Di hadapan Harya Wisaka itu berdiri Ki Gede Pemanahan. Beberapa orang pengiringnya, bertebaran di sekitarnya bergabung dengan beberapa orang prajurit Pajang yang datang bersama Ki Tumenggung Yudatama, mengepung padukuhan itu. “Ayah” desis Raden Sutawijaya. “Di mana Pangeran Benawa dan Paksi?” “Mereka masih bertempur di padukuhan itu, Ayah. Padukuhan itu adalah salah satu sarang Paman Harya Wisaka” “Apakah mereka tidak memerlukanmu?” “Tidak, Ayah. Aku baru saja menemui Adimas Pangeran Benawa. Adimas Pangeran Benawa minta aku menyusul Paman Harya Wisaka. Ternyata Ayah sudah ada disini” Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Kemudian dipandanginya Harya Wisaka yang menunduk. Dengan nada dalam Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Harya Wisaka, kau lihat korban yang masih saja berjatuhan. Kematian demi kematian mengiringi jejak langkahmu, kemana pun kau pergi. Sekarang, Raden Suminar yang baru tumbuh itu sudah kau korbankan pula” Harya Wisaka memandang tubuh yang terbujur itu. Perlahan Harya Wisaka melangkah mendekatinya dan berjongkok di sampingnya. “Suminar” desisnya sambil meraba dahi tubuh yang terbujur diam itu. Ditengadahkannya wajahnya sambil berdesis, “Kau telah membunuhnya meskipun tidak dengan tanganmu sendiri. Tetapi prajurit-prajuritmu yang licik telah mengeroyoknya dan membunuhnya dengan kejam” “Suminar tidak mau mendengarkan peringatan-peringatan yang diberikan kepadanya. Jika ia mau meletakkan senjatanya, maka ia tidak akan terbunuh” “Suminar adalah seorang laki-laki sejati. Ia pantang menyerah meskipun harus mengorbankan nyawanya” “Untuk apa? Apakah kau bangga bahwa Suminar bersedia mati untukmu? Jika kau memerintahkannya menyerah, ia tentu akan menyerah. Tetapi kau biarkan Suminar berbuat sebagaimana kau sebut sebagai laki-laki sejati. Apakah ukuranmu bagi seorang laki-laki sejati? Orang yang mau mati untukmu, sementara kau hanya memburu keinginanmu sendiri yang kau dasari nafsu ketamakan semata-mata?” “Kau salah, Ki Gede” jawab Harya Wisaka. “Jika itu yang terjadi, maka hanya orang-orang dungu saja yang mau mendukung perjuanganku. Tetapi lihat, orang-orang berilmu tinggi dan bernalar tajam bersedia berjuang bersamaku karena mereka melihat kebenaran di dalamnya” “Kebenaran yang dilihat dari satu sisi, tidak mungkin dipaksakan bagi segala pihak di Pajang, Harya Wisaka. Kau melihat kebenaran itu dari tempatmu berpijak tanpa menghiraukan sisi-sisi lain. Sementara itu, orang-orang yang mendukungmu, kau sangka mempunyai pandangan yang sama dengan kau sendiri? Mereka mempunyai kepentingan mereka sendiri, sementara yang lain terbius oleh harapan-harapan yang kau taburkan meskipun kau sendiri tahu, bahwa harapan-harapan itu kosong semata-mata” “Itu dugaanmu, Ki Gede. Tetapi bagi aku dan kawan-kawanku, dugaanmu itu salah. Kami berjuang bersama-sama untuk menegakkan satu cita-cita yang luhur” “Harya Wisaka. Apakah kau tidak melihat, betapa banyaknya korban yang telah jatuh dalam perselisihan ini? Kematian bertebaran di mana-mana. Sementara itu tujuanmu sangat kabur. Jika Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu kemudian duduk di atas tahta, bukankah itu sudah merupakan hasil satu permufakatan. Mungkin tidak memuaskan segala pihak. Mungkin Sultan Hadiwijaya sendiri bukanlah orang yang tidak bercacat. Tetapi itu adalah yang terbaik bagi Pajang. Terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang lain. Katakan, bahwa aku pun tidak merasa puas sepenuhnya atas kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Bahkan anaknya sendiri, Pangeran Benawa juga melihat cacat-cacat ayahandanya. Tetapi apakah kita harus menghancurkan Pajang? Menebarkan kematian di mana-mana?” Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Adakah perjuangan tanpa pengorbanan?” “Sesuaikah pengorbanan yang kau berikan dengan tujuan perjuanganmu yang kabur dan tidak mendasar? Yang kau berikan hanya berlandasan dendam dan kebencian? Dendam karena kematian Harya Penangsang dan kebencianmu kepada Sultan Hadiwijaya. Tetapi kau tidak mengingat orang-orang yang terbunuh karenanya. Termasuk Raden Suminar. Seorang anak muda yang akan dapat tumbuh menjadi pilar masa mendatang. Tetapi tunas itu harus dipatahkan sekarang, karena merambat di lanjaran yang salah” Harya Wisaka memandang wajah Raden Suminar. Darah membasahi tubuhnya, mengalir dari luka di dadanya, di lambungnya, di bahunya dan di perutnya. Tetapi wajahnya masih saja menunjukkan gereget perjuangannya yang diyakininya. “Suminar” Harya Wisaka itu berdesis. Tetapi Raden Suminar tidak mendengarnya. Harya Wisaka itu pun kemudian bangkit berdiri. Dijulurkannya kedua tangannya sambil berdesis, “Jika Ki Gede akan mengikat tanganku, ikatlah dengan apa saja” “Tidak” berkata Ki Gede. “Kita akan bersama-sama pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kangjeng Sultan bukan seorang pendendam. Ia akan berusaha untuk tegak di atas paugeran” Dalam pada itu, sebelum Ki Gede beranjak dari tempatnya membawa Harya Wisaka langsung ke istana, maka Pangeran Benawa pun telah datang pula. Ketika ia melihat Ki Gede, maka ia pun berdesis, “Paman sudah disini?” “Ki Tumenggung Yudatama telah memberikan laporan kepadaku” berkata Ki Gede Pemanahan. “Agaknya Paman datang tepat pada waktunya” “Ya. Dan perhitungan para penghubung pun benar, bahwa Harya Wisaka akan keluar dari padukuhan lewat arah selatan, karena induk pasukan Pajang berada di sisi utara” “Ya, Paman. Jika saja Paman datang beberapa saat kemudian, maka semuanya tentu sudah lewat” “Di mana Paksi, Pangeran?” bertanya Ki Gede kemudian. “Paksi masih berada di padukuhan itu, Paman. Paksi sedang mencari adiknya” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Anak-anak muda yang sedang tumbuh itu akan kehilangan pribadinya. Mudah-mudahan Paksi dapat menemukannya” Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, “Anak itu telah dibawa pergi. Ada tiga orang anak muda pergi bersamanya” “Ke mana, Paman?” bertanya Pangeran Benawa. “Jika Paman bersedia membebaskan mereka, Paksi tentu akan sangat berterima kasih. Jika mereka tidak dapat dibebaskan dari cengkeraman keyakinan Paman Harya Wisaka, maka mereka akan kehilangan dirinya dan masa depannya” “Anak itu akan dapat menjadi korban tanpa arti seperti Suminar, Paman” berkata Raden Sutawijaya pula. Harya Wisaka menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Gede pun berkata, “Apalagi setelah kau berada di tangan kami. Perjuangan yang diyakininya pada dasarnya sudah terhenti. Yang mereka lakukan kemudian tidak lagi bertujuan sama sekali. Bahkan tujuan yang kabur pun tidak. Karena itu, mereka akan dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan kepuasan batin, sementara itu batinnya dilandasi oleh perasaan dendam dan kebencian, sehingga yang lahir dari ungkapan batinnya adalah nafsu menghancurkan apa saja tanpa tujuan” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tidak tahu pasti, ke mana mereka dibawa pergi. Tetapi ada niat untuk membawa mereka kepada seorang guru yang akan dapat menempa mereka menjadi orang-orang yang berilmu tinggi” “Siapakah guru yang dimaksud?” Harya Wisaka nampak ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Gede Lenglengan” “Ki Gede Lenglengan? Aku belum pernah mendengar nama itu” desis Ki Gede Pemanahan. “Paman Harya, jika saja Paman Harya sudi menunjukkan, ke mana Paksi harus pergi mencarinya?” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Ada dorongan di dalam hatinya untuk mengatakan sesuatu. “Tolonglah Paksi, Paman, agar adiknya, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak mengalami nasib seperti Suminar. Bahkan Suminar masih dapat berbangga karena ia mati untuk satu keyakinan. Apalagi ia mati di hadapan Paman Harya Wisaka. Tetapi apa jadinya adik Paksi itu kelak jika jiwanya tidak segera dapat diselamatkan. Apakah memang tujuan Paman untuk membiarkan Paksi dan adik laki-lakinya kelak saling mendendam dan seorang di antaranya membunuh yang lain?” Tiba-tiba saja terasa kaki Harya Wisaka itu bergetar. Dengan sendat ia pun berkata, “Aku akan berkata dengan jujur, Pangeran. Aku belum tahu letak padepokan Ki Gede Lenglengan. Aku pun tidak tahu nama perguruannya, yang aku dengar, padepokan itu berada di arah Gunung Merapi” Pangeran Benawa memandang wajah Harya Wisaka dengan tajamnya. Sebelum ia mengatakan sesuatu, Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Aku percaya kepadamu, Harya Wisaka. Agaknya kau benar-benar belum tahu letak padepokan yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Ki Gede Lenglengan itu. Tetapi jika saja kau bersedia mengatakan, siapakah di antara orang-orangmu yang mengenal dan mengetahui letak padepokan itu?” “Suminar adalah murid Ki Gede Lenglengan” “Jika demikian, perguruan itu tentu sebuah perguruan yang mempunyai tataran yang tinggi. Suminar adalah anak muda yang berilmu tinggi” “Apakah ada orang lain yang seperguruan dengan Suminar, Paman?” bertanya Pangeran Benawa. Harya Wisaka mengerutkan dahinya. Dipandanginya orang-orangnya yang ada di sekitarnya. Namun kemudian ia pun menggeleng, “Aku tidak melihatnya sekarang, Pangeran. Tetapi aku berjanji, jika aku dapat mengenali seseorang di antara saudara seperguruan Suminar, aku akan mengatakannya” “Terima kasih” Ki Gede Pemanahanlah yang menyahut, “sekarang kita akan kembali ke kota, bahkan langsung ke istana” Ki Gede pun kemudian memerintahkan untuk menyediakan kudanya dan seekor kuda bagi Harya Wisaka. “Apakah Pangeran akan kembali bersama kami?” bertanya Ki Gede. “Tidak, Paman. Aku akan menunggu Paksi. Kami akan kembali bersama-sama” Dengan demikian, maka Ki Gede Pemanahan segera meninggalkan tempat itu sambil membawa Harya Wisaka. Sekelompok prajurit pengawal yang kuat menyertainya. Bagaimanapun juga mereka masih memperhitungkan kemungkinan buruk dapat terjadi, karena para pengikut Harya Wisaka yang mungkin masih berkeliaran. Sementara itu, Raden Sutawijaya pun sempat berceritera kepada Ki Gede, apa yang terjadi di pintu gerbang kota ketika ia membawa Harya Wisaka memasuki pintu gerbang itu. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Ki Tumenggung Yudatama masih tetap tinggal. Bukan saja menunggu Paksi. Tetapi mereka harus merawat para prajurit yang terluka dan mengumpulkan mereka yang gugur di pertempuran. Bahkan juga para pengikut Harya Wisaka. Sementara yang menyerah telah dikumpulkan di banjar padukuhan dengan tangan terikat di bawah pengawasan yang kuat. Di banjar itu pula Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengamati para tawanan. Sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh. Namun ternyata mereka telah terperangkap ke dalam lingkungan yang salah. “Aku menjadi sangat cemas akan nasib adikku” berkata Paksi kemudian. “Kesempatanmu untuk menemukan adikmu memang kecil sekali, Paksi. Tetapi tidak tertutup sama sekali. Harya Wisaka pada saat-saat terakhir memberikan sedikit petunjuk yang barangkali dapat dipakai sebagai alas usaha pencaharian itu” berkata Pangeran Benawa. Paksi memandang Pangeran Benawa dengan karut di kening. Dengan singkat Pangeran Benawa pun kemudian telah memberitahukan kepada Paksi, bahwa ada kemungkinan adiknya berada di sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berada di arah Gunung Merapi. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih banyak lagi, sementara itu, Suminar, salah seorang pengikut setia Paman Harya Wisaka yang berasal dari perguruan itu sudah terbunuh. Paksi menarik nafas panjang. Ia menjadi semakin cemas, bahwa adiknya akan berada di bawah bimbingan seorang guru yang telah membentuk seseorang yang seakan-akan tidak lagi sempat mempergunakan penalarannya meskipun ia berilmu tinggi sebagaimana Raden Suminar. “Anak itu harus diselamatkan” berkata Paksi seakan-akan kepada diri sendiri. “Ya. Kau memang tidak akan dapat membiarkan anak itu tenggelam di dalam dendam” “Hamba tidak dapat menunda-nunda lagi, Pangeran. Hamba harus segera pergi” “Aku tahu, Paksi. Tetapi sebaiknya kita berbicara lebih mendalam. Mungkin kita perlu berbicara dengan Guru, dengan Paman Pemanahan dan mungkin dengan Ayahanda sendiri” Paksi mengangguk hormat. Hampir tidak terdengar ia berdesis, “Hamba, Pangeran” Dalam pada itu, para prajurit Pajang pun telah sibuk dengan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Lewat tengah hari, telah datang pasukan baru yang akan menggantikan pasukan yang letih itu. Pasukan yang baru itu harus menyelesaikan tugas-tugas pasukan yang terdahulu, yang akan segera kembali ke barak mereka. Setelah serah terima tugas, maka Ki Yudatama dan pasukan berkudanya segera kembali ke barak mereka. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun berkuda bersama mereka pula. Di pintu gerbang kota mereka berhenti. Ki Yudatama bertanya kepada pemimpin prajurit yang bertugas, siapakah yang memimpin tugas para prajurit di pintu gerbang semalam. Dalam pada itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun telah ikut pula memasuki barak Ki Tumenggung Yudatama. Mereka merencanakan, menjelang malam mereka akan mohon menghadap Kangjeng Sultan untuk melengkapi laporan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. Sementara itu, pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam yang dipanggil oleh Ki Tumenggung Yudatama telah menghadap pula. “Kau kenal dengan ketiga orang ini?” bertanya Ki Tumenggung Yudatama. “Ampun, Ki Tumenggung. Semalam aku tidak dapat mengenal ketiganya” “Seandainya bukan mereka, kau telah menyebabkan Harya Wisaka terlepas” “Ampun, Ki Tumenggung. Aku sama sekali tidak tahu, bahwa orang itu adalah Harya Wisaka” “Bukankah Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi sudah memberitahukan bahwa yang ditangkap itu adalah Harya Wisaka?” “Ya, Ki Tumenggung” “Kau terlalu bernafsu untuk memiliki hadiah bagi siapa yang dapat menangkap Harya Wisaka. Bahkan kemudian kau telah terjebak oleh daging seekor kambing yang akan disembelih, jadi kau tukar Harya Wisaka dengan seekor kambing” “Ampun, Ki Tumenggung” “Bukan itu saja. Tiga orang prajuritmu mati sia-sia di pintu gerbang Padukuhan Pandean. Mereka terjebak karena kebodohan dan ketamakanmu” Pemimpin prajurit yang bertugas di pintu gerbang semalam itu menundukkan kepalanya. Ia sangat menyesal. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Tiga orang kawannya meninggal tanpa arti terjebak di sarang para pengikut Harya Wisaka. “Sekarang pulanglah” berkata Ki Tumenggung. “Tetapi setiap saat kau akan dipanggil untuk mempertanggung-jawabkan kebodohanmu itu” “Aku pasrah, karena aku memang telah melakukan kesalahan yang besar” “Kau dapat membayangkan, karena kesalahanmu itu, maka Harya Wisaka harus ditangkap setelah terjadi pertempuran yang menelan banyak korban di kedua pihak. Jika kau tidak melakukan kesalahan itu, maka Harya Wisaka sudah berada di tangan kami tanpa harus menambah korban” Wajah pemimpin kelompok prajurit itu menunduk dalam-dalam. Waktu sudah berlalu, sehingga ia tidak akan dapat mengulanginya lagi. Kematian itu sudah menerkam beberapa orang dan menelannya, sehingga tidak akan dapat dimuntahkan kembali. Yang kemudian harus dihadapinya adalah pengadilan yang akan menentukan, hukuman apakah yang harus disandangnya. Dalam pada itu, ketika malam turun, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Paksi, diantar Ki Tumenggung Yudatama telah pergi menemui Ki Gede Pemanahan. Bersama-sama mereka akan menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Berlima mereka diterima oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang nampak letih. Kangjeng Sultan sendiri bersama Ki Gede Pemanahan menjelang senja telah berbicara langsung dengan Harya Wisaka. Namun Ki Gede Pemanahan telah memberitahukan, jika diperkenankan, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi akan mohon waktu untuk menghadap. Meskipun Kangjeng Sultan merasa letih, tetapi Kangjeng Sultan tidak menolak. Apalagi di antara mereka terdapat Pangeran Benawa. Sebenarnya Pangeran Benawa sendiri mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadap ayahandanya. Namun karena ia akan datang bersama Paksi, maka ia memerlukan perkenan ayahandanya untuk menerimanya. Pada dasarnya Kangjeng Sultan sendiri juga ingin mendengar laporan langsung dari Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi yang telah berhasil menangkap Harya Wisaka, dan yang kemudian harus dilepaskannya kembali. Namun dengan demikian, mereka justru dapat menemukan salah satu sarang dari para pengikut Harya Wisaka. Bahkan beberapa orang terpenting di antara mereka telah menyerah dan yang lain terbunuh di pertempuran. Berganti-ganti Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menceriterakan apa yang sudah terjadi sejak mereka bertemu dengan adik laki-laki Paksi di rumahnya sehingga pertempuran yang terjadi di Padukuhan Pandean serta kedatangan Ki Gede Pemanahan serta tertangkapnya kembali Harya Wisaka. Terakhir Paksi telah melaporkan, bahwa ia benar-benar telah kehilangan adiknya. Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku telah berbicara dengan Harya Wisaka yang dibawa menghadap oleh Kakang Pemanahan. Kakang Pemanahan juga sudah menyinggung tentang adik Paksi yang sudah terlanjur dibawa pergi” “Jika hamba tidak segera dapat menemukannya, maka nasib adik hamba itu tidak akan menjadi lebih baik dari nasib Raden Suminar” “Nampaknya Harya Wisaka menyesali kematian Suminar” berkata Kangjeng Sultan kemudian. “Agaknya ada sesuatu yang tumbuh di hati Harya Wisaka. Ia berusaha memberikan petunjuk sejauh yang diketahui tentang sebuah padepokan yang mungkin akan menjadi tempat berguru adikmu, Paksi. Mungkin Harya Wisaka juga sudah mengatakan kepadamu serba sedikit tentang Ki Gede Lenglengan” “Hamba, Sinuhun” “Aku mengenal Ki Gede Lenglengan meskipun Kakang Pemanahan nampaknya belum. Ki Gede Lenglengan di masa kecilnya adalah seorang anak muda yang binal. Anak muda yang tidak mau terikat oleh paugeran yang berlaku dalam tatanan kehidupan. Aku pernah mengembara bersamanya. Tetapi kami berselisih dan berkelahi. Aku hampir saja membunuhnya. Nampaknya Lenglengan itulah yang kini mendirikan sebuah padepokan di kaki Gunung Merapi itu” Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Hamba ingin mencari adik hamba” “Tapi kau harus sangat berhati-hati berhubungan dengan Lenglengan. Menilik kelebihannya di masa muda, Lenglengan sekarang tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi” “Tetapi hamba tidak dapat membiarkan adik hamba berada di tangannya. Hamba tidak dapat membiarkan adik hamba mengalami nasib seperti Raden Suminar” “Aku mengerti akan kecemasanmu itu, Paksi. Tetapi sebaiknya kau berbicara lebih dahulu dengan guru-gurumu” “Hamba, Sinuhun” “Kau harus mendengarkan nasehat dan petunjuk-petunjuknya. Tugas yang akan kau sandang mungkin akan memerlukan waktu yang agak panjang” “Hamba, Sinuhun” “Meskipun demikian, aku ingin berpesan kepadamu, Paksi. Jika kau sudah mendapatkan kepastian bahwa kau akan mencari adikmu, aku minta kau datang kepadaku” “Hamba, Sinuhun” “Kau juga harus minta diri kepada Ki Gede Pemanahan” “Hamba, Sinuhun” Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahan pun minta diri. Ternyata atas permohonan Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi malam itu diperkenankan bermalam di istana. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan dan Ki Tumenggung Yudatama pun segera minta diri. “Mudah-mudahan dengan tertangkapnya Harya Wisaka, keadaan akan dapat menjadi semakin tenang. Apalagi beberapa orang pemimpinnya telah tidak berdaya pula. Bahkan sebagian dari mereka telah terbunuh” berkata Kangjeng Sultan. “Tetapi kita masih akan membersihkan Pajang dari sisa-sisa pengikutnya, Sinuhun” sahut Ki Tumenggung Yudatama. “Tentu, Ki Tumenggung. Semisal sapu lidi, mereka telah kehilangan ikatannya. Tetapi bukan berarti bahwa semuanya sudah selesai. Jika pada suatu saat tampil seorang kuat yang sanggup mengikat mereka, maka mereka akan timbul lagi. Bahkan mungkin yang timbul itu akan menjadi lebih keras dan buas” berkata Kangjeng Sultan selanjutnya. “Hamba, Sinuhun” Ki Tumenggung Yudatama mengangguk dalam-dalam. Demikianlah, maka Ki Tumenggung Yudatama dan Ki Gede Pemanahan pun segera meninggalkan istana. Mereka sepakat untuk tidak mengendorkan usaha untuk menumpas sisa-sisa para pengikut Harya Wisaka. Justru pada satu saat yang sangat menentukan. Saat mereka kehilangan harapan dan kehilangan tempat bergantung karena Harya Wisaka sudah tertangkap. Malam itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi bermalam di istana. Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Namun Pangeran Benawa tidak tidur di dalam biliknya. Biliknya sebagai seorang putra terpenting dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi Pangeran Benawa tidur bersama Raden Sutawijaya dan Paksi di serambi samping bangsal kasatrian Pajang. Esok pagi-pagi mereka bertiga sudah bersiap untuk meninggalkan istana kembali ke padepokan mereka di Hutan Jabung. “Pergilah” berkata Kangjeng Sultan kepada mereka bertiga ketika mereka minta diri. Lalu kepada Paksi Kangjeng Sultan itu pun berkata, “Aku ingin mengingatkan, jika kau pergi mencari adikmu, jangan lupa, datanglah kepadaku dan kepada Ki Gede Pemanahan” “Hamba, Sinuhun” Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah meninggalkan istana. Mereka masih saja mengenakan pakaian orang kebanyakan dan berjalan kaki keluar pintu gerbang kota. Para prajurit yang bertugas tidak memperhatikan mereka bertiga. Mereka pun tidak menghentikan mereka bertiga, apalagi setelah Harya Wisaka tertangkap. Namun seorang lurah prajurit yang bertugas memimpin para prajurit yang bertugas itu sempat mengenali mereka. Terutama Pangeran Benawa. Karena itu, maka lurah prajurit itu pun mengangguk hormat sambil berkata, “Ampun, Pangeran. Kemana Pangeran ini hendak pergi sepagi ini?” “Kau kenal aku?” bertanya Pangeran Benawa. “Hamba, Pangeran” jawab Lurah prajurit itu. “Sudahlah. Kau simpan saja sendiri” “Hamba, Pangeran” Tetapi ketika Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi itu melanjutkan perjalanan, prajurit-prajuritnya pun bertanya, “Siapakah mereka, Ki Lurah?” “Orang-orang dungu. Seorang di antara mereka adalah Pangeran Benawa” “Jika demikian, yang seorang lagi itu tentu Raden Sutawijaya dan yang satu lagi Paksi, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang sudah tertangkap itu” “Ya. Ya” Para prajurit itu hanya dapat memandang mereka dari kejauhan. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun sudah menjadi semakin jauh. “Kenapa mereka berpakaian seperti orang kebanyakan?” bertanya seorang prajurit. Lurahnya menggeleng sambil berkata, “Entahlah. Namun justru karena itu, pemimpin prajurit yang bertugas kemarin malam telah melakukan kesalahan yang besar sekali” “Mereka tentu sedang menyamar” berkata prajurit yang lain. “Sebelum Harya Wisaka tertangkap, mereka tentu sedang menyamar. Tetapi setelah Harya Wisaka tertangkap, mereka masih saja mengenakan pakaian seperti itu” “Mereka menyatakan dirinya sebagai cantrik padepokan di Hutan Jabung” “Ya, kau benar” berkata lurah prajurit itu. “Pakaian seperti itulah mungkin yang dianggap paling pantas bagi seorang cantrik padepokan Hutan Jabung” Ki Lurah tersenyum. Kawan-kawannya pun mengangguk-angguk. Sementara itu Pangeran Benawa Raden Sutawijaya dan Paksi pun melangkah terus menuju ke Hutan Jabung..... Namun ketika mereka sampai di Hutan Jabung, yang ada hanyalah Ki Panengah. Ki Waskita sendiri masih berada di kota. “Sayang sekali. Ketika kami meninggalkan kota, kami tidak berusaha menemui Ki Waskita lebih dahulu” desis Pangeran Benawa. “Tidak apa-apa” sahut Ki Panengah. “Ki Waskita tentu akan segera kembali” Dalam pada itu, Paksi masih belum menyatakan keinginannya untuk pergi mencari adiknya. Ia menunggu Ki Waskita datang di padepokan. Baru kemudian ia akan mengatakan kepada kedua orang gurunya itu, bahwa ia akan pergi mencari adiknya. Di sore hari, Ki Waskita ternyata sudah datang pula. Pada hari itu Ki Waskita bertemu dengan Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan penjelasan tentang tertangkapnya Harya Wisaka. “Ki Gede mengatakan bahwa hari ini kalian bertiga merencanakan untuk kembali ke Hutan Jabung. Karena itu, maka aku pun segera menyusul kalian” Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengangguk-angguk mengiakan. Sementara itu, Ki Waskita pun berkata, “Selain itu, Ki Gede mengatakan, bahwa ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan oleh Paksi kepadaku dan kepada Ki Panengah” “Ya, Guru” sahut Paksi. “Apakah kau sudah mengatakannya kepada Ki Panengah?” “Belum, Guru. Aku memang menunggu Guru, agar aku dapat menyampaikannya sekaligus kepada kedua orang guruku” “Sekarang kami sudah lengkap” berkata Ki Panengah. “Apa yang ingin kau sampaikan kepada kami, Paksi?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Guru, aku tidak berhasil menemukan adikku. Ketika aku ikut memburu Harya Wisaka ke Padukuhan Pandean, ternyata adikku sudah dibawa pergi. Karena itu, aku mohon ijin untuk pergi mencari adikku itu” Ki Panengah menarik nafas panjang. Katanya, “Kemana kau akan mencari, Paksi? Bukankah tidak seorang pun tahu, kemana adikmu dibawa pergi” “Ada beberapa petunjuk yang diberikan oleh Harya Wisaka, Guru” “Harya Wisaka?” “Ya. Agaknya ada sentuhan-sentuhan halus di dalam dadanya ketika ia melihat tubuh Raden Suminar yang terbunuh di pertempuran” “Raden Suminar?” desis Ki Panengah. “Ya. Tubuhnya yang terbaring dipenuhi oleh luka-luka, sehingga seluruh pakaiannya menjadi merah” “Apa petunjuk Harya Wisaka?” bertanya Ki Waskita. “Harya Wisaka menyebut sebuah perguruan yang mungkin akan menjadi tempat persinggahan adikku, dan bahkan mungkin ia akan berguru di perguruan itu” “Perguruan apa, Paksi?” bertanya Ki Waskita pula. “Harya Wisaka tidak dapat menyebut nama perguruan itu. Ia hanya mengatakan bahwa letak perguruan itu di arah Gunung Merapi. Sedangkan pemimpinnya bernama Ki Gede Lenglengan. Tetapi Harya Wisaka tidak dapat memberikan keterangan lebih jelas. Sedangkan Raden Suminar adalah salah seorang murid dari perguruan itu” “Ki Gede Lenglengan” Ki Waskita mengulang. “Aku belum pernah mendengar nama itu” Sambil berpaling kepada Ki Panengah, Ki Waskita itu pun bertanya, “Apakah Ki Panengah pernah mendengarnya?” Ki Panengah menggeleng, “Belum, Ki Waskita” “Kangjeng Sultan Hadiwijaya justru sudah mengenalnya” Paksi menyela. “Keduanya justru bertengkar dan bahkan Kangjeng Sultan selagi masih mudanya, hampir saja membunuhnya. Tetapi Kangjeng Sultan berhasil mengekang diri. Namun setelah itu, mereka tidak pernah bertemu lagi. Kangjeng Sultan menduga, bahwa Ki Gede Lenglengan itu adalah kawannya mengembara yang bernama Lenglengan pula” Ki Panengah dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Waskita bertanya, “Memang mungkin sekali. Nama itu jarang sekali dipakai orang, sehingga kemungkinannya di Pajang, Demak dan sekitarnya hanya ada satu orang yang bernama Lenglengan. Sejak dahulu sampai sekarang. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa ada orang lain yang bernama sama. Tetapi kemungkinannya kecil sekali” “Ya, Guru” sahut Paksi. “Jika demikian, apakah rencanamu?” bertanya Ki Waskita. “Aku akan mohon diri, Guru. Aku ingin mencari adikku itu” “Kau sadari jalan yang akan kau tempuh?” “Aku sadari, Guru” “Seandainya kau dapat menemukan padepokan itu, apakah kau akan dapat mengambil adikmu keluar? Kau harus memperhitungkan kemungkinan, bahwa orang-orang di padepokan itu akan memusuhimu, apalagi jika mereka mendengar bahwa salah seorang muridnya terbunuh di pertempuran melawan orang-orang Pajang di Pandean. Sedangkan kau berdiri di pihak Pajang, meskipun Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri di pihak Harya Wisaka bersama-sama dengan Raden Suminar. Apalagi jika sikap adikmu tetap memusuhimu” “Aku mengerti, Guru. Tetapi aku tidak dapat berdiam diri jika adikku akan mengalami nasib seperti Raden Suminar. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, tetapi akan dapat timbul orang lain untuk menggantikannya. Mungkin orang lain itu mengemban keyakinan sebagai pengikut Harya Wisaka, tetapi mungkin orang lain itu sekedar memanfaatkan keadaan. Orang lain itu berhasil memasang kendali dan mengarahkan gejolak yang sudah tersimpan sebelumnya untuk kepentingannya sendiri, meskipun orang itu juga menyebut-nyebut nama Harya Wisaka” “Syukurlah jika hal itu kau sadari” berkata Ki Waskita. “Dengan demikian kau pun menyadari, bahwa beban tugasmu akan menjadi sangat berat” “Ya, Guru” “Lalu apa rencanamu?” “Aku akan mohon diri” “Sendiri?” “Ya, Guru” “Aku ikut bersamamu, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Kita pernah menjelajahi kaki Gunung Merapi meskipun di sisi selatan. Sekarang kita akan memanjat kaki Gunung Merapi di sisi timur dan mungkin utara” “Pangeran” berkata Paksi, “Pangeran tentu mempunyai tugas-tugas tertentu di istana sebagai putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahanda Pangeran. Sebaiknya hamba pergi sendiri” “Tidak” berkata Pangeran Benawa, “aku tidak mempunyai tugas apa-apa. Ketika masih muda, Ayah juga seorang pengembara. Dengan demikian pengalamanku akan menjadi semakin luas. Pengenalanku atas bumi Pajang akan menjadi semakin akrab” “Tetapi jika terjadi sesuatu di perjalanan, taruhannya akan menjadi sangat mahal. Pangeran mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi Pajang. Berbeda dengan hamba, Pangeran. Hamba adalah seorang yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi Pajang. Persoalan yang hamba hadapi adalah persoalan keluarga hamba. Persoalan yang sangat pribadi, yang tidak selayaknya menyentuh ujung kain panjang Pangeran Benawa” “Sudahlah, jangan berpikir terlalu jauh. Kita lanjutkan pengembaraan kita yang sangat menarik itu. Aku senang hidup di kaki Gunung Merapi yang sejuk itu” Ki Waskita dan Ki Panengah mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebaran. Dengan ragu-ragu Ki Waskita pun kemudian menyela, “Pangeran, sebaiknya Pangeran tidak pergi. Paksi akan pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Perjalanannya pun sangat berbahaya. Sementara itu persoalan yang dihadapinya adalah persoalan keluarganya. Persoalan yang sangat kecil untuk menyangkut Pangeran Benawa” “Ki Waskita jangan memilah-milahkan kepentingan seseorang berdasarkan pada kedudukannya. Mungkin persoalan yang ingin ditangani oleh Paksi adalah persoalan keluarga dalam hubungannya dengan adik laki-lakinya. Tetapi persoalan ini menyangkut keselamatan seseorang. Mungkin tidak hanya seorang adik Paksi, tetapi ada beberapa orang anak muda yang harus diselamatkan jiwanya. Menurut Paman Harya Wisaka, adik laki-laki Paksi itu telah dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan bersama-sama dengan tiga orang anak muda. Setidak-tidaknya bertiga dengan adik laki-laki Paksi itu. Dengan demikian aku mempunyai kesimpulan, bahwa selain mereka tentu sudah ada anak muda yang lain yang dibawa ke padepokan Ki Gede Lenglengan itu” Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Ki Panengah pun berkata, “Jika Pangeran sudah kukuh untuk pergi bersama Paksi, maka Pangeran harus minta ijin lebih dahulu kepada Ayahanda. Jika Pangeran pergi tanpa ijin Ayahanda, maka aku akan terbebani tanggung jawab, karena selama ini Pangeran dianggap menjadi seorang cantrik di padepokan ini” “Baik, Ki Panengah. Aku akan minta ijin Ayahanda” Sambil berpaling kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa berkata, “Tolong, bantu aku Kakangmas, agar aku diijinkan. Baik oleh Ayahanda Sultan maupun oleh Paman Pemanahan” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya aku juga ingin pergi, Adimas. Tetapi tidak mungkin. Ayah tentu tidak mengijinkan. Kami harus mulai memikirkan Tanah Mentaok yang dibuka. Ayahanda Sultan telah memberikan isyarat, jika persoalan Harya Wisaka selesai, maka Ayahanda Sultan akan mulai memikirkan Hutan Mentaok” “Waktunya masih lama, Kakangmas. Ayah nampaknya terlalu lamban menangani Hutan Mentaok. Setelah persoalan Paman Harya Wisaka selesai, Ayahanda baru akan mulai menangani Hutan Mentaok. Akan mulai bagi Ayahanda dapat berarti setelah setahun tetapi juga dapat berarti setelah sepuluh tahun” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Tetapi jika akan mulai itu tiba-tiba datang? Sayang sekali, Adimas. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak boleh pergi meninggalkan Pajang. Setiap saat aku dan Ayah Pemanahan dapat dipanggil oleh Ayahanda Sultan untuk membicarakan persoalan Hutan Mentaok” “Baiklah, Kakangmas. Namun aku minta Kakangmas membantu aku agar aku dapat pergi bersama Paksi ke kaki Gunung Merapi” “Sampai kapan, Dimas?” “Tentu tidak dapat menyebut, berapa lama aku akan mengembara bersama Paksi” Raden Sutawijaya menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Baiklah, Dimas. Aku akan membantu. Mudah-mudahan Ayahanda Sultan tidak berkeberatan sehingga Paksi tidak pergi seorang diri” “Besok kita menghadap Ayahanda. Bukankah Ayahanda berpesan, jika Paksi jadi akan pergi mencari adiknya, ia harus minta diri kepada Ayahanda Sultan?” “Ya. Kita besok menghadap Ayahanda. Bukankah begitu, Paksi? Sesuai dengan pesan Ayahanda” “Hamba, Pangeran” “Baiklah, Paksi. Jika kau memang berkeras untuk pergi mencari adikmu, demikian pula jika Pangeran Benawa berkeras untuk pergi bersama Paksi, maka kami tidak akan dapat mencegah kalian. Tetapi sebaiknya kalian jangan pergi esok pagi. Esok pagi dapat saja kalian menghadap Kangjeng Sultan. Tetapi kami, aku dan Ki Waskita, minta kalian masih kembali ke padepokan ini. Besok malam kami akan memberikan beberapa pesan kepada kalian berdua sebagai murid-murid dari padepokan ini” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Panengah. Paksi tentu juga tidak akan berkeberatan” Demikianlah, maka Ki Panengah dan Ki Waskita telah sepakat untuk melepaskan Paksi dan Pangeran Benawa pergi, meskipun mereka menyadari, bahwa perjalanan yang akan ditempuh oleh Pangeran Benawa dan Paksi itu adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Malam itu Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidur di barak mereka. Ketika mereka berada di tengah-tengah para cantrik maka berganti-ganti mereka bertanya, bagaimana mereka bertiga mampu menangkap Harya Wisaka yang disebut memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan Harya Wisaka itu tidak sendiri pada saat itu. Ia dikawal oleh beberapa orang pengawalnya yang setia. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tidak mau mengecewakan kawan-kawannya para cantrik padepokan Hutan Jabung itu. Karena itu, maka berganti-ganti mereka berceritera untuk saling melengkapi. Para cantrik itu pun menjadi sangat kagum kepada ketiga orang itu. Namun mereka berkata di dalam hati, “Tentu saja putera Kangjeng Sultan dan putera Ki Gede Pemanahan itu mempunyai banyak kelebihan. Sedangkan Paksi telah mendapat tempaan khusus dari Ki Panengah dan Ki Waskita” Baru sedikit lewat malam para cantrik itu pun pergi ke pembaringan mereka masing-masing. Di hari berikutnya, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pergi menghadap Ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan untuk mohon diri. Sebagaimana diperintahkan oleh Kangjeng Sultan, jika Paksi benar-benar akan pergi mencari adiknya, supaya datang menghadap untuk mohon diri. Ki Pemanahan memang menjadi terharu melihat kesediaan Paksi menempuh bahaya untuk menemukan adiknya. Dengan nada berat Ki Gede Pemanahan itu berkata, “Kau sadari sikap adikmu terhadapmu, Paksi?” “Ya, Ki Gede. Selagi belum terlanjur, aku ingin membawanya kembali dari jalan sesat yang dipaksakan kepadanya itu, Ki Gede” “Aku hormati ketetapan hatimu itu, Paksi. Kebesaran jiwamu dan cintamu kepada keluargamu. Tetapi kau pun harus menghargai hidupmu sendiri” “Ya, Ki Gede” “Kau harus dapat menilai dengar wajar padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan itu. Jika kau memasuki padepokan itu, maka kau akan sama saja dengan memasuki sarang ular naga yang siap menyambutnya dengan mulut menganga” “Aku mengerti, Ki Gede” “Pikirkan sepanjang perjalananmu cara terbaik untuk membawa adikmu pulang, Paksi” “Ya, Ki Gede” Setelah memberikan banyak pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi, maka Ki Gede itu pun kemudian berkata, Kita pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan sekarang, Paksi” Demikianlah, bersama Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan, Paksi pun pergi ke istana memenuhi perintah Kangjeng Sultan. Seperti Ki Gede Pemanahan, Sultan Hadiwijaya merasa kagum akan kesetiaan Paksi terhadap keluarganya. Meskipun ia sadar, bahwa padepokan itu merupakan tempat yang sangat berbahaya, namun ia akan berusaha untuk menemukan adiknya yang sudah tersuruk ke dalamnya. Seperti Ki Gede, maka Kangjeng Sultan yang juga sudah kenyang pengalaman pengembaraan di masa mudanya, memberikan banyak sekali pesan-pesan yang sangat berarti bagi Paksi. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa berkata, “Ayahanda, hamba ingin mohon ijin untuk menemani Paksi” Kangjeng Sultan memang agak terkejut. Dipandanginya Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan pertimbangannya. “Pangeran” berkata Ki Gede Pemanahan, “Pangeran harus mempersiapkan diri untuk tugas-tugas kerajaan mendatang”, “Apakah Ayahanda dahulu juga pernah mempersiapkan diri seperti itu di istana?” Pangeran Benawa itu justru bertanya. “Tetapi sebagai menantu Kangjeng Sultan Trenggana di Demak, aku banyak belajar di lingkungan istana, Benawa” sahut Kangjeng Sultan. “Baru setelah Ayah berada di istana. Tetapi sebelumnya? Sampai kapan waktu itu Ayah mengembara?” Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa darah pengembaranya telah mengalir di tubuh anaknya. Meskipun berbeda dengan dirinya yang lahir di padukuhan kecil yang bernama Tingkir, sedangkan Pangeran Benawa lahir di istana, namun ia tidak dapat mencegah mengalirnya darah pengembaranya ke tubuh anaknya. Sementara itu Pangeran Benawa telah menggamit Raden Sutawijaya, agar ia membantunya mendesak ayahnya, Ki Gede Pemanahan dan ayahanda angkatnya, Kangjeng Sultan Hadiwijaya, agar mereka mengijinkan Pangeran Benawa pergi bersama Paksi. Namun ternyata Raden Sutawijaya tidak berkata apa-apa. Bahkan Raden Sutawijaya itu justru semakin menunduk. Karena itu, maka Pangeran Benawa itu berkata pula, “Hamba mohon, Ayahanda” “Menurut ceriteramu, ketika kau mengembara bersama Paksi sebelumnya, kau dan Paksi telah menyamarkan diri. Tidak ada yang tahu bahwa kau adalah Pangeran Benawa. Namun sekarang kau tidak dapat melakukannya, karena adik Paksi itu akan dapat segera mengenalimu. Dengan demikian, maka seisi padepokan itu akan segera tahu, bahwa kau adalah anak Sultan Hadiwijaya yang memenjarakan Harya Wisaka. Apalagi jika Ki Gede Lenglengan itu benar-benar Lenglengan yang aku kenal. Ia sangat berhati-hati” Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Namun Kangjeng Sultan itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Benawa. Kau boleh pergi bersama Paksi. Tetapi aku ingin menasehatkan kepada Paksi dan kau, Benawa. Sebaiknya yang kalian lakukan adalah sekedar mencari dan menemukan padepokan itu. Kemudian setelah kalian menemukannya, maka kalian harus membawa sekelompok prajurit untuk memasuki padepokan itu” “Maksud Ayahanda, jika kami menemukan padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan, kami harus kembali ke Pajang untuk mengambil dan kemudian membawa sekelompok prajurit menyerang padepokan itu?” “Ya” Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun berkata pula, “Itu adalah jalan yang paling baik untuk ditempuh, Pangeran” “Tetapi kalau Ki Gede Lenglengan tidak berniat memusuhi kami?” “Bukankah pasukan itu tidak menyerang padepokan itu dengan serta-merta. Kalian harus membuat hubungan dengan Ki Gede Lenglengan. Jika Ki Gede Lenglengan tidak ingin memusuhimu, maka dalam hubungan itu, ia tentu akan bersedia menyerahkan adik laki-laki Paksi. Tetapi jika tidak, maka persoalannya akan menjadi lain” Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Paksi. “Kalian tidak mempunyai pilihan lain” berkata Kangjeng Sultan. “Jika kalian memaksa diri karena kemudaan kalian, sehingga darah kalian mudah mendidih, maka kalian akan mengalami kesulitan yang mungkin tidak teratasi” “Bagaimana pendapatmu, Paksi?” Paksi memang tidak dapat mengelak. Jika ia menolak petunjuk Kangjeng Sultan, maka mungkin Kangjeng Sultan justru tidak dapat mengijinkan Pangeran Benawa pergi. Pangeran Benawa tentu akan menjadi sangat kecewa. Karena itu, maka Paksi pun kemudian berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran” Pangeran Benawa memandang Raden Sutawijaya sekilas. Namun Raden Sutawijaya itu justru berkata, “Adimas, nampaknya jalan itu adalah jalan yang terbaik. Kita tidak dapat membanggakan diri melampaui keterbatasan kita masing-masing. Padepokan Ki Gede Lenglengan tentu berisi beberapa orang cantrik dan putut yang sudah mewarisi sebagian besar ilmu Ki Gede Lenglengan sebagaimana Raden Suminar. Karena itu, seberapa pun tinggi ilmu Adimas Pangeran dan Paksi, namun adalah sangat berbahaya jika Pangeran dan Paksi ingin memaksakan kehendak kalian kepada Ki Gede Lenglengan di padepokannya sendiri yang dikerumuni oleh para cantrik, putut dan jejanggan” Akhirnya Pangeran Benawa mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah, Ayahanda. Hamba dan Paksi akan menjalankan petunjuk Ayahanda” Kangjeng Sultan Hadiwijaya menarik nafas panjang. Katanya, “Jika kalian berjanji, maka Benawa akan aku ijinkan pergi bersama Paksi. Bagaimanapun juga Benawa mempunyai kedudukan khusus di Pajang, sehingga keselamatannya harus mendapat perhatian. Bukan berarti aku mengabaikan keselamatan Paksi. Tetapi kedua-duanya tidak boleh terperosok ke dalam panasnya api yang menyala di dalam dada kalian. Aku sekarang selalu mengucap syukur, bahwa aku dapat melampaui masa-masa gejolak mudaku dengan selamat, karena waktu itu aku kadang-kadang hanyut dalam arus kemudaanku, sehingga aku sering kehilangan penalaran yang wajar. Karena itu, aku dapat memperingatkan kalian, agar kalian lebih berhati-hati dari sikap dan tingkah lakuku di masa muda. Bahkan aku kadang-kadang masih merasa ngeri atas sikap dan tingkah lakuku sendiri di masa muda itu” Pangeran Benawa dan Paksi menundukkan wajah mereka. Mereka mengerti maksud pesan-pesan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang di masa mudanya telah melakukan pengembaraan yang sangat panjang. Banyak sekali pengalaman-pengalaman yang didapatnya dalam pengembaraan itu. Namun Kangjeng Sultan itu berkata lebih lanjut, “Jika aku mendapat kesempatan untuk menjadi muda kembali, aku tidak akan berani melakukan sebagaimana pernah aku lakukan itu” Peringatan itu terasa sangat keras di hati Pangeran Benawa dan Paksi. Namun dengan demikian, maka Pangeran Benawa dan Paksi akan mempertimbangkan segala tingkah lakunya dengan lebih seksama lagi. Dalam pada itu, maka Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Jika demikian, Kangjeng Sultan, hamba akan menyiapkan sekelompok pasukan khusus. Hamba ingin mengumpulkan kembali para prajurit yang pernah mendapat tempaan khusus untuk memburu Harya Wisaka bersama Pangeran Benawa, Sutawijaya dan Paksi. Mereka akan berada kembali dalam satu kelompok yang siap untuk menjalankan tugas apabila datang perintah untuk pergi ke padepokan Ki Gede Lenglengan” “Baiklah, Kakang. Kakang dapat menyusun sebuah kelompok khusus yang akan dilengkapi dengan kuda agar dapat bergerak lebih cepat. Namun jika kekuatan padepokan Ki Gede Lenglengan itu jauh lebih besar dari kelompok yang sudah Kakang siapkan, maka Kakang akan dapat berhubungan dengan Ki Yudatama. Bukankah sebagian dari pasukannya terdiri dari pasukan berkuda yang akan dapat bergerak dengan cepat pula?” “Hamba, Sinuhun” Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Kangjeng Sultan itu pun kemudian bertanya kepada Paksi, “Kapan kau akan berangkat, Paksi?” “Secepatnya, Sinuhun. Jika guru-guru hamba memperkenankan, hamba akan berangkat esok pagi” “Baiklah. Aku akan berdoa untukmu, Paksi, agar kau berhasil menemukan adikmu itu” Kemudian Kangjeng Sultan itu pun berpaling kepada Pangeran Benawa. “Bawalah bekal secukupnya. Mungkin kalian memerlukan uang. Bukan saja untuk bekal perjalanan, tetapi mungkin kalian dapat mempergunakannya untuk memperlancar usaha kalian membebaskan adik laki-laki Paksi. Bukan saja seorang anak muda. Tetapi mungkin di perguruan itu ada beberapa anak muda yang akan disiapkan untuk satu perjuangan berjangka panjang. Dan bahkan mungkin di perguruan itu pula diharapkan akan tumbuh tunas untuk menggantikan kepemimpinan Harya Wisaka” “Terima Kasih, Sinuhun. Hamba mohon doa restu” “Tugas yang dibebankan kepadamu kali ini bukan saja menyangkut kepentingan pribadimu dan keluargamu, Paksi. Tetapi juga untuk kepentingan yang lebih besar lagi bagi Pajang” “Hamba, Sinuhun” “Nah, sekarang persiapkan segala-galanya bersama Benawa” “Hamba, Sinuhun” Dengan demikian, maka Pangeran Benawa, Paksi dan Raden Sutawijaya pun mohon diri. Namun mereka tidak langsung keluar dari lingkungan istana. Tetapi Pangeran Benawa telah membawa mereka ke kasatrian. Sementara itu, Ki Gede Pemanahan masih berbincang dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun segera mempersiapkan segala sesuatunya menjelang keberangkatannya bersama Paksi untuk mencari padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang belum diketahui tempatnya selain sekedar arahnya saja. Seperti pesan ayahandanya, maka Pangeran Benawa dalam pengembaraannya akan membawa uang yang cukup. Bukan saja sebagai bekal, tetapi juga untuk keperluan-keperluan yang lain. “Sayang sekali, aku tidak dapat ikut bersama kalian” berkata Raden Sutawijaya. “Doakan saja kami dapat berhasil dan selamat di perjalanan, Kakangmas” “Tentu, Adimas. Aku yakin, kalian adalah pengembara-pengembara yang berpengalaman. Meskipun demikian, jangan lupa kalian mohon perlindungan serta petunjuk-petunjuk-Nya di sepanjang jalan” “Ya, Kakangmas. Nampaknya perjalanan kami kali ini tidak akan terlalu lama. Kami akan segera menemukan padepokan Ki Gede Lenglengan. Seterusnya seperti kanak-kanak, kami akan pulang sambil merengek-rengek menyampaikannya kepada orang tuanya tentang anak-anak yang nakal yang tidak dapat kami lawan sendiri” “Maksud Ayahanda tentu tidak begitu, Adimas. Tetapi Ayahanda yang sudah sangat berpengalaman mengembara itu justru ingin berhati-hati. Penglihatan Ayahanda tentang padepokan itu memaksa Ayahanda untuk mengambil langkah-langkah pengamanan. Apalagi Adimas Pangeran Benawa seperti yang dikatakan oleh Ayahanda mempunyai kedudukan yang khusus bagi Pajang” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Kakangmas benar. Kami pun akan mematuhinya” Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Benawa pun telah selesai. Karena itu, maka Pangeran Benawa pun telah minta diri kepada Raden Sutawijaya. Demikian pula Paksi. “Selamat jalan” desis Raden Sutawijaya yang juga memiliki pengalaman mengembara yang luas. Seperti pada saat-saat mereka mencari Harya Wisaka, maka keduanya telah mengenakan pakaian orang kebanyakan. Mereka keluar dari pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu sama sekali tidak menjadi heran melihat Pangeran Benawa mengenakan pakaian yang lusuh itu, karena Pangeran Benawa memang sering melakukannya. Dari istana, maka Paksi mengajak Pangeran Benawa untuk singgah di rumah Paksi. Paksi ingin menemui ibunya sebelum berangkat mencari adik laki-lakinya itu. “Berapa lama kau akan pergi, Paksi?” “Aku tidak dapat mengatakannya, Ibu” “Bukankah kau berjanji untuk menemani kami tinggal di rumah ini?” “Tetapi adikku itu harus diselamatkan dari tangan para pengikut Harya Wisaka. Meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan sesatnya masih akan dapat tumbuh lagi setiap saat. Karena itu, aku ingin adikku dan mungkin beberapa orang anak muda yang lain, dapat terlepas dari pengaruh yang jahat itu, Ibu” Ibunya mengangguk kecil. Sementara itu adik perempuan Paksi pun bertanya, “Kakang Paksi akan membawa Kakang itu pulang?” “Berdoalah. Semoga aku dapat membawanya pulang” “Tetapi Kakang Paksi juga harus pulang” “Tentu. Doamu tentu akan didengar oleh Yang Maha Agung, sehingga Kakang akan pulang dengan selamat” “Paksi” berkata ibunya, “apa saja yang akan kau bawa? Kau mempunyai simpanan yang dapat kau pakai sebagai bekal” Paksi berpaling kepada Pangeran Benawa yang berdesis, “Kau tidak usah membawa apa-apa, Paksi. Aku kira bekal kita sudah cukup” Namun Paksi itu pun menyahut, “Jika kita terpisah dengan tiba-tiba tanpa kita kehendaki, maka aku akan kekeringan di pengembaraan” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Baiklah. Terserah kepadamu” Paksi pun kemudian telah menyiapkan bekal pula sebagaimana ia menempuh pengembaraan yang terdahulu. Ketika kemudian Paksi minta diri, maka mata adik perempuannya pun menjadi berkaca-kaca. Katanya, “Jangan terlalu lama pergi, Kakang” Paksi mencium adiknya di kening sambil berdesis, “Aku akan segera pulang. Jangan menangis” Ibunya serta adiknya melepas Paksi dan Pangeran Benawa di regol halaman. Setelah berjalan beberapa langkah Paksi berpaling sambil melambaikan tangannya. Adik perempuan dan ibunya pun melambaikan tangannya pula. Namun kemudian Paksi dan Pangeran Benawa pun mempercepat langkahnya. Mereka akan menuju ke Hutan Jabung. Menurut kedua orang gurunya, malam itu mereka diminta untuk berada di padepokan sebelum mereka berangkat mencari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Ketika malam turun, maka Pangeran Benawa dan Paksi yang sudah berada di padepokan, segera menghadap Ki Panengah dan Ki Waskita. Kedua orang itu tidak hanya sekedar memberikan beberapa petunjuk tentang perjalanan yang akan mereka tempuh. Tetapi keduanya juga memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu yang sudah mereka kuasai. Ki Panengah dan Ki Waskita telah membuka beberapa celah-celah dari ilmu yang mereka ajarkan, yang masih mungkin dikembangkan. Sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mencari tataran yang lebih tinggi dari tataran sebelumnya. “Kalian berdua mempunyai banyak kesempatan di dalam pengembaraan kalian untuk mencobanya. Tetapi kalian harus berhati-hati. Kalian tidak boleh tergesa-gesa. Tetapi kalian harus memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kalian harus memperhitungkan kesediaan wadag kalian mendukung perkembangan ilmu kalian, karena kalian tidak dapat memaksa kemampuan kewadagan kalian melampaui yang seharusnya” Keduanya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Panengah pun berkata, “Aku tahu, bahwa ilmu dan kemampuan Pangeran Benawa sulit untuk dijajagi. Karena itu, aku mohon Pangeran dapat membimbing Paksi mengembangkan ilmunya melalui celah-celah yang sudah kami sebutkan itu” “Terima kasih atas pujian ini, Ki Panengah. Tetapi apakah yang dapat aku lakukan? Apakah aku mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan?” Ki Panengah dan Ki Waskita tertawa. Dengan nada rendah Ki Waskita berkata, “Jika saja kami belum mengenal Pangeran” Pangeran Benawa hanya menarik nafas dalam-dalam. Demikianlah mereka berbincang sampai jauh lewat tengah malam. Ki Waskita bahkan berkata, “Kalian tidak usah tergesa-gesa beristirahat. Meskipun besok kalian akan pergi, tetapi kalian tidak terikat oleh waktu. Kalian dapat saja berangkat pagi-pagi sekali. Tetapi kalian dapat berangkat lewat tengah hari. Sementara itu jika kalian lelah di perjalanan, maka kalian dapat saja beristirahat kapan saja” “Ya, Guru” desis Paksi. Karena itu, maka Ki Panengah dan Ki Waskita masih saja memberikan petunjuk-petunjuk terpenting bagi perjalanan Paksi dan Pangeran Benawa serta petunjuk-petunjuk untuk dapat mencapai tataran tertinggi dari ilmu mereka. Baru ketika terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, Ki Panengah pun berkata, “Nah, sekarang kalian boleh beristirahat” Pangeran Benawa dan Paksi pun telah pergi ke pembaringan mereka. Namun malam tinggal sejemput lagi. Meskipun demikian, keduanya masih sempat tidur beberapa saat. Namun mereka pun segera terbangun ketika kawan-kawannya, para cantrik padepokan itu bangun. Pangeran Benawa dan Paksi memang tidak nampak tergesa-gesa. Mereka dapat berangkat kapan saja. Jika mereka ingin berangkat pagi-pagi, bukannya karena mereka dikejar waktu. Tetapi mereka ingin berjalan sebelum sinar matahari menggatalkan kulit mereka. Baru setelah matahari naik, serta setelah mereka bersama-sama para cantrik makan pagi, maka Pangeran Benawa dan Paksi pun minta diri. Ki Panengah memberikan ucapan selamat atas nama para cantrik. Ia mengharap bahwa Pangeran Benawa dan Paksi segera kembali ke padepokan. “Kami akan segera kembali” berkata Paksi di hadapan para cantrik dan kedua orang gurunya. “Selama ini Raden Sutawijaya akan tetap berada di padepokan ini. Mungkin sore nanti atau esok pagi, Raden Sutawijaya telah berada disini” Kedua orang guru Paksi itu mengantarnya sampai ke regol padepokan. Demikian pula para cantrik, bahkan beberapa orang yang bertugas menyelesaikan padepokan itu. Di regol, Ki Waskita sempat berdesis, “Sekarang kalian benar-benar hanya berdua. Kami tidak dapat mengikuti perjalanan kalian sebagaimana pernah kami lakukan” “Aku mengerti, Guru” jawab Paksi. “Kami mohon doa restu” Demikianlah, maka kedua orang itu telah meninggalkan padepokan mereka di Hutan Jabung. Mereka mengenakan pakaian orang kebanyakan. Paksi membawa tongkatnya sementara Pangeran Benawa siap dengan pisau belatinya yang berada di bawah kain panjangnya. Gelang yang lebar yang dikenakan di pergelangan tangannya di bawah bajunya yang berlengan panjang. Keduanya memang tidak tergesa-gesa. Mereka meninggalkan padepokan setelah matahari menjadi semakin tinggi. Mereka berjalan menyusuri jalan di pinggir Hutan Jabung. Perjalanan mereka memang belum perjalanan yang sangat jauh. Tetapi jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang rumit. Mereka menempuh perjalanan ke arah Gunung Merapi. Padepokan yang mereka cari mungkin berada di kaki Gunung Merapi. Tetapi mungkin pula berada di lambungnya. Mungkin padepokan itu berada di lingkungan yang berpenghuni, tetapi mungkin pula tidak. “Apakah kita akan melihat ladang kita di sisi selatan kaki Gunung Merapi?” berkata Pangeran Benawa tiba-tiba. “Apakah gubuk itu masih ada? Tanaman-tanaman yang kita tinggalkan. Rumpun-rumpun pohon pisang. Air terjun dan goa di belakangnya?” “Kita akan mencari padepokan itu lebih dahulu, Pangeran” “Ya. Kita akan mencari padepokan itu dahulu” Pangeran Benawa dan Paksi berjalan seenaknya saja. Mereka sempat memperhatikan pohon-pohon raksasa yang tumbuh di Hutan Jabung. Meskipun Hutan Jabung tidak terlalu luas, tetapi Hutan Jabung adalah hutan yang tua. Pepohonan yang terdapat di dalamnya adalah pohon-pohon yang sudah tua pula, sehingga tumbuh menjadi pohon-pohon raksasa. Di dalamnya terdapat pula binatang buas yang berkeliaran. Pangeran Benawa dan Paksi yang berjalan di sebelah pohon-pohon raksasa itu merasa diri mereka seperti orang-orang kerdil. Sekali-sekali mereka menengadahkan wajah mereka memandang rimbunnya dedaunan. Namun beberapa saat kemudian, mereka meninggalkan jalan setapak di pinggir Hutan Jabung. Mereka turun ke jalan yang sedikit lebih lebar lagi melintas padang perdu yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar. Di sana-sini masih terdapat beberapa pohon yang besar. Bahkan berkelompok. Di dekat gumuk kecil, terdapat sekelompok pohon-pohon raksasa yang tumbuh mengitari sebuah belumbang yang airnya penuh dengan reruntuhan daun-daun kering. Namun di dalamnya terdapat ikan-ikan yang besar berkeliaran di bawah permukaan, yang sekali-sekali menyembulkan kepalanya. Ikan-ikan yang semakin lama menjadi semakin besar, karena tidak seorang pun yang pernah mengambil ikan di belumbang yang dianggap keramat itu. Apalagi tempat itu memang agak jauh dari padukuhan-padukuhan yang berpenghuni. Ketika matahari mulai turun, maka mereka telah berada di sebuah bulak yang panjang. Panjang sekali. Jalannya yang mulai naik perlahan-lahan, berkelok-kelok menghindari gumuk-gumuk padas serta lereng sungai-sungai kecil terjal dan licin. “Kita berada di daerah Manjung, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Nampaknya jalan ini jarang dilalui orang. Hanya para petani yang sawahnya berada di bulak ini sajalah yang sering melewati jalan ini” “Jalan ini adalah jalan ke Nglungge” “Nglungge?” “Ya. Jalan ini adalah jalan yang paling dekat untuk pergi ke Nglungge. Sebenarnya jalan ini bukan jalan yang sepi. Dari Nglungge orang dapat pergi memanjat kaki Gunung Merapi atau melingkar ke Ponggok, Klalung, Jati Anom dan jika kita melingkari Gunung Merapi sepanjang kakinya, dan sampai di sisi selatan, kita akan sampai ke daerah pengembaraan kita itu” “Tetapi dari Nglungge kita akan meneruskan perjalanan memanjat kaki Gunung Merapi. Kita tidak akan melingkar ke sisi sebelah selatan” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Paksi terlalu gelisah karena adik laki-lakinya yang hilang itu. Sebenarnyalah jalan yang dilalui itu bukan jalan yang terlalu sepi. Mereka menyusuri jalan itu menuju ke Manjung. Dari Manjung mereka akan turun ke sebuah sungai yang tidak terlalu besar untuk menyeberang. Di sore hari mereka sampai di Manjung. Langit sudah mulai nampak buram. Pakaian Pangeran Benawa dan Paksi yang lusuh itu sudah menjadi basah oleh keringat. Meskipun sebenarnya jarak ke Manjung tidak terlalu jauh, tetapi karena jalan yang berkelok-kelok dan menanjak, maka perjalanan itu mereka tempuh beberapa lama. Dua orang berkuda mendahului Pangeran Benawa dan Paksi yang menepi. Kuda-kuda itu tidak berlari terlalu kencang. Agaknya jalan memang agak licin meskipun tidak turun hujan. Lereng-lereng batu padas itu rasa-rasanya mengandung air sehingga di satu dua tempat, batu-batu padas itu menjadi basah. Bahkan titik-titik air seakan-akan meleleh dari lubang-lubang kecil pada batu-batu padas itu. “Di sini terdapat banyak air” desis Pangeran Benawa. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Parit itu tentu tidak pernah kering” “Tanah persawahan itu juga merupakan tanah yang subur. Batu-batu padas itu bagaikan menyibak dan berkumpul pada gumuk-gumuk kecil yang terdapat di bulak itu” “Tentu hasil kerja keras para petani” “Ya” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika keduanya akan memasuki padukuhan Manjung, mereka harus menepi lagi. Dua orang berkuda yang lain telah mendahului mereka pula di pintu gerbang tanpa mau menunggu Pangeran Benawa dan Paksi melewatinya. “Kaki kuda itu hampir menginjak kakiku” desis Pangeran Benawa. Paksi memandang kedua orang berkuda itu yang tanpa berpaling melanjutkan perjalanan mereka menyusuri jalan padukuhan Manjung. Ternyata Manjung adalah sebuah padukuhan yang cukup besar dan ramai. Kesejahteraan para penghuninya pun nampaknya tidak tertinggal dari para penghuni padukuhan dekat pintu gerbang kota. Rumah-rumah di sebelah-menyebelah jalan induk padukuhan Manjung itu pun terdiri dari rumah-rumah yang cukup besar di halaman yang luas. Namun sayang, bahwa rumah-rumah itu nampaknya kurang terpelihara sehingga nampak kurang rapi dan kurang bersih. “Kau pernah datang ke padukuhan ini, Paksi?” bertanya Pangeran Benawa. “Belum, Pangeran. Hamba baru sekali pergi mengembara di sisi selatan Gunung Merapi” Demikianlah, keduanya memasuki Padukuhan Manjung semakin dalam. Mereka mulai melihat isi dari padukuhan itu. “Pangeran pernah datang kemari?” “Beberapa tahun yang lalu. Tetapi padukuhan ini belum seramai sekarang” “Apakah beberapa tahun yang lalu jalan ini belum merupakan jalur perjalanan seperti sekarang?” “Nampaknya sekarang jalan ini juga menjadi jalur perdagangan” Paksi mengangguk-angguk. Paksi itu bahkan tertegun ketika ia melihat sebuah kedai di pinggir jalan. Tidak hanya satu. Tetapi dua dan bahkan tiga. “Nampaknya kita akan sampai ke sebuah pasar” berkata Paksi. “Ya. Memang ada pasar di pinggir padukuhan ini. Tetapi seingatku, pasar di padukuhan ini adalah pasar yang hanya ramai sepekan sekali” “Mungkin hari ini hari pasaran” Pangeran Benawa itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin hari ini memang hari pasaran” “Apakah Pangeran akan singgah?” “Panggil aku Wijang” “Wijang” ulang Paksi. “Ya. Wijang. Kau kenal nama itu” Paksi tersenyum. Tetapi ia harus mengingat-ingat bahwa ia berjalan bersama Wijang..... Beberapa saat kemudian, mereka sudah menjadi semakin dekat dengan pasar. “Pangeran” desis Paksi. “Namaku Wijang” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Wijang, langit sudah menjadi semakin muram. Tetapi nampaknya pasar itu masih ramai” “Tetapi suasananya lain, Paksi. Ramainya tidak seperti ramainya pasar kebanyakan” Paksi mengangguk-angguk. Namun keduanya pun melangkah terus. Ketika mereka melewati kedai-kedai yang masih membuka pintunya, mereka melihat ada beberapa orang yang berada di dalam kedai itu. Mereka pun melihat beberapa ekor kuda yang terikat di lorong sebelah pasar itu. “Ada apa sebenarnya?” desis Pangeran Benawa yang lebih senang dipanggil Wijang itu. Paksi pun merasa heran. Tetapi pasar itu nampak hidup meskipun menjelang malam. Paksi dan Wijang pun kemudian berhenti di pasar itu. Mereka tidak masuk ke dalam sebuah kedai yang masih terbuka dan melayani banyak orang. Tetapi Paksi dan Wijang duduk di dekat seorang penjual nasi yang menjajakan dagangannya di sebelah regol pasar. “Ada minumannya, Bibi?” bertanya Wijang. “Ada. Ada, Ngger. Wedang sere dengan gula kelapa” “Aku haus, Bi” “Satu atau dua mangkuk?” “Dua mangkuk, Bi. Adikku ini juga haus” Sejenak kemudian, keduanya pun sudah menghirup minuman yang ternyata masih hangat. “Nasinya, Ngger?” “Nasi apa, Bi?” “Nasi megana, Ngger” “Baik, Bi. Beri kami dua pincuk nasi megana” Sejenak kemudian, Paksi dan Wijang pun telah sibuk menyuapi mulut mereka dengan nasi megana yang agak pedas. Meskipun demikian Wijang itu masih sempat bertanya, “Ada apa, Bi? Tempat ini nampaknya masih ramai meskipun matahari sudah turun” “Hari ini hari pasaran, Ngger” “O. Tetapi aku tidak melihat lagi orang berjualan di pasar seperti kebanyakan pasar. Tidak ada sayuran, tidak ada barang-barang kerajinan bambu seperti tenggok, tenong, irig dan sebagainya. Tetapi ada pula orang berjualan gula kelapa kain tenun dan lain-lainnya” “Tadi pagi ada, Ngger” “Tetapi orang-orang itu masih belum pergi, Bi. Justru orang-orang berkuda. Kedai-kedai itu masih banyak pembelinya. Bahkan nampaknya Bibi pun masih mengharap beberapa orang pembeli lagi” “Apakah kalian berdua belum pernah datang sebelumnya di pasar Manjung ini?” “Aku tahu di sini ada pasar, Bi” jawab Pangeran Benawa. “Tetapi seingatku hanya ramai di hari pasaran di pagi hari” Perempuan separo baya yang menjual nasi itu tersenyum. Katanya, “Tadi pagi pasar ini ramai sebagaimana pasar yang lain di hari pasaran. Sedangkan orang-orang yang sekarang berada di pasar ini adalah orang-orang yang besok pagi akan melanjutkan perjalanan ke Nglungge di seberang sungai. Dari sana mereka akan memencar menurut keperluan mereka masing-masing” “O” Wijang mengangguk-angguk. Sementara Paksi pun bertanya, “Kenapa mereka harus berhenti disini dan justru memilih hari yang sama berbareng dengan hari pasaran?” Perempuan itu tidak segera menjawab. Tiga orang duduk pula di tikar yang dibentangkan di sebelah dagangannya digelar. “Kalian akan pergi kemana lagi?” bertanya penjual nasi itu kepada ketiga orang yang duduk di tikar itu pula. Nampaknya ketiga orang itu sudah sering datang dan makan nasi megana. “Kami mengantar pesanan Ki Demang Ponggok” jawab seorang di antara mereka. “Apa yang dipesannya?” bertanya penjual nasi itu. “Bukan barang berharga, Yu. Bahkan bagi orang lain tidak ada harganya sama sekali” “Apa?” “Kain dan baju yang sudah terhitung tua” “Untuk apa?” “Ki Demang sangat mencintai ibunya. Kain dan baju itu adalah milik ibunya yang baru saja meninggal. Ki Demang tidak minta warisan apapun, kecuali dua lembar kain panjang dan baju yang sudah tua yang sering dipakai oleh ibunya semasa hidupnya. Sementara itu ia merelakan rumah, halaman dan sawah peninggalan orang tuanya dibagikan kepada adik-adiknya. Menurut Ki Demang, ia sudah mendapatkan warisan memangkunya” “O” perempuan itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil menunjuk Paksi dan Wijang, “Kedua anak muda ini heran, kenapa banyak orang yang berkumpul di pasar ini, sementara masa pasaran pagi tadi sudah lewat” Ketiga orang itu memandang Wijang dan Paksi sejenak. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Kalian dari mana, anak-anak muda?” “Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai papan dan tidak mempunyai tujuan tertentu” “Asalnya. Kalian berasal dari mana?” “Kami kakak beradik yang berasal dari Gunung Lawu. Tetapi sepeninggal orang tua kami, maka kami pergi mengembara. Beberapa lama kami tinggal di Pajang, mengabdi kepada seorang tumenggung. Tetapi gejolak yang terjadi di Pajang memaksa kami meninggalkan Ki Tumenggung yang ternyata telah ditangkap” “O” orang itu mengerutkan dahinya. Tanpa diduga oleh Wijang, orang itu pun bertanya, “Tumenggung siapa? Aku mengenal nama beberapa tumenggung” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Meskipun agak ragu, namun ia pun berdesis, “Ki Tumenggung Sarpa Biwada” Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tumenggung Sarpa Biwada memang sudah ditangkap” “Jadi Ki Sanak juga tahu bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu ditangkap?” “Ya. Aku mendengarnya. Waktu itu aku berada di dalam kota mencari dagangan” “Dagangan apa?” bertanya Paksi. “Wesi aji. Aku adalah pedagang wesi aji. Tetapi kali ini kami bertiga tidak membawa wesi aji itu. Yang kami bawa justru kain dan baju yang sudah lusuh” “Hanya kain dan baju yang sudah lusuh harus dibawa oleh tiga orang?” bertanya penjual nasi itu. Seorang di antara ketiga orang itu, yang rambutnya sudah keputih-putihan, berkata, “Kain dan baju lusuh itu nilainya lebih tinggi dari pusaka yang mana pun juga bagi Ki Demang di Ponggok” Tetapi perempuan penjual nasi itu mencibirkan bibinya. Katanya, “Aku tidak percaya. Nampaknya kau mencurigai aku, bahwa aku akan mengatakan kepada para penyamun itu bahwa kau membawa barang berharga” “Ah, kau ini aneh-aneh saja, Yu. Aku tidak pernah mencurigaimu. Kenapa aku harus curiga kepadamu? Kau di sini mencari nafkah. Aku setiap kali lewat di sini juga mencari nafkah. Jadi buat apa kita menjadi saling curiga?” Perempuan itu terdiam. Namun tangannya masih sibuk membuat pincuk, menyenduk nasi dan kemudian membubuhkan sayur-sayuran yang direbus bersama bumbu megana yang pedas. “Jadi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berkumpul di sini sekarang kecuali makan-makan di kedai, duduk-duduk sambil berbincang atau duduk makan lesehan seperti ini?” bertanya Wijang. Salah seorang laki-laki itu berkata, “Jadi kau benar-benar belum tahu, kenapa kami sekarang berkumpul disini?” Wijang mengangguk. “Anak-anak muda, kita semuanya akan ke Nglungge. Mungkin dari Nglungge kita akan menempuh jalan yang berbeda. Tetapi kami akan bersama-sama menyeberang sungai yang memisahkan Padukuhan Manjung ini dan Padukuhan Nglungge” “Di atas sungai itu terbentang sebuah sasak bambu, karena di atas sungai itu tidak ada jembatan, maka kami harus berjalan melalui sasak itu jika kaki kami dan barangkali pakaian kami tidak ingin basah” “Jadi setiap orang yang menyeberang akan melalui sasak itu?” “Ya. Kita akan dipungut uang untuk biaya memelihara sasak itu” Wijang mengangguk-angguk. Namun Paksi pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa mereka yang akan menyeberang itu harus berkumpul lebih dahulu disini, baru kemudian menyeberang bersama-sama?” Laki-laki itu memandang Paksi dan Wijang berganti-ganti. Baru kemudian ia pun berkata, “Anak-anak muda, dalam keadaan yang biasa, memang tidak ada persoalan yang perlu dirisaukan. Tetapi kadang-kadang terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Di kedua mulut sasak itu, kadang-kadang tidak hanya berdiri para petugas yang akan mengumpulkan uang bagi mereka yang menyeberang. Tetapi ada sekelompok orang yang berwajah garang dan berhati curang. Mereka tidak sekedar memungut uang untuk memelihara sasak itu. Tetapi mereka memaksa agar orang-orang yang menyeberang itu memberikan apa saja yang mereka bawa. Bahkan kuda-kuda mereka. Sehingga karena itu, maka kami bersepakat untuk berkumpul di sini dan bersama-sama menyeberang. Jika terjadi sesuatu, maka kami akan dapat melawan bersama-sama. Selain itu kami telah mengupah beberapa orang untuk menjaga keamanan kami di kedua mulut sasak itu” “Penyamun?” bertanya Paksi dengan serta-merta. “Ya. Penyamun” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada datar Paksi pun berkata, “Sekarang aku menjadi jelas” “Ya” sahut Wijang, “untunglah bahwa kita tidak mempunyai apa-apa yang dapat diminta oleh para penyamun itu” “Kadang-kadang orang yang tidak membawa apa-apa dapat menyeberang lewat sasak itu dengan selamat. Tetapi kadang-kadang mereka yang tidak membawa apa-apa itu akan menjadi bahan permainan para perampokan itu” “Maksud Ki Sanak?” bertanya Wijang. “Orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa itu sama sekali tidak berarti bagi para perampok. Karena itu, orang-orang yang tidak membawa apa-apa itu dapat diperlakukan apa saja. Pernah seorang gadis yang tidak membawa perhiasan ditangkap. Kakinya diikat dan kepalanya dibenamkannya ke dalam air. Tentu saja gadis itu meronta-ronta. Tetapi di mata mereka, hal itu menjadi tontonan yang lucu. Baru ketika gadis itu hampir mati, ia dilepaskan. Dibiarkannya keluarganya membawanya pergi. Tetapi lebih malang lagi nasib seorang anak muda. Ia justru dibunuh dengan cara yang buruk sekali” “Tetapi kenapa Ki Sanak masih juga akan menyeberang dengan hanya membawa barang-barang yang tidak berguna sama sekali bagi para perampok itu. Apakah dengan demikian, kalian tidak akan mengalami kesulitan” Ketiga orang itu menjadi gagap. Tetapi seorang di antara mereka pun menyahut, “Kita akan menyeberang beramai-ramai. Para penyamun itu tentu akan berpikir ulang sebelum ia benar-benar merampok. Selain itu, bahkan mungkin sama sekali tidak ada perampokan. Karena itu, kami mempunyai kemungkinan untuk keluar dengan selamat lebih besar daripada kemungkinan untuk mengalami bencana di perjalanan” Perempuan penjual nasi megana itu tertawa. Katanya, “Ceriteramu berputar-putar. Kau tentu membawa wesi aji yang sangat berharga, atau perhiasan yang nilainya tidak terhingga, sehingga kalian bertiga harus bersama-sama mengawalnya” “Ah, kau itu, Yu. Sudah aku katakan, aku tidak membawa apa-apa selain kain dan baju yang lusuh” “Mungkin kau memang tidak membawa apa-apa. Tetapi kawanmu itu?” “Kawanku juga tidak. Yang seorang lagi juga tidak. Aku sumpah, Yu” Penjual megana itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kenapa kau sumpah kepadaku? Membawa atau tidak membawa, bukankah sama saja bagiku asal kau bayar harga nasi megana yang kau makan itu” Ketiga orang itu pun tertawa pula. Bahkan Paksi dan Wijang pun ikut tertawa. Sejenak kemudian, setelah selesai makan dan membayar harganya, ketiga orang itu pun minta diri. Namun Paksi dan Wijang masih saja duduk di sebelah penjual nasi megana itu. “Nampaknya Bibi mengenal mereka dengan baik” berkata Wijang. “Mereka sudah sering lewat jalur ini. Tetapi aku juga tahu, bahwa mereka adalah orang-orang yang sering menerima upah untuk menyampaikan barang-barang berharga lewat jalur yang berbahaya” “Menurut pengakuan mereka, kali ini mereka mengantar kain dan baju yang lusuh itu” Penjual nasi itu tertawa. Katanya, “Mereka selalu berkata tidak sebenarnya. Mereka selalu merahasiakan apa yang mereka bawa” “Tetapi apakah benar di mulut sasak di sungai itu sering terdapat sekelompok penyamun?” “Ya. Itu benar, anak-anak muda. Penyamun yang berharga” “Sering atau pernah terjadi sekali saja?” “Seringkali, anak muda. Jalur ini adalah jalur yang ramai. Namun setelah para pedagang serta mereka yang sering mengantar barang-barang berharga itu berkumpul dahulu sebelum menyeberang, maka perjalanan mereka menjadi lebih aman. Perampokan menjadi semakin jarang. Apalagi setelah mereka menemukan saat-saat menyeberang dari dua arah. Besok, saat matahari sepenggalah, maka orang-orang yang akan menyeberang itu sudah harus berada di mulut sasak itu. Baik yang menyeberang dari arah ini maupun dari arah yang berlawanan. Mereka pun kemudian menyeberang bergantian. Dengan demikian, jika terjadi perampokan, maka para perampok itu akan menghadapi jumlah orang yang lebih besar lagi, karena mereka yang menyeberang dari kedua sisi itu sepakat untuk bekerja bersama menghadapi perampokan di sisi yang manapun” “Satu cara yang baik sekali untuk melindungi diri sendiri” desis Wijang. Sementara itu, Paksi pun bertanya, “Jadi baru esok pagi menjelang matahari sepenggalah mereka baru menyeberang?” “Ya” jawab penjual nasi megana itu. Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin muram. Cahaya layung yang tajam nampak meliputi wajah langit. Perlahan-lahan malampun turun menyelubungi Padukuhan Manjung. Satu dua orang telah duduk pula di tikar yang terbentang di sebelah penjual nasi megana itu. Sambil menghirup minuman, mereka pun makan nasi megana dalam pincuk daun pisang. Mereka yang tidak cukup membawa bekal, atau mereka yang sengaja ingin menghemat, memang lebih baik duduk makan nasi megana atau nasi tumpang lesehan daripada masuk ke dalam sebuah kedai yang harga minuman dan makanannya tentu lebih mahal. Pangeran Benawa pun kemudian membayar harga nasi megana yang dimakannya bersama Paksi, serta harga minuman bagi mereka. Namun Pangeran Benawa yang dipanggil Wijang itu berkata, “Apakah kami boleh duduk disini, Bibi?” “Silahkan. Bukankah tikarku cukup luas?” “Terima kasih, Bibi” Beberapa saat Wijang dan Paksi masih duduk di atas tikar di sebelah penjual nasi megana itu. Sementara itu masih saja ada orang yang datang untuk membeli nasi megana. Untuk menerangi dagangannya, penjual nasi megana itu telah menyalakan lampu dlupak yang agak besar yang diisi dengan minyak kelapa. Sementara itu, di regol pasar telah dinyalakan oncor pula. “Di mana mereka nanti malam tidur, Bibi?” bertanya Paksi. “Rumah yang panjang di sebelah pasar itu adalah sebuah penginapan. Bukan saja orang-orang yang ingin menyeberang. Tetapi juga para pedagang yang tadi siang membawa barang dagangan dengan pedati, biasanya bermalam di rumah panjang itu” Paksi mengangguk-angguk. Ia melihat rumah panjang yang dimaksud oleh penjual nasi megana itu. Ia pun melihat beberapa buah pedati yang berada di depan rumah yang panjang itu. “Jika kau akan menginap pula di sana, kau harus membayar, Ngger” berkata penjual nasi itu. “Membayar?” “Ya. Di dalam rumah yang panjang itu ada amben yang besar memanjang. Di tempat itu orang-orang yang menginap itu tidur. Di belakang rumah yang panjang itu terdapat beberapa buah pakiwan bagi mereka yang menginap jika mereka akan mandi” Paksi mengangguk-angguk. “Kau akan menginap di sana?” “Kami dapat tidur di mana saja, Bibi” jawab Paksi. “Tidur di mana saja? Maksudmu? Apakah kau akan pergi ke banjar dan mohon ijin untuk tidur di sana tanpa membayar? Sia-sia. Sudah agak lama penunggu banjar itu sudah mendapat perintah agar banjar itu tidak dipergunakan untuk menumpang tidur di malam hari atau menumpang istirahat di siang hari” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Paksi pun berkata, “Kami dapat tidur sambil duduk bersandar dinding itu, Bibi. Kami dapat juga tidur berselimut udara dingin. Sudah terbiasa bagi kami tidur di mana saja” “Ngger, jika kalian mau, daripada kalian tidur di mana-mana, sementara kau harus membayar jika tidur di rumah yang panjang itu, kau dapat tidur di rumahku. Tanpa membayar. Meskipun rumahku tidak sebagus rumah yang berjajar di pinggir jalan itu, tetapi aku dapat memberi tempat kepada kalian berdua. Asal kalian mau tidur di tempat yang sederhana” “Terima kasih, Bibi. Terima kasih” sahut Paksi dengan serta-merta. “Tetapi biarlah kami di sini saja” Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi di malam hari, dinginnya menggigit tulang. Lebih-lebih lagi menjelang dini” “Ya, Bibi. Bahkan sekarang pun rasa-rasanya sudah sangat dingin” “Karena itu, jangan tidur di luar. Kalian akan dapat kedinginan” Paksi tidak menjawab. Sementara itu Wijang pun berkata, “Bibi, kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan Bibi. Kami sekarang mohon diri. Kami ingin melihat-lihat tempat yang ramai di sepanjang hari ini” “Hanya di hari pasaran, Ngger. Orang-orang itu menyeberang bersama-sama setiap sepekan sekali. Agar mereka mudah mengingat-ingat, maka waktunya dibuat bersamaan dengan hari pasaran” Wijang dan Paksi pun kemudian meninggalkan penjual nasi megana itu. Mereka melihat-lihat lingkungan pasar yang menjadi semakin sepi. Tetapi kedai-kedai di pinggir jalan itu masih membuka pintunya. Masih ada satu dua orang yang datang untuk makan malam di kedai-kedai itu. Orang yang mempunyai bekal yang cukup, sehingga mereka tidak mau makan lesehan di pinggir pasar. Atau mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang berkedudukan. Di sebelah pasar itu terdapat sebuah halaman yang luas berdinding rendah. Di halaman yang luas itu terdapat dua buah rumah yang membujur panjang. Agaknya rumah itu belum terlalu lama dibangun. Bahkan yang satu agaknya lebih baru dari yang lain. “Mereka menginap di sini” berkata Wijang. “Ya” Paksi mengangguk-angguk. “Aku ingin melihat keadaan di dalamnya” “Apakah kita akan menginap di sini?” “Ya. Kita tidak berkeberatan jika kita harus membayar” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berdesis, “Ya. Kita akan membayar” Wijang pun berpaling kepadanya sambil mengerutkan dahinya. Sementara Paksi berkata, “Bukankah kau membawa uang?” Wijang termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa pendek sambil menjawab, “Kau juga membawa uang” Sejenak kemudian, keduanya telah menemui orang yang mengurusi penginapan itu untuk minta ijin bermalam. “Kau tahu bahwa menginap di sini harus membayar?” bertanya orang yang mengurusi penginapan itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berkumis lebat. “Mengerti, Paman” “Nah, kalian harus membayar lebih dahulu. Ada dua pilihan. Yang tidur di amben lajur panjang atau di amben yang terpisah-pisah masing-masing untuk seorang” “Tentu memilih di amben yang terpisah-pisah” “Membayarnya lipat dua” Wijang memandang Paksi sekilas. Namun kemudian ia pun berkata, “Kami akan tidur di amben lajuran itu saja, Paman” “Baiklah. Kau dapat memilih apakah kau akan tidur di amben lajur yang berada di sebelah barat atau di sebelah timur” Setelah membayar buat dua orang, maka keduanya pun masuk ke dalam barak yang memanjang itu. Keduanya berdiri termangu-mangu sejenak. Ada empat amben panjang yang membujur di dalam ruang itu. Kemudian beberapa amben yang terpisah-pisah buat seorang. Namun agaknya amben yang terpisah itu tinggal beberapa saja yang masih kosong. Namun agaknya tidak lama lagi, amben-amben yang terpisah-pisah itu akan terisi penuh. Keduanya pun kemudian pergi ke amben panjang yang membujur di sebelah pintu. Beberapa orang sudah lebih dahulu duduk-duduk di amben itu. Beberapa macam barang bawaan terletak di amben itu pula. Beberapa bungkusan keba-keba yang terbuat dari daun pandan. Beberapa buah keba kulit dan bahkan peti-peti kayu yang tidak begitu besar. Memang tidak semua yang menginap di rumah yang panjang itu akan menyeberangi sungai pergi ke Nglungge. Di antara mereka terdapat beberapa orang pedagang yang di hari pasaran itu menggelar dagangannya di pasar Manjung. Di ujung amben itu, beberapa orang telah berbaring sambil berbincang. Agaknya mereka adalah pedagang-pedagang yang lelah setelah di pagi hari menunggu dagangan mereka, kemudian membenahinya dan memuat di dalam pedati. Di sisi yang lain, di amben-amben yang terpisah itu pun beberapa orang telah berbaring pula. Agaknya mereka adalah pedagang-pedagang yang lebih kaya. Atau orang-orang yang berkedudukan, yang makan di kedai-kedai di pinggir jalan. Wijang yang duduk sambil memeluk lutut di sebelah paksi itu pun berdesis, “Nampaknya keadaan ini menguntungkan bagi Padukuhan Manjung dan barangkali juga orang-orang Nglungge” Paksi mengangguk-angguk sambil menyahut, “Ya. Ada pemasukan khusus setiap sepekan sekali. Orang yang memiliki tanah ini ternyata penalarannya cukup trampil sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan di lingkungannya. Rumah ini tentu menghasilkan lebih banyak daripada jika tanah ini ditanami palawija atau pohon buah-buahan” “Tetapi untuk membangun rumah ini diperlukan modal yang besar” Wijang mengangguk-angguk. Namun sambil mengamati tulang-tulang bangunan itu, ia berdesis, “Semuanya kayu glugu. Yang agaknya ditebang dari halaman ini sendiri” Paksi pun mengangguk-angguk pula. Beberapa saat kemudian, beberapa orang telah memasuki rumah yang panjang itu pula. Dari pembicaraan orang-orang yang ada di sekitarnya, Wijang dan Paksi mengetahui, bahwa rumah panjang yang satu lagi yang lebih kecil, dipergunakan oleh orang-orang perempuan. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka orang-orang yang ada di rumah panjang itu mulai membaringkan dirinya. Berjajar di amben yang panjang pula. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang sudah saling mengenal. Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang kemudian berbaring di sebelah Paksi yang masih duduk bersama Wijang, bertanya, “Anak muda, aku belum pernah melihat kalian sebelumnya. Siapakah kalian berdua dan kalian akan pergi ke mana sehingga kalian harus bermalam di tempat ini?” Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Dengan nada datar Wijang pun menjawab, “Kami tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami adalah pengembara yang menjelajahi tanah ini menurut langkah kaki saja” Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Tetapi kalian mempunyai banyak uang sehingga kalian dapat bermalam di tempat ini” “Kami tidak mempunyai banyak uang. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan lain. Adikku ini tubuhnya terlalu lemah, sehingga jika kami bermalam di udara terbuka, maka ia akan dapat menjadi sakit” “O” orang itu mengerutkan dahinya. “Jika adikmu sakit-sakitan, kenapa kau ajak ia mengembara?” “Kami sedang mencari satu lingkungan yang lebih baik. Di dalam pengembaraan kami, mungkin kami dapat menemukannya” “Kalian tadi yang membeli nasi megana di sebelah regol pasar itu?” “Ya. Kami tadi membeli nasi megana di sebelah regol pasar” Orang itu terdiam. Bahkan ia mulai memejamkan matanya. Sementara itu malampun menjadi semakin malam. Paksi dan Wijang telah berbaring pula. Orang-orang yang berada di dalam rumah yang panjang itu sebagian besar juga telah berbaring, meskipun masih ada yang berbincang perlahan-lahan dengan orang yang berbaring di sampingnya. Empat buah pintu dari rumah panjang tanpa sekat itu telah ditutup dan diselarak dari dalam, kecuali satu yang dijaga oleh seorang petugas. Dalam penglihatan Wijang dan Paksi, beberapa orang laki-laki yang bermalam di rumah panjang itu sebagian besar membawa senjata. Bahkan para pedagang yang menggelar dagangannya di pasar Manjung di hari pasaran itu juga bersenjata. Mereka harus mengamankan uang hasil jualannya. Tetapi mereka yang tidak akan menyeberang ke Nglungge, tidak merasa begitu gelisah. Jalan-jalan yang menuju ke tempat lain tidak segawat sasak penyeberangan yang menuju ke Nglungge. Sejenak kemudian, maka ruangan itu pun menjadi sepi. Yang terdengar kemudian adalah dengkur orang-orang yang sudah tertidur lelap. Seorang yang gelisah karena tidak dapat tidur, telah bangkit dan turun dari pembaringannya. Perlahan-lahan ia naik ke amben yang lain, yang masih tersisa tempat. Agaknya ia tidak tahan mendengar dengkur orang yang tidur di sampingnya. Paksi dan Wijang berbaring diam. Tetapi mereka masih belum tidur. Baru menjelang tengah malam, Wijang mulai lelap. Tetapi Paksi masih belum tidur. Ia mulai memikirkan adiknya yang berada di sebuah padepokan yang tidak diketahuinya yang dipimpin oleh Ki Gede Lenglengan. Padepokan yang berisi orang-orang yang tentu merupakan pendukung kuat dari Harya Wisaka. Bahkan meskipun Harya Wisaka sudah tertangkap, namun keyakinan mereka tentang perjuangan Harya Wisaka masih melekat di hati mereka. Ketika udara malam menjadi semakin dingin, maka Paksi menarik kain panjangnya untuk menyelimuti tubuhnya. Matanya pun mulai terpejam. Kesadarannya perlahan-lahan mulai menjadi kabur Tetapi tiba-tiba mata Paksi justru telah terbuka lagi. Ia bahkan terkejut, karena ia mendengar suara burung kedasih yang ngelangut. Tetapi suara burung kedasih itu agak aneh di telinga Paksi. Terdengar agak tergesa-gesa dan gelisah. Paksi pun kemudian menggamit Wijang. Namun sebelum Paksi berkata sesuatu, Wijang itu pun berdesis perlahan, “Suara burung kedasih itu?” “Aku kira kau tertidur” desis Paksi. “Aku memang tertidur. Tetapi suara burung kedasih itu cukup keras untuk membangunkan aku” Paksi terdiam. Didengarkannya suara burung kedasih itu dengan seksama. “Hati-hati, Paksi. Di mana tongkatmu?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tongkatnya diletakannya di sampingnya. “Apa yang harus kita lakukan?” bertanya Paksi. “Menunggu. Kita tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menunggu. Namun agaknya perkembangan keadaan yang akan terjadi, bukan yang kita harapkan” “Agaknya orang-orang yang terbiasa menunggu di sasak penyeberangan itu menjadi tidak sabar lagi, sehingga mereka akan datang kemari” “Selain itu, lawan mereka pun tidak sebanyak jika mereka menunggu di penyeberangan itu. Di sini tidak ada orang-orang yang datang dari arah Nglungge. Bukankah mereka sepakat untuk melawan bersama-sama, baik yang datang dari Manjung maupun yang datang dari Nglungge” “Ya. Mereka mempunyai beberapa keuntungan jika mereka datang kemari. Selain orang-orang yang menyeberang, di sini ada beberapa orang pedagang yang tadi pagi menjual dagangannya di pasar ini” “Ya. Jumlah mereka tentu tidak sebanyak orang-orang yang akan menyeberang dari Nglungge. Namun uang yang ada pada mereka tentu cukup banyak. Hasil penjualan dagangan mereka pagi tadi” Keduanya pun kemudian berdiam diri. Nampaknya orang yang bertugas jaga di satu-satunya pintu yang tidak diselarak itu tertidur. Wijang itulah yang kemudian bangkit dan turun dari pembaringannya. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan ke pintu. Dari celah-celah pintu dilihatnya orang yang menjaga pintu itu duduk di sebelah pintu. Namun agaknya orang itu pun tertidur. Wijang menjadi ragu-ragu. Jika ia keluar dari rumah itu dan mencoba membangunkan orang itu, maka orang itu akan dapat mencurigainya kelak. Ia dapat dianggap keluar dari rumah panjang itu untuk memberi isyarat kepada sekelompok orang yang mungkin akan berniat jahat. Karena itu, Wijang tidak keluar dari dalam rumah itu. Tetapi Wijang telah mendorong pintu yang sedikit terbuka itu, sehingga daun pintu lereg itu menyentuh orang yang bertugas sehingga terbangun. Ketika orang itu menggeliat dan menguap, maka Wijang pun segera kembali ke pembaringannya. Orang yang bertugas itu pun bangkit berdiri. Sambil mengusap matanya ia melangkah hilir mudik untuk menghilangkan kantuknya. Sekali ia menguap. Namun kemudian, ia pun duduk kembali di sebelah pintu. Tetapi tiba-tiba saja ia terkejut. Petugas itu pun mendengar suara burung kedasih yang terdengar asing. Karena itu, maka ia pun segera bangkit berdiri. “Suara itu terdengar semakin keras” berkata Paksi. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia justru telah berbaring kembali. Apalagi setelah ia mendengar langkah petugas di luar pintu itu tergesa-gesa pergi. “Kemana orang itu?” bertanya Paksi. “Orang itu tentu akan melaporkan kepada kawan-kawannya. Mungkin kepada pemilik rumah ini” “Orang yang menyuarakan isyarat itu bukan seorang penghubung yang baik. Ia tidak dapat menirukan suara burung kedasih dengan baik. Sebenarnya banyak cara untuk menyampaikan isyarat. Tetapi nampaknya suara burung kedasih sering dipergunakan” “Ya. Suara burung kedasih, burung kulik atau tuhu. Burung-burung yang berkeliaran di waktu malam. Sekali-sekali ada yang mempergunakan suara burung hantu atau suara anjing liar” “Itu tentu akan lebih baik” Keduanya pun terdiam. Suara burung kedasih itu terdengar semakin jelas. Tetapi justru karena itu, menjadi semakin jelas pula bahwa suara itu bukan suara seekor burung. Beberapa saat kemudian, tiga orang telah memasuki rumah panjang itu. Seorang membawa pedang telanjang, seorang membawa tombak pendek dan seorang membawa bindi. Ketiga orang itu pun telah membangunkan orang-orang yang bermalam di rumah panjang itu. “Ada apa?” bertanya seorang yang bertubuh gemuk. “Bangunlah. Siapkan senjata kalian” “Ada apa?” Ketiga orang itu telah mendekati seorang di antara mereka yang tidur di amben yang terpisah itu. Dengan nada berat seorang di antara mereka berkata, “Hati-hatilah, Ki Sudagar. Aku mendengar suara burung yang aneh” “Kenapa dengan suara burung? Apakah kau percaya bahwa suara burung di malam hari mempunyai pengaruh buruk bagi seseorang?” “Suara burung kedasih itu, Ki Sudagar” “Bagaimana dengan burung kedasih? Bukankah suara burung kedasih selalu seperti itu? Aku akan tidur. Jangan ganggu aku lagi. Persetan dengan suara burung kedasih itu” Seorang yang mengawal Ki Sudagar mendesak maju dengan menyibak ketiga orang yang membangunkan mereka itu. Katanya, “Ki Sudagar, dengar suara burung itu baik-baik” “Ya. Kenapa dengan suara burung itu? Apakah kau juga menjadi ketakutan seperti para petugas ini?” “Ki Sudagar belum mendengarkan suara burung itu dengan seksama” “Kenapa?” “Dengarlah” Ketika Ki Sudagar mulai mendengarkan suara burung itu, maka suara itu pun terdiam. Tetapi Ki Sudagar masih mendengar suara itu dua tiga kali. Tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Katanya, “Apakah itu isyarat bahwa ada sekelompok penjahat yang akan datang kemari?” “Kami belum tahu pasti, Ki Sudagar. Tetapi aku minta Ki Sudagar berhati-hati. Jika orang-orang datang kemari malam ini, tentu ada sebabnya. Selama ini mereka belum pernah datang langsung kemari” “Persetan. Tentu ada pengkhianatnya di antara kita” “Belum tentu, Ki Sudagar. Mungkin mereka sudah mengetahui bahwa malam ini Ki Sudagar ada di sini. Mereka tentu mengira, bahwa Ki Sudagar tentu membawa barang-barang berharga. Mungkin barang yang diperjual-belikan. Mungkin barang-barang berharga milik dan dikenakan oleh Ki Sudagar sendiri” “Tidak seorang pun tahu bahwa aku akan menyeberang esok” “Jangan berkata begitu. Banyak orang yang dapat mengenali ujud Ki Sudagar. Mungkin mereka tidak sengaja berkhianat. Tetapi pembicaraan dari mulut ke mulut yang menyebut bahwa Ki Sudagar ada di sini ternyata sampai ke telinga para penyamun itu” “Lalu mereka datang kemari malam ini?” “Kira-kira begitu, Ki Sudagar” “Anak iblis. Tetapi bukankah kita dapat melawan?” “Tentu. Kita sudah berjanji akan melawan bersama-sama” Wajah Ki Sudagar menjadi sangat tegang. Dipandanginya orang-orang yang bertugas di penginapan itu. Katanya, “Bagaimana pendapat kalian?” “Kita memang akan melawan bersama-sama. Mungkin Ki Sudagar merupakan umpan terbesar sehingga memancing mereka untuk datang kemari. Mereka tidak sabar menunggu esok di sasak penyeberangan. Tetapi jika orang-orang jahat itu datang kemari, berarti semua orang yang ada di sini akan kehilangan” Dua orang pengawal Ki Sudagar yang lain pun telah mendekat pula. Seorang di antara mereka bersenjata golok yang besar. Dengan suara parau orang itu berkata, “Kita tidak sendiri di sini Ki Sudagar. Jumlah kita cukup banyak” Orang-orang yang sudah terbangun itu pun segera berbenah diri. Tidak seorang pun yang akan merelakan harta mereka dirampas orang. Apalagi mereka berkumpul dalam jumlah yang cukup banyak. Ki Sudagar yang kaya itu telah dikerumuni oleh tiga orang pengawalnya. Orang yang membeli nasi megana bersama-sama dengan Wijang dan Paksi pun nampaknya menjadi gelisah pula. Agaknya mereka memang membawa sesuatu yang berharga. Bukan hanya dua lembar kain dan baju yang sudah lusuh. Suasana di dalam barak itu menjadi tegang. Tiba-tiba saja pemilik rumah itu masuk pula bersama seorang yang bertubuh raksasa. Sejenak ia termangu-mangu di depan pintu. Baru kemudian ia berkata, “Ternyata kalian sudah bersiaga. Aku curiga mendengar suara burung itu. Menurut pendapatku, suara itu bukan suara burung yang sebenarnya” “Ya” sahut salah seorang pengawal Ki Sudagar, “bahkan pasti. Suara itu bukan suara burung kedasih” “Aku sudah memerintahkan dua orangku untuk mengawasi jalan menuju ke sasak penyeberangan itu. Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, aku perintahkan salah seorang dari mereka melepaskan anak panah sendaren” “Bagus. Isyarat panah sendaren itu akan sangat berarti” “Sebaiknya kita bersiap. Kita akan memencar di luar rumah ini, agar kita mempunyai banyak kesempatan untuk mengayunkan senjata kita. Menurut pendapatku, setiap orang yang akan menyeberang sungai itu tentu sudah memperhitungkan bahwa kemungkinan seperti ini dapat saja terjadi. Bahkan setiap saat seperti yang kita alami sekarang” “Apakah semua di antara kita akan pergi keluar? Siapakah yang akan menunggui harta milik kita dan bawaan kita meskipun hanya selembar kain usang?” Tiba-tiba saja mata pemilik rumah itu tertuju pada Paksi dan Wijang yang berdiri termangu-mangu. “Aku belum pernah melihat kedua orang itu” berkata pemilik rumah itu. “Hampir semuanya yang menginap di sini aku kenal. Tetapi kedua orang ini rasa-rasanya asing bagiku” Semua orang memandang Wijang dan Paksi. Sementara itu, pemilik rumah itu pun melangkah mendekatinya diikuti oleh orang yang bertubuh raksasa. Sambil memandangi Wijang dan Paksi berganti-ganti pemilik rumah itu pun bertanya, “Siapa kalian, he?” “Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai tujuan. Kami terdampar ke tempat yang tidak kami mengerti ini” “Apakah kau sengaja disusupkan oleh para penyamun itu kemari?” “Kami tidak tahu apakah yang sebenarnya terjadi disini. Kami pun tidak tahu, bahwa disini berkumpul banyak orang yang akan pergi ke sungai. Aku baru mendengar dari penjual nasi megana di dekat pintu pasar” “Jangan membual. Kau tentu dua orang dari antara para penyamun itu. Kalian menyusup di antara mereka yang ingin menyeberang ke Nglungge untuk mengetahui, apakah di antara mereka yang akan pergi ke Nglungge itu ada yang membawa uang atau perhiasan atau harta benda yang lain yang bernilai tinggi” “Kami adalah pengembara yang tidak tahu apa-apa tentang tempat ini dan bahkan kami merasa sangat asing dengan keadaan ini” “Kau tentu sudah mempersiapkan jawaban sebelumnya, sehingga kau akan dapat mengelak dari tuduhan” “Kami benar-benar tidak tahu apa-apa. Kami sekedar akan lewat” Suasana di dalam rumah panjang itu menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang sudah mendesak maju. Kemarahan mulai membakar jantung mereka terhadap Wijang dan Paksi. Wijang dan Paksi memang menjadi bimbang. Jika orang-orang itu menyerang, apakah mereka tidak berhak untuk membela diri? Namun dalam pada itu, selagi belum terjadi sesuatu, terdengar anak panah sendaren bergaung di udara. “Mereka benar-benar datang” geram pemilik rumah itu. “Kita harus bersiap menyambut mereka” “Kita harus memencar” berkata orang yang bertubuh raksasa, pengawal pemilik rumah penginapan itu. Perhatian mereka terhadap Wijang dan Paksi pun pecah. Orang-orang yang berada di dalam rumah itu menjadi gelisah. Orang yang bertubuh raksasa itu pun berkata kepada pemilik rumah itu, “Kita tidak boleh terjebak di dalam ruangan ini” “Baik” sahut pemilik rumah itu. Lalu katanya kepada orang-orang yang berada di dalam rumah panjang itu, “Kita akan keluar dari rumah ini. Kita akan memencar. Tetapi jangan keluar dari halaman rumah ini” “Dinding rumah ini terlalu rendah untuk bertahan” berkata seseorang. “Berjongkoklah. Demikian seseorang meloncat masuk, kalian harus segera menyerang. Jika kita semuanya tidak berbuat apa-apa, maka kita semuanya akan mereka kuasai. Semua harta benda dan uang yang ada pada kalian, akan mereka rampas” Orang-orang yang ada di dalam rumah panjang itu mulai bergerak. Sementara itu, pemilik rumah itu pun berkata kepada orang-orangnya, “Jaga rumah sebelah. Lindungi perempuan dan anak-anak” Beberapa orang yang dipersiapkan untuk mengantar orang-orang yang menyeberang itu sampai ke sasak dan menyerahkan kepada para pengawal dari Nglungge sekaligus menerima orang-orang yang menyeberang dari arah Nglungge, telah ada di tempat itu pula. “Kalian tidak usah menunggu esok” berkata pemilik rumah itu. “Lakukan tugas kalian sekarang. Upah kalian akan tetap dibayar utuh” Beberapa orang itu pun segera bersiap. Laki-laki yang ada di ruangan yang panjang itu pun segera menghambur keluar. Pemilik rumah dan petugas-petugas di penginapan itu sibuk mengatur mereka dan memberikan petunjuk-petunjuk. Mereka berlari-larian kesana-kemari dengan mengacu-acukan senjata mereka. Dua orang di antara mereka telah menutup pintu regol. Namun hampir tidak ada gunanya, karena dinding halaman penginapan itu tidak setinggi dinding halaman rumah kebanyakan. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam, hampir saja mereka terjebak ke dalam pertentangan yang tidak berarti dan sia-sia. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya Paksi. “Kita juga pergi keluar. Kita akan melihat keadaan. Berhati-hatilah” Keduanya pun kemudian telah keluar dari ruangan yang panjang itu. Ketajaman mata mereka pun dapat segera melihat, dimana orang-orang yang menunggu datangnya para penyamun dan perampok itu menunggu.....
dibalik lembar-lembar daun sirih . meski badanku tak di sini. atau. bisik cicak di dinding kamarmu. melihat jejak meremang di dalam menangan. Bekas tanganku menumbuk pagi menjadi siang, lalu. mengunyahnya hingga gelap malam . dalam serat sirih yang dilipat bibir mengucur merah, netes seperti darah. istilah orang di kampungkung
Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat ia justru terdiam. Diedarkannya pandangan matanya kesekelilingnya. Hutan, sawah dan ujung gunung yang berselimut awan tipis. Namun Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Paksi. Jangan risau. Bukankah kau pulang sambil membawa cincin yang dikehendaki oleh ayahmu” “Jika karena itu, aku diterima baik oleh ayahku, maka bukan akulah yang diharapkan pulang. Tetapi cincin itu. Seandainya ada orang lain yang datang membawa cincin itu, maka ayah tidak akan pernah bertanya dimana aku berada. Apakah aku akan pulang atau tidak” “Jangan berprasangka buruk seperti itu, Paksi” Paksi seakan-akan tidak mendengar kata-kata Ki Marta Brewok itu. Tetapi ia berkata selanjutnya, “Wicitra yang sudah jelas berniat untuk mengusir ayah dan ibunya, pada saat yang gawat masih ditangisi oleh ibunya, sementara ayahnya bersedia mengorbankan nyawanya. Tetapi bagaimana dengan ayahku?” “Sudahlah. Pulanglah. Serahkan cincin itu kepada ayahmu” “Setelah aku renungkan, agaknya tidak ada gunanya bagiku menyerahkan cincin itu kepada ayah. Demikian cincin itu diambil kembali oleh Pangeran Benawa, maka aku tentu akan diusirnya lagi dari rumah. Bahkan mungkin ayahku memerintahkan kepadaku untuk mencuri cincin itu dari tangan Pangeran Benawa” “Jika cincin itu kemudian diambil Pangeran Benawa, bukankah itu bukan salahmu?” “Ayah tidak akan menghiraukan apakah aku bersalah atau tidak. Sebagaimana ayah memerintahkan aku mencari cincin itu, maka ayah tentu akan menimpakan beban itu dipundakku” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, disaat kau datang, maka kau akan diterima sebagai seorang pahlawan” Paksi menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah artinya seorang pahlawan, jika itu hanya semu?” “Sudahlah, Paksi” berkata Ki Marta Brewok, “kau jangan terlalu berprasangka. Kau wajib mencobanya” Paksi tidak menjawab. Demikianlah, maka mereka pun berjalan terus. Wijang masih berjalan beberapa langkah dibelakangnya. Ia serba sedikit mendengar pembicaraan antara Ki Marta Brewok dan Paksi. Sebenarnyalah Wijang juga merasa heran terhadap sikap ayah Paksi. Pada saat Paksi menginjak umur tujuh belas, ia harus meninggalkan rumahnya memasuki satu dunia yang sama sekali asing baginya, dunia yang keras dengan tugas yang sangat berbahaya, tanpa bekal sama sekali. “Ayah Paksi adalah seorang Tumenggung” desis Pangeran Benawa, “agaknya ia seorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas. Tetapi masih juga tumbuh di kepalanya untuk memperlakukan anaknya semena-mena” Tetapi desis itu hanya didengarnya sendiri. Bahkan kemudian ia pun bergumam pula perlahan sekali, “Pamrih dan ketamakan seseorang ternyata sangat berpengaruh terhadap sikap seseorang. Jika yang terjadi pada Paksi, anak yang diperlakukan semena-mena, sebaliknya yang terjadi pada Wicitra. Anaknyalah yang memperlakukan orang tuanya semena-mena” Namun Wijang itu pun kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Bagaimana dengan ayahku?” Wijang menarik nafas panjang. Katanya kepada diri sendiri, “Tetapi ayahku adalah seorang raja” Namun tiba-tiba timbul pertanyaan didalam hatinya, “Apakah ada bedanya kewajiban seorang ayah terhadap anaknya dari seorang raja dan bukan seorang raja?” Wijang termangu-mangu. Tetapi kakinya melangkah terus. Namun telinganya seakan-akan mendengar jawaban, “Tentu berbeda anak muda. Bukan saja terhadap anaknya. Tetapi juga terhadap istri-istrinya. Dengan bertumpu pada wewenang dengan kekuasaan, seorang raja dapat berbuat lain dari orang kebanyakan” Hampir diluar sadarnya, Wijang itu bergumam, “Tetapi hakekat seorang ayah dan kepala keluarga?” Wijang terkejut sendiri. Tetapi untunglah bahwa agaknya Paksi dan Ki Marta Brewok tidak menghiraukannya. Demikianlah bertiga, mereka berjalan terus. Paksi masih berjalan disamping Ki Marta Brewok. Wijang masih berjalan di belakang. Perjalanan ke Pajang memang sebuah perjalanan yang panjang. Karena itu, maka mereka harus bermalam di perjalanan. Tetapi ketiga orang itu sudah bersepakat untuk menghindari persoalan-persoalan yang timbul diperjalanan sehingga menghambat dan bahkan memperpanjang waktu perjalanan mereka. Mereka ingin segera sampai di Pajang. Meskipun Paksi menjadi sangat berdebar-debar, tetapi ia pun ingin segera tahu, apa yang akan terjadi dirumahnya nanti. Tetapi kesediaan Wijang menyerahkan cincinnya justru membuatnya semakin gelisah. Paksi pernah melihat Wijang menyerahkan cincin itu kepada seseorang yang ingin merampasnya. Tetapi orang itu harus menyerahkan kembali cincin itu. Bahkan bersama nyawanya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengerti, kenapa hal itu dilakukan oleh Wijang, karena menurut pendapatnya, Wijang bukan seorang pembunuh. “Jika orang itu dibiarkan hidup, maka Pangeran Benawa tidak akan mempunyai tempat untuk bergerak sama sekali” berkata Paksi didalam hatinya. Ketika kemudian malam datang, mereka tidak bermalam di sebuah banjar padukuhan agar mereka tidak tersentuh persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Sebenarnyalah dengan menginap di tempat terbuka, maka mereka memang tidak disentuh oleh persoalan-persoalan apapun. Dihari berikutnya, ketiga orang itu pun meneruskan perjalanan mereka dengan sangat berhati-hati. Ketika mereka merasa haus dan lapar, maka mereka pun singgah di kedai-kedai kecil yang tidak banyak disinggahi orang. Namun dalam pada itu, semakin dekat mereka dengan Pajang, jantung Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Seperti yang dikatakannya, rasa-rasanya ia sedang tidak mendekati rumahnya yang dihuni oleh ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Namun Ki Marta Brewok selalu membesarkan hatinya. Dengan nada dalam ia berkata “Keluargamu sedang menunggumu, Paksi” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijang pun berkata “Kau akan pulang sambil membawa cincin yang dicari oleh ayahmu itu, Paksi. Karena itu, jangan cemas, bahwa kedatanganmu akan mendapat sambutan buruk dari ayahmu” Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak dapat menyingkirkan debar dijantungnya. Bahkan semakin dekat dengan pintu gerbang kota, debar itu menjadi semakin keras. Namun Paksi pun kemudian menetapkan niatnya. Ia harus pulang. Ibunya sudah menunggu terlalu lama. Lebih dari setahun ia mengembara. Tetapi seperti yang sudah direncanakan, Paksi akan mengetuk pintu rumahnya setelah malam menjadi larut. Jika ia menyerahkan cincin itu, ayahnya tidak mempunyai kesempatan untuk memindahkan cincin itu ketangan orang lain. Setidak-tidaknya untuk malam itu. Namun sebelum Paksi sampai di rumahnya, maka ia harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk sampai ke istana dan mempersiapkan dirinya sebagai Pangeran Benawa yang kemudian akan datang kerumah Paksi untuk mengambil cincin itu. “Jika ayah berkeberatan, maka nyawa ayah akan dipungutnya pula” berkata Paksi didalam hatinya. Tetapi Paksi masih berpengharapan bahwa Wijang tidak memperlakukan ayahnya dengan cara yang garang itu. Justru karena Wijang mengenalnya dengan baik. Karena itu, maka Paksi pun tidak berpaling lagi. Ia harus segera pulang. Ketika malam turun, maka mereka pun telah memasuki gerbang kota. Wijang lah yang kemudian mendahului Paksi, langsung menuju ke istana setelah menyerahkan cincinnya kepada Paksi. Bersama Ki Marta Brewok, Paksi pun kemudian duduk di pinggir alun-alun yang sepi. Mereka membayangkan, Wijang itu memasuki regol butulan dan mengejutkan para abdi di istana. “Jangan cemaskan Pangeran itu” berkata Ki Marta Brewok. “Apakah Pangeran Benawa itu tidak akan dipanggil oleh ayahandanya untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya?” “Tentu tidak malam ini. Sultan Hadiwijaya kini menjadi sangat lamban. Segala-galanya kini menjadi lambat dan bahkan kadang-kadang beberapa masalah dilupakan begitu saja. “Tetapi apakah Kangjeng Sultan itu tidak akan langsung menanggapi kedatangan Pangeran Benawa yang sudah sekian lama pergi meninggalkan istana? Apalagi jika sudah diketahui bahwa Pangeran Benawa itu membawa cincin kerajaan?” “Kangjeng Sultan tidak akan beringsut dari pembaringannya” Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Untuk beberapa lama keduanya duduk di pinggir alun-alun. Sementara itu, malampun menjadi bertambah malam. Derik cengkerik terdengar menggores sepinya malam. “Nah, sekarang pulanglah. Tengah malam kau mengetuk pintu rumahmu. Mudah-mudahan kau diterima dengan baik oleh keluargamu. Terutama oleh ayahmu” Paksi mengangguk sambil berdesis, “Untuk seterusnya dimana aku dapat bertemu Ki Marta Brewok?” Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya “Aku akan sering berada disini. Terutama di malam hari” “Terima-kasih guru” sahut Paksi dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Tetapi kau jangan lupa pula kepada gurumu. Datanglah kepadanya. Laporkan apa yang pernah terjadi di sepanjang perjalananmu. Suka dan dukanya” “Baik, guru” jawab Paksi dengan suara yang bergetar. Paksi pun kemudian bangkit berdiri. Demikian pula Ki Marta Brewok. “Aku mohon diri guru” desis Paksi. Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi, “Baik-baiklah membawa dirimu” Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, “Baik, guru” Demikianlah, Paksi pun melangkahkan kakinya menyusuri pinggir alun-alun itu. Kemudian berbelok dan keluar melintasi jalan kota yang sepi. Sambil melangkah, Paksi mengamati jalan yang sudah dikenalnya dengan baik, namun yang sudah lebih dari satu tahun ditinggalkannya. Tetapi masih belum banyak yang berubah. Bangunan di sebelah-menyebelah jalan masih yang dahulu itu juga. Jantung Paksi terasa berdenyut semakin keras ketika ia menjadi semakin dekat dengan regol halaman rumahnya. Halaman rumah yang cukup luas. Rumahnya pun termasuk rumah yang baik sebagaimana rumah seorang Tumenggung. Ketika tangan Paksi menguak pintu regol rumahnya, hatinya pun menjadi semakin bergetar. Namun Paksi pun kemudian melangkah dengan mantap menuju ketangga pendapa. Malam telah menjadi semakin larut. Dikejauhan terdengar suara kentongan dengan irama titir. “Tengah malam” desis Paksi, “Pangeran Benawa tentu telah berbuat sesuatu. Menjelang pagi, Pangeran Benawa akan datang kerumah ini untuk mengambil cincin itu” Beberapa saat kemudian Paksi berdiri termangu-mangu di depan pintu pringgitan. Namun kemudian tangannya diangkatnya. Paksi mengetuk pintu rumahnya perlahan-lahan. Agaknya seisi rumah itu sudah tidur nyenyak. Demikian pula ayah, ibu dan adik-adiknya. Paksi pun telah mengetuk pintu rumahnya lagi. Agak lebih keras dari semula. Ternyata ketukan itu telah membangunkan ayah dan ibunya. Keduanya memang menjadi bimbang. Ketukan pintu di tengah malam itu menimbulkan berbagai prasangka pada keduanya. “Siapa?” terdengar suara ayah Paksi. “Aku ayah, Paksi” “Paksi?” nama itu sangat mengejutkannya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ibunyalah yang berlari ke pintu sambil menyebut nama itu, “Paksi. Kau benar Paksi?” Tetapi Ki Tumenggung dengan cepat menangkap lengannya sambil berkata, “Tunggu. Apakah benar yang datang itu Paksi” “Aku tidak dapat melupakan suaranya” “Sudah lama ia meninggalkan rumah ini. Segala-galanya tentu sudah berubah” “Tetapi suara itu tidak berubah sama sekali” “Tetapi kau tidak boleh tergesa-gesa. Mungkin suaranya tidak berubah. Mungkin yang datang itu memang Paksi. Tetapi apakah Paksi masih sama seperti Paksi yang dahulu atau tidak” “Paksi tidak akan pernah berubah. Ia adalah anakku” “Baiklah. Sambutlah anakmu itu” desis Ki Tumenggung. Ibu Paksi itulah yang kemudian mengangkat selarak pintu. Yang berdiri dimuka pintu memang Paksi. Demikian pintu terbuka, maka Paksi pun segera berjongkok di depan ibunya. Diraihnya tangan ibunya dan kemudian diciumnya. “Paksi. Paksi” desis ibunya. Ditariknya bahu Paksi agar anak muda itu berdiri. Kemudian, dipeluknya anak laki-lakinya yang sudah hampir satu setengah tahun mengembara. Paksi memeluk ibunya pula. Air mata yang mengalir dan membasahi bahu Paksi, terasa hangat. Mata Paksi terasa menjadi hangat pula. Ketika ibunya melepaskan pelukannya, maka Paksi pun berjongkok di hadapan ayahnya pula sambil berkata “Ayah, aku pulang” Ayahnya memandang wajah Paksi. Tetapi Paksi menunduk sehingga ayahnya tidak dapat melihat wajahnya itu. “Kau datang darimana, Paksi?” bertanya ayahnya. Paksi menjadi heran mendengar pertanyaan itu. Bahkan ibunya pun menjadi heran pula, sehingga ibunya pun itu menyahut “Bukankah Paksi pergi menjalankan perintah kakang Tumenggung” “O, benar begitu, Paksi?” Paksi tidak menjawab. Tetapi pengalamannya dalam pengembaraan, membuatnya menjadi bertambah lantip. Ia tahu kemana arah pertanyaan ayahnya itu. Karena itu, maka Paksi justru menunggu, apa yang akan ditanyakan ayahnya lebih lanjut. “Paksi” berkata ayahnya kemudian, “kau belum menjawab pertanyaanku” “Maksud ayah?” Paksi justru bertanya. “Apakah selama ini kau telah pergi menjalankan perintahku?” “Ya, ayah” jawab Paksi. Tetapi Paksi pun tahu, bahwa ayahnya akan segera bertanya apakah ia berhasil atau tidak. Bahkan ayahnya tentu akan mengingatkannya, bahwa ayahnya itu telah berpesan, agar ia tidak kembali sebelum ia berhasil menemukan cincin bermata tiga itu. Paksi harus menahan senyumnya ketika ia mendengar ayahnya itu bertanya “Kau ingat, bagaimana bunyi perintahku?” “Ingat ayah” jawab Paksi, “meskipun perintah itu ayah ucapkan setahun yang lalu” “Sebut bunyi perintahku itu” berkata ayahnya kemudian. “Biarlah ia duduk dahulu. Biarlah ia minum atau makan atau beristirahat dahulu. Ia baru datang setelah setahun meninggalkan rumah” “Jangankan setahun” jawab ayahnya, “seorang laki-laki akan melakukan tugasnya sampai tuntas. Sebelum selesai, maka seorang laki-laki pantang berhenti meskipun harus dilakukan seumur hidupnya” “Tetapi Paksi itu sekarang ada disini. Ia tidak akan lari. Kakang akan dapat bertanya kapan saja kepadanya” “Aku ingin mendengar jawabnya, apakah ia dapat menyelesaikan tugasnya sampai tuntas atau tidak sebelum ia masuk kedalam. Jika tugasnya belum tuntas, tidak pantas jika ia masuk kedalam rumah kita” “Biarlah ia masuk” “Tidak” Ki Tumenggung itu membentak. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa Nyi Tumenggung itu pun membentak pula “Tidak. Aku akan membawa Paksi masuk kedalam rumahnya sendiri” Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. Diluar sadarnya, ia bertanya, “Kau berani membantah kata-kataku, Nyi?” “Aku sudah tua. Aku sudah cukup lama menunjukkan kesetianku kepadamu, kakang. Jika sekarang aku bersikap lain, karena aku sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Baik bagi badanku, mau pun bagi namaku. Apa pun yang akan kau lakukan, lakukanlah. Jika kau ingin menghinakan aku, lakukanlah” Jantung Paksi menjadi bedebar-debar. Tetapi ia tidak sempat memikirkannya. Ibunya telah menariknya dan membawanya masuk keruang dalam. Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak mencegah ketika kemudian Nyi Tumenggung membimbing Paksi masuk keruang dalam. Sejenak kemudian Paksi pun telah duduk di ruang dalam. Dengan lembut ibunya berkata, “Duduklah Paksi. Aku akan membuat minuman bagimu” Paksi tidak menjawab. Tetapi dipandangnya ayahnya yang berdiri dengan wajah yang tegang. “Kau tidak akan pergi lagi, Paksi. Kau akan tetap berada di rumahmu” Paksi masih tidak menjawab. Sementara itu ibunya pun beranjak dari tempatnya untuk pergi kedapur. Namun ia sempat berkata, “Biarkan ia beristirahat dahulu, kakang. Jangan kau usik anak itu dengan segala macam pertanyaan yang dapat mengganggu ketenangannya” Paksi mendengarkan perselisihan itu dengan jantung yang berdebaran. Setelah melakukan pengembaraan lebih dari setahun panggraitanya menjadi semakin tajam. Karena itu, pembicaraan ayah dan ibunya yang keras itu telah menimbulkan berbagai tanggapan didalam hatinya. Namun ayahnya benar-benar tidak mengganggunya. Bahkan kemudian ayahnya itu masuk kedalam biliknya tanpa menutup pintu rumahnya. Karena itu, maka Paksi pun kemudian bangkit berdiri untuk menutup pintu yang terbuka itu. Didapur, ibunya telah membangunkan seorang pembantunya untuk menyiapkan minum dan makan bagi Paksi. “Hangatkan sayurnya” berkata ibu Paksi itu, “anak itu tentu kedinginan dalam perjalanannya yang panjang” Dalam pada itu, ibu Paksi itu pun segera masuk keruang dalam. Dilihatnya Paksi yang sedang menutup dan menyelarak pintu rumahnya. “Duduk sajalah Paksi” berkata ibunya, “kau tentu letih. Sebaiknya kau beristirahat. Mungkin kau ingin mandi atau berbenah diri” Paksi merasakan kesejukan kasih seorang ibu. Ia membayangkan betapa seorang ibu telah siap berkorban, meskipun anaknya sudah mengusirnya. Agaknya ibunya juga akan bersedia berkorban sebagaimana ibu Wicitra. Tetapi Paksi harus merenungi sikap ayahnya. Pembicaraan ayah dan ibunya yang pendek itu cukup keras. Tetapi Paksi pun harus menepati waktu sebagaimana dibicarakannya dengan Pangeran Benawa. Karena itu, sebelum Pangeran Benawa datang, cincin itu harus sudah berada di tangan ayahnya. “Kemana saja kau selama ini, Paksi. Aku sangat rindu kepadamu” Paksi mencoba untuk tersenyum. Ia tidak ingin membuat perasaan ibunya semakin pedih. Karena itu, maka wajah Paksi itu justru nampak gembira. Katanya, “Satu pengalaman yang menarik, ibu. Aku telah melihat daerah yang luas sekali” “Apakah kau tidak mengalami peristiwa-peristiwa buruk di perjalanan?” “Tidak, Ibu. Jika sekali-sekali kakiku terantuk batu, bukankah itu wajar sekali?” Ibunya menarik nafas panjang. Ia mengerti bahwa Paksi ingin menenteramkan hatinya. Namun ibunya itu terkejut ketika Paksi itu pun bertanya, “Dimana ayah?” Ibunya mengerutkan dahinya. Ia tahu bahwa suaminya berada didalam biliknya. Bahkan Ki Tumenggung itu tentu mendengar pertanyaan Paksi itu. “Bukankah ayahmu berada didalam biliknya?” “Aku ingin berbicara dengan ayah” “Bukankah dapat kau lakukan besok pagi? Beristirahatlah. Makanlah atau jika sebelumnya kau akan mandi dahulu. Kemudian berganti pakaian. Pakaianmu nampak lusuh dan kotor. Berapa bulan kau tidak berganti pakaian?” Paksi tertawa. Katanya, “Aku selalu mencucinya, ibu. Aku sengaja tidak menyediakan ganti pakaian. Setiap kali aku mencuci disungai, maka aku pun ikut berjemur sampai pakaian itu kering” “Kau bawa pula tongkat kayu, sehingga ujudmu benar-benar seperti seorang pengembara” Paksi tertawa. Katanya, “Tongkat ini tongkat wasiat, ibu. Seseorang memberikan kepadaku sebagai kenang-kenangan, itulah sebabnya, aku membawanya kemana-mana” “Bagaimana jika pakaianmu yang selembar itu koyak?” “Aku dapat membeli di pasar. Bukankah aku mempunyai uang?” “Jadi uang bekalmu itu masih ada? atau kau sudah menjual perhiasan yang ibu berikan kepadamu?” “Uang itu masih ada ibu. Aku tidak banyak membelanjakannya selama dalam pengembaraan” “Bagaimana kau makan sehari-hari?” Wajah Paksi nampak cerah. Ia teringat kepada kebunnya di lereng gunung Merapi. Sambil tertawa Paksi berkata, “Aku sempat berkebun di tanah yang subur, ibu” “Tanah siapa?” “Tanah tanpa pemilik. Aku membuka tanah di pinggir sebuah hutan” ketika Paksi melihat kerut didahi ibunya, ia segera berkata, “menyenangkan sekali. Satu pengalaman yang sulit aku dapatkan tanpa pengembaraan ini” Ibunya mengangguk-angguk. Namun karena ia melihat wajah Paksi yang cerah, maka hatinya pun menjadi terang pula. Bayangan-bayangan tentang kehidupan Paksi yang penuh dengan penderitaan menjadi semakin kabur. Bahkan ibu Paksi itu pun kemudian dapat tersenyum pula sebagaimana Paksi. Apalagi Paksi menganggap pengalaman hidupnya itu sangat berarti baginya, serta beberapa ceritera jenaka yang terjadi di perjalanannya. Namun kemudian Paksi itu pun bertanya lagi, “Dimana ayah, ibu” “Kau akan berbicara dengan ayahmu?” “Ya” “Penting sekali?” “Ya, ibu. Aku ingin menyampaikan hasil pengembaraanku” Ibunya termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jadi kau berhasil?” Sebelum Paksi menjawab, ayahnya sudah keluar dari dalam biliknya. Ia memang mendengar pembicaraan Paksi dan ibunya. Dengan tergesa-gesa ia pun bertanya “Jadi kau berhasil, Paksi?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ayahnya melangkah mendekatinya. Paksi pun telah bersiap-siap untuk mengamati wajah ayahnya disaat ia mendengar bahwa perjalanannya berhasil. “Ayah. Aku telah melakukan perintah ayah sejauh dapat aku lakukan. Ternyata Yang Maha Penyayang telah menuntun perjalananku sehingga aku berhasil” “Cincin itu?” “Ya, ayah” “Kau dapatkan cincin itu?” “Ya” “Lihat, apakah cincin itu benar-benar cincin yang dimaksud. Cincin bermata tiga butir batu akik yang berbeda warnanya dan jenisnya” Paksi pun kemudian telah mengambil cincin yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya. “Apakah benar cincin ini yang ayah maksudkan?” Mata Ki Tumenggung itu terbelalak. Ia melihat tiga butir mata cincin itu bagaikan bercahaya. Dengan tergesa-gesa diambilnya cincin itu dari tangan Paksi. Diamatinya cincin iu dengan seksama. Tiba-tiba Ki Tumenggung itu tertawa. Semakin lama menjadi semakin keras. “Kakang Kakang Tumenggung” panggil Nyi Tumenggung. Bahkan kemudian sambil mengguncang-guncang lengan suaminya, “kenapa kakang tiba-tiba kehilangan kendali seperti ini?” Suara tertawa itu memang mereda. Ki Tumenggung itu pun duduk sambil berkata, “Ternyata kau adalah anak yang sangat baik, Paksi. Kau dapat melakukan tugas yang dibebankan di pundakmu sehingga berhasil. Memang cincin inilah yang dicari selama ini” Paksi tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa kegembiraan itu tidak akan berumur panjang. Sebelum matahari terbit, Pangeran Benawa akan datang untuk mengambil cincin itu. “Dimana kau dapat cincin ini?” bertanya ayahnya kemudian. “Dikaki Gunung Merapi di sisi Selatan, ayah” Ayahnya mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun bertanya “Bagaimana kau mendapatkan cincin itu?” Paksi sudah menduga bahwa ayahnya akan bertanya seperti itu kepadanya. Karena itu dengan lancar ia pun menjawab, “Dalam samadi aku seakan-akan melihat bintang kecil yang jatuh dibalik segerumbul pepohonan. Ketika aku memburunya, maka ternyata aku menemukan sebuah telaga kecil dibalik gerumbul itu, ayah. Ketika aku mendekat, maka aku melihat cahaya tiga warna didalam air. Entah apakah yang meyakinkan aku waktu itu, tetapi aku pun segera terjun kedalam air menuju ke sumber cahaya itu. Ternyata aku mendapatkan cincin ini” “Paksi” berkata ayahnya, “aku tahu, bahwa banyak orang yang mencari cincin ini. Apakah kau tidak bertemu atau bahkan berebutan dengan mereka?” “Hanya akulah yang berada di telaga kecil pada waktu itu, ayah. Tidak ada orang lain. Baru kemudian, aku mengetahui bahwa di lereng sebelah Selatan Gunung Merapi banyak orang yang memburu cincin itu” “Dari mana kau tahu, bahwa mereka sedang memburu cincin itu sedangkan cincin itu sudah berada di tanganmu” “Dimana-mana terjadi keributan. Yang satu menuduh yang lain menyembunyikan. Bahkan ada seorang yang mencari seorang yang bernama Pangeran Benawa yang menurut kata mereka, telah melarikan cincin itu dari istana” “Jadi perebutan itu terjadi di tempat-tempat terbuka?” “Bahkan di pasar, di kedai, dimana saja” jawab Paksi, “di pasar aku juga pernah melihat dua orang saling menuduh. Bukan menyembunyikan cincin, tetapi menyembunyikan Pangeran Benawa” Ayah Paksi itu tertawa berkepanjangan. Katanya “Apa yang kau lakukan? Kau tentu mentertawakan mereka karena kaulah yang telah membawa cincin itu” “Ya, ayah. Tetapi aku justru harus berhati-hati. Aku takut bahwa cahaya mata cincin itu akan menembus kantong ikat pinggangku. Karena itu, aku selalu menyingkir jika terjadi perselisihan diantara mereka” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya “Bukankah kau tidak berbohong, Paksi?” Paksi mengerutkan dahinya. Katanya, “Maksud ayah?” “Tidak. Aku percaya kepadamu. Terima-kasih, Paksi” Ayahnya tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi dibawanya cincin itu kedalam biliknya. Ibu Paksi itu pun menarik nafas dalam-dalam. Diusapnya kepala anaknya sambil berkata, “Yang Maha Penyayang memberi jalan kepadamu untuk menyelesaikan tugasmu dengan baik” Paksi mengangguk kecil. Katanya, “Ya, ibu. Aku memang tidak berkeputusan memohon” “Permohonanmu ternyata didengarNya” “Ya, ibu” Namun pembicaraan mereka terhenti. Ia melihat Ki Tumenggung keluar dari biliknya dan dengan tergesa-gesa pergi ke belakang. “Ayah” panggil Paksi yang menjadi cemas. Tetapi Ki Tumenggung tidak mendengarnya. Bahkan ia berjalan terus ke belakang lewat pintu butulan. Paksi seakan-akan diluar sadarnva telah bangkit pula mengikuti ayahnya sampai ke pintu. Dari pintu butulan ia melihat ayahnya memanggil seorang pembantunya. Dengan singkat Ki Tumenggung itu memberi perintah-perintah. Paksi yang memiliki Aji Sapta Pangrungu sempat mendengar ayahnya berkata “Pergilah. Katakan, bahwa lampu itu telah menyala di Katumenggungan” Paksi tahu bahwa ayahnya telah memberi isyarat sandi. Tetapi agaknya pembantu ayahnya itu sudah tahu kemana ia harus pergi, sehingga tanpa disebut pun ia tidak bertanya. Ketika orang itu pergi ke kandang kuda, maka Paksi pun telah melangkah mundur dan kembali keruang dalam. Ayah Paksi pun telah masuk pula. Tanpa berpaling kepada Paksi dan ibunya yang berdiri termangu-mangu, Ki Tumenggung pun masuk kembali kedalam biliknya. Namun ibu Paksi itu pun kemudian berkata, “Apakah kau akan mandi dahulu sebelum makan?” Paksi ragu-ragu sejenak. Ia harus mengawasi ayahnya. Jika saja ayahnya menyerahkan cincin itu kepada orang lain. “Pembantu yang membawa isyarat sandi itu perlu mendapat perhatian khusus” berkata Paksi didalam hatinya. Karena itu, maka Paksi itu pun berkata, “Aku tidak mandi sekarang” “Jadi?” Sambil tersenyum Paksi berdesis, “Besok saja ibu. Dalam pengembaraan aku terpaksa tidak terlalu rajin untuk mandi” Ibunya pun tersenyum. Tetapi ia tidak memaksa. Karena itu, sejenak kemudian, Paksi itu justru duduk di ruang dalam untuk makan. Namun dari tempatnya Paksi tahu jika ayahnya meninggalkan biliknya atau jika ada orang lain yang masuk kedalam bilik itu. Paksi sengaja makan dengan perlahan-lahan. Karena ibunya menungguinya, maka Paksi pun berceritera panjang lebar tentang pengembaraannya. Paksi membuat dongeng tentang samadinya sehingga ia melihat bintang kecil yang seakan-akan jatuh dari langit, yang ternyata adalah cincin itu. Setiap kali ibunya mengangguk-angguk. Nampak kekaguman memancar di sorot mata ibunya. Ternyata anak laki-lakinya itu adalah anak laki-laki yang berani. Berbeda dengan bagian-bagian yang dirahasaikan, Paksi bercerita tentang keranda yang terbang di malam hari. Seluruh Kademangan menjadi ketakutan. Namun akhirnya Paksi dapat membongkar rahasia keranda terbang itu. “O. Kau tidak menjadi katakutan melihat keranda terbang itu, Paksi?” “Tentu tidak ibu. Sejak semula aku sudah tidak percaya bahwa ada keranda yang dapat terbang” “O, orang-orang Kademangan itu tentu berterima-kasih kepadamu” “Aku memang menjadi pahlawan ibu” Ibunya tertawa. Ceritera itu menjadi sangat menarik baginya. Sementara itu, kedua adik Paksi pun telah terbangun pula. Mereka pun kemudian telah ikut duduk diruang dalam menunggui Paksi yang sedang makan. Ternyata keduanya juga senang mendengarkan dongeng yang dibuat oleh Paksi. Bahkan keduanya tertawa tergelak-gelak ketika Paksi berceritera pula kepada mereka tentang keranda yang terbang itu. Kedatangan Paksi membuat kedua adiknya itu bergembira., Selama Paksi pergi, berganti-ganti mereka bertanya, kenapa Paksi tidak segera pulang. Karena itu mereka merasa benar-benar gembira ketika Paksi berada di rumah lagi. “Bukankah kakang tidak akan pergi lagi?” bertanya adik perempuan Paksi. “Tidak” ibunya yang menjawab. “Ayah tidak memerintahkan kakang untuk mencari cincin itu lagi?” “Ah, jangan berbicara tentang cincin itu” desis ibunya yang mengetahui bahwa cincin itu adalah benda yang menjadi bahan rebutan banyak pihak. Adik laki-laki Paksi pun berdesis “Kami bukan kanak-kanak lagi, ibu. Kami tahu, bahwa kami tidak boleh berbicara tentang cincin itu disembarang tempat. Tetapi bukankah disini tidak orang lain?” Paksi tertawa. Adiknya memang sudah nampak remaja. Tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang mengisyaratkan bahwa adiknya adalah seorang laki-laki yang kokoh. Bukan saja wadagnya, tetapi juga hatinya. Karena itu, maka Paksi pun berkata, “Tentu, kau tentu sudah bukan kanak-kanak lagi. Tetapi barangkali adikmu masih harus diberitahu tentang sesuatu yang rahasia” “Uh, kakang mengira bahwa aku masih kanak-kanak?” Paksi tertawa pula. Katanya, “Setahun lebih aku mengembara. Kau sudah nampak benar-benar seperti seorang gadis” “Ah” Tetapi adik laki-laki Paksi pun menyahut, “Sekali-sekali sudah ada anak muda yang memandanginya tanpa berkedip” Adik perempuan Paksi itu bangkit. Namun kakaknya dengan cepat bergeser. Katanya, “Jangan” Paksi tertawa berkepanjangan. Ia senang melihat adik-adiknya yang nampak bergembira. Agak berbeda dengan Paksi sendiri. Sebelum ia meninggalkan rumahnya, jarang sekali ia sempat bergurau. Ada saja yang harus dilakukannya. Sebagai anak seorang Tumenggung, Paksi termasuk seorang anak muda yang prihatin. Namun justru dalam pengembaraannya, Paksi menemukan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Dalam pada itu, malampun bertambah dalam. Paksi yang sudah selesai makan, masih belum beranjak dari tempatnya. “Beristirahatlah, Paksi” berkata ibunya kemudian. “Sebentar ibu” jawab Paksi, “baru saja aku selesai makan” “Tetapi kau tentu letih” “Sedikit” jawab Paksi, “tetapi aku tidak apa-apa. Adik-adikku masih ingin mendengarkan aku berceritera tentang pengembaraanku” Ibunya memandang adik-adik Paksi berganti-ganti. Katanya, “Apakah kalian tidak akan tidur lagi?” “Aku senang mendengarkan kakang Paksi berceritera” jawab adik perempuannya. Ibunya menarik nafas panjang. Sementara Paksi pun menyahut, “Aku juga masih belum ingin tidur ibu” Ibunya tidak dapat memaksa mereka. Bahkan ibunya juga masih saja duduk bersama mereka diruang dalam. Mangkuk-mangkuk nasi dan sayur serta lauknya seadanya, masih belum disingkirkan. Sebenarnyalah bahwa Paksi menunggu kedatangan Pangeran Benawa. Menurut pembicaraan mereka, Pangeran Benawa akan datang menjelang fajar. Sambil menunggu, Paksi mengisi waktunya dengan berceritera kepada adik-adiknya. Ceritera yang dikarangnya sekenanya saja. Namun yang dapat menimbulkan gelak dan tawa. Dalam pada itu, malampun beringsut menjelang dini. Ayam jantan sudah terdengar berkokok lagi. Adik perempuan Paksi itu sudah mulai menguap. Ia mulai mengantuk lagi. “Tidurlah” berkata ibunya, “masih ada waktu beberapa lama sebelum pagi” Adik perempuan Paksi itu pun kemudian bangkit sambil berkata, “Bukankah kau tidak akan pergi lagi, kakang?” “Tidak” jawab Paksi. “Besok kau harus berceritera lagi. Panjang sekali.” “Gantian” besok akulah yang akan berceritera. “Apa yang dapat kau ceriterakan?” “Banyak. Kancil yang suka mencuri timun” Adik perempuannya bergeser mendekatinya. Tetapi adik laki-laki Paksi itu bergerak lebih cepat menjauh. “Sudahlah” berkata ibunya “tidurlah. Kakakmu tentu merasa letih. Tetapi karena ia tidak mau mengecewakan kalian, maka ia masih bertahan” Adik perempuan Paksi itu pun kemudian telah pergi ke biliknya lagi. Demikian pula adik laki-laki itu pun berkala, “Aku akan tidur lagi, kakang. Kakang tentu juga letih” Paksi tersenyum. Katanya, “Tidurlah. Sebentar lagi aku juga akan tidur” Ketika kedua orang adiknya sudah tidur, maka ibunya pun berkata, “Tidurlah. Bilikmu masih bilik yang dahulu. Setiap hari aku membersihkannya. Karena itu, jika kau mau tidur, di bilikmu tidak terdapat banyak debu” Paksi itu mengangguk. Katanya, “Baik ibu. Aku akan pergi ke pakiwan lebih dahulu” Sejenak kemudian, setelah mencuci muka, tangan dan kakinya, Paksi pun telah duduk lagi di ruang dalam. Ibunya telah menyediakan pakaian sepengadeg jika Paksi mau berganti. “Pakaianmu kusut dan kotor, Paksi” Tetapi Paksi tertawa. Katanya, “Aku terbiasa memakai pakaian selembar ini untuk beberapa hari ibu. Kemudian mencucinya di kali sambil berjemur menunggu pakaian ini kering” “Kau sekarang ada dirumah, Paksi. Suasananya tentu berbeda. Terserahlah kepadamu” berkata ibunya kemudian, “tetapi beristirahatlah” “Baik, ibu, “ jawab Paksi. Tetapi sebelum Paksi beringsut, ia mendengar derap kaki kuda memasuki halaman rumahnya. Paksi itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kuda itu hanya seekor dan langsung berlari ke belakang. Paksi pun tahu, bahwa yang datang itu adalah pembantunya yang tadi yang menjalankan perintah ayahnya membawa isyarat sandi. Sebenarnyalah, ayah Paksi yang juga mendengar derap kaki kuda itu, langsung keluar dari biliknya. Membuka pintu butulan dan bertanya saja sambil berdiri di pintu butulan, “Bagaimana?” “Sudah Ki Tumenggung” jawab orang itu. “Bagus” berkata Ki Tumenggung tanpa keluar dari pintu butulan. Setelah menutup pintu butulan, maka ayah Paksi itu pun segera kembali kedalam biliknya. Sekilas ia memandang Paksi yang masih duduk di ruang dalam bersama ibunya. Tetapi ia sama sekali tidak bertanya. Paksi menarik nafas panjang. Tetapi ia pun tidak bertanya apa-apa pula. Ia hanya memandangi ayahnya yang kembali masuk kedalam biliknya. “Ternyata ayah juga belum tidur” berkata Paksi didalam hatinya. Paksi pun tahu, bahwa ada sesuatu yang dilakukan oleh ayahnya dengan cepat. Agaknya ayahnya juga tidak ingin terlambat. Namun Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh ayahnya itu. Tetapi tentu ada hubungannya dengan cincin yang baru saja dibawanya pulang. Karena itu, Paksi menjadi gelisah. Ia berharap bahwa Pangeran Benawa akan datang mendahului rencana ayahnya itu. Tetapi ibunya pun lelah bertanya lagi kepadanya, “beristirahatlah, Paksi. Bukankah kau letih?” Paksi tersenyum. Katanya “Baik ibu. Aku akan beristirahat. Tapi beberapa saat lagi fajar akan menyingsing” “Masih ada waktu meskipun hanya sedikit” Paksi memang pergi ke biliknya. Tetapi ia tidak berbaring dan apalagi memejamkan matanya. Paksi mengangkat wajahnya ketika ia mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Tetapi kemudian ia justru menjadi bimbang. Siapakah yang datang itu. Pangeran Benawa atau orang-orang yang telah meneriman isyarat ayahnya. Diluar sadarnya, Paksi tiba-tiba saja meraih tongkatnya yang disandarkannya di dekat pembaringannya. “Jika orang-orang itu bukan Pangeran Benawa dan akan mengambil, cincin itu, aku harus mencegahnya, apa pun yang terjadi” berkata Paksi didalam hatinya. Sejenak menunggu. Bahkan Paksi pun kemudian telah berdiri dipintu biliknya. Sejenak kemudian terdengar pintu pringgitan di ketuk orang. Agaknya beberapa orang telah naik ke pendapa dan langsung ke pringgitan. Karena tidak segera ada jawaban, maka pintu itu telah diketuk lagi. Lebih keras. Ibu Paksi pun telah berada di biliknya pula. Dengan nada cemas, ibunya itupur. berkata, “Kakang Tumenggung. Kakang dengar orang mengetuk pintu?” “Ya” jawab Ki Tumenggung. “Siapakah mereka itu?” bertanya istrinya. Ki Tumenggung itu bangkit dari pembaringannya. Disambarnya kerisnya dan dikenakannya di punggungnya. Sambil mengenakan bajunya ia bertanya, “Siapa diluar?” “Aku Ki Tumenggung” terdengar jawaban. “Apakah kalian tidak dapat datang besok? Ini bukan waktunya untuk datang ke rumah seseorang” Paksi mendengar kata-kata ayahnya itu. Dengan demikian Paksi tahu, bahwa yang datang itu tentu bukan orang-orang yang memang ditunggu oleh ayahnya, kecuali jika mereka dengan sengaja membuat satu permainan. Tetapi ketukan pintu itu terdengar lagi. Terdengar suara diluar pintu, “Ada sesuatu yang sangat penting, Ki Tumenggung. Bukalah pintumu” “Datanglah besok pagi” “Aku perlu sekarang. Bukalah pintumu atau aku akan membukanya sendiri” Ki Tumenggung menjadi bimbang. Meskipun sudah menyelipkan keris dipunggungnya, Ki Tumenggung itu masih menyambar tombak pendek di plonconnya. Sementara itu Paksi pun telah keluar dari biliknya pula. Bahkan adik laki-lakinya yang juga menggenggam tombak pendek. Ki Tumenggung memang nampak ragu-ragu. Namun terdengar suara diluar, “Ki Tumenggung. Bukalah pintunya. Yang datang adalah Pangeran Benawa” Paksi menarik napas dalam-dalam. Tetapi tidak seorang pun yang memperhatikannya, karena orang-orang diruang dalam itu memusatkan perhatiannya kepada pintu pringgitan yang tertutup rapat dan diselarak dari dalam. Ki Tumenggung benar-benar menjadi tegang. Bahkan ia pun telah berpaling. Dipandanginya Paksi dan adik Paksi itu berganti-ganti. Namun ayah Paksi itu tidak mengatakan sesuatu. “Ki Tumenggung” terdengar suara yang lain. Paksi langsung dapat mengenali suara itu. Suara Wijang. Tetapi ia tentu datang sebagai Pangeran Benawa. “Aku datang untuk satu keperluan yang penting. Tolong Ki Tumenggung, bukalah pintu rumahmu. Aku bukan perampok yang akan merampok kekayaanmu” Ki Tumenggung masih saja ragu-ragu. Nyi Tumenggung berdiri dibelakangnya dengan tubuh gemetar. Sementara itu Paksi dan adiknya berdiri tegak di depan bilik mereka masing-masing. Namun Ki Tumenggung tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun kemudian melangkah perlahan-lahan ke pintu pringgitan. “Kakang” desis Nyi Tumenggung. “Masuklah kedalam bilik Nyi” Nyi Tumenggung yang masih saja berdiri dengan gemetar. Paksi lah yang kemudian mendekatinya. Dibimbingnya ibunya masuk kedalam biliknya, “Sebaiknya ibu berada didalam bilik saja” Nyi Tumenggung itu masih saja ragu-ragu. Namun Paksi membimbingnya, bahkan sedikit mendorongnya sehingga ibunya itu pun kemudian masuk kedalam biliknya..... Ki Tumenggung pun kemudian telah mengangkat selarak pintu rumahnya. Demikian pintu itu terbuka, maka Ki Tumenggung itu pun melangkah mundur sambil mengangguk dalam-dalam. “Pengeran Benawa” desis Ki Tumenggung. “Bukankah namaku telah disebut” “Hamba Pangeran. Tetapi hamba masih ragu-ragu. Di jaman seperti ini, banyak orang-orang yang memanfaatkan nama-nama orang penting untuk mengelabui orang lain” Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Aku tidak menyalahkan Ki Tumenggung yang berhati-hati, sehingga Ki Tumenggung harus membawa tombak untuk menyambut kedatanganku” “Hamba mohon ampun, Pangeran” “Barangkali Ki Tumenggung dapat menyimpan tombak pendek itu” “Hamba Pangeran” Ketika Ki Tumenggung kemudian meletakkan tombaknya didalam plonconnya, maka Pangeran Benawa pun bertanya, “Apakah kedua anak muda itu anak Ki Tumenggung” “Hamba Pangeran” jawab Ki Tumenggung. “Aku melihat keduanya agak berbeda. Tapi mungkin yang aku lihat hanya ujud lahiriahnya saja. Yang satu berpakaian wajar dimalam hari, sedangkan yang lain berpakaian agak aneh. Kusut dan kumal” Ki Tumenggung memandang Paksi sekilas. Pakaiannya memang kusut dan kumal. Tetapi ia tidak menyangka bahwa Pangeran Benawa bakal datang malam itu dan sempat memperhatikan pakaian Paksi. Paksi sendiri memandang Pangeran Benawa yang tersenyum. Pangeran Benawa yang dikenalnya bernama Wijang itu berpakaian lengkap sebagaimana seorang Pangeran. Meskipun di malam hari, tetapi Pangeran Benawa itu memang hadir sebagai Pangeran diiringi oleh beberapa orang pengawal. Karena Ki Tumenggung sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka Pangeran Benawa pun kemudian berkata, “Sudahlah. Mungkin anak Ki Tumenggung yang satu itu memang lebih senang berpenampilan aneh seperti seorang pengembara” “Hamba Pangeran” sahut Ki Tumenggung sambil membungkuk hormat. “Nah, Ki Tumenggung. Aku minta maaf, bahwa malam-malam begini aku datang kerumah Ki Tumenggung. Ada sesuatu yang penting sekali yang harus aku bicarakan, menyangkut masa depan dari Kerajaan Pajang” Jantung Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Dengan nada dalam Ki Tumenggung itu bertanya, “Apakah titah Pangeran?” “Ki Tumenggung. Selagi aku samadi, maka aku telah menerima satu isyarat yang sangat mendebarkan jantungku. Seakan-akan ada suara yang berdengung di telingaku, bahwa sebuah bintang akan jatuh dari langit” Pangeran Benawa itu terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Rasa-rasanya ada pula yang mendorongku keluar sanggar. Sebenarnyalah aku telah melihat sebuah bintang kecil yang melayang dilangit dan jatuh dipermukaan bumi. Aku tidak tahu dengan pasti, arti dari isyarat itu. Tetapi pada waktu yang hampir bersamaan, Kiai Waskita, nujum istana telah datang menemuiku, justru saat aku masih berdiri di halaman sanggar. Kiai Waskita juga menerima isyarat yang menurut pendapatnya sangat penting. Cincin Kerajaan yang hilang telah kembali ke Pajang. Tetapi tidak langsung masuk ke bangsal pusaka. Aku masih harus mengambil cincin itu” Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin berdebaran. Arus darahnya bagaikan arus banjir bandang didalam nadinya “Ki Tumenggung” berkata Pangeran Benawa, “menurut petunjuk Kiai Waskita serta isyarat yang aku terima, maka aku harus mengikuti cahaya yang menyala seperti pelita menyusuri jalan-jalan kota. Meskipun mula-mula aku tidak melihat pelita itu, tetapi aku pun telah bersiap bersama beberapa pengawal. Ternyata petunjuk Ki Waskita itu benar. Beberapa saat kemudian aku memang melihat cahaya api seperti pelita yang keluar dari bangsal pusaka. Aku dan para pengawalku mengikuti nyala pelita itu. Aku sendiri tidak menyangka, bahwa pelita itu akhirnya memasuki halaman rumah ini dan bahkan masuk kedalam menyusup pintu meskipun pintunya tidak terbuka” Keringat dingin telah mengalir di punggung Ki Tumenggung. Namun dengan gagap Ki Tumenggung itu menjawab, “Ampun Pangeran. Hamba tidak mengerti, apa yang Pangeran maksudkan?” “Ki Tumenggung. Cincin kerajaan itu sekarang ada disini. Nah, jika Ki Tumenggung menyimpan cincin itu, tolong, berikan cincin itu kepadaku. Aku, atas nama ayah anda akan sangat berterima-kasih. Besok aku akan melaporkannya kepada ayahanda agar ayahanda itu sendiri memanggil Ki Tumenggung menghadap” “Tetapi hamba mohon ampun. Hamba sama sekali tidak tahu menahu tentang cincin kerajaan itu, Pangeran” “Maaf Ki Tumenggung. Bukannya aku tidak percaya kepada Ki Tumenggung. Tetapi barangkali Ki Tumenggung khilaf, tolong, apakah cincin itu ada disini atau tidak” Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Pangeran Benawa itu telah memberi isyarat kepada seorang yang menyertainya sambil berkata, “Kiai, kemarilah” Seorang tua yang jambang, kumis dan janggutnya sudah bercampur putih, melangkah maju. Matanya nampak sayu. sebuah tongkat bambu digenggamnya dengan tangan kirinya. “Ampun, Pangeran” desis orang itu. “Nah, katakan, dimana cincin itu berada” Orang itu mengangkat wajahnya. Kemudian dimiringkannya kepalanya, seakan-akan ia sedang mendengarkan sesuatu. “Cincin itu ada disini Pangeran” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Tumenggung dengan tajamnya. Katanya, “Nah, kau dengar Ki Tumenggung. Cincin itu ada disini” “Tetapi…, Pangeran Hamba tidak tahu, apakah sebenarnya yang Pangeran kehendaki. Hamba sama sekali tidak tahu tentang cincin yang Pangeran maksudkan” “Kiai. Apakah Ki Tumenggung atau kau yang telah berbohong” “Ampun Pangeran Hamba sama sekali tidak berani berbohong” Tiba-tiba saja orang yang disebut Ki Waskita itu memandang Paksi dengan tanpa berkedip. Bahkan kemudian orang itu maju selangkah mendekatinya. Paksi memang terkejut melihat kehadiran orang itu. Orang itu telah dikenalnya dengan baik, karena orang itu adalah Ki Marta Brewok. Tetapi penampilannya yang berbeda, serta kehadirannya di rumahnya itu memang membuat Paksi juga bertanya-tanya. Ki Marta BrewoK nampak jauh lebih tua dari yang dikenalinya. Ia membuat jambang, kumis dan janggutnya menjadi bercampur putih. Bahkan nampak punggungnya sedikit bongkok bertumpu pada sebatang tongkat bambu. Beberapa saat setelah Paksi berpisah dengan Wijang, ia masih sempat duduk di pinggir alun-alun beberapa lama. Baru kemudian ia meninggalkan Ki Marta Brewok itu untuk pulang sambil membawa cincin bermata tiga itu. “Agaknya Ki Marta Brewok seorang yang dekat dengan Pangeran Benawa” berkata Paksi didalam hatinya. Dalam pada itu, Ki Marta Brewok yang oleh Pangeran Benawa disebut Kiai Waskita itu pun mendekati Paksi sambil berkata, “Nah, anak muda. Aku melihat getar yang lain pada sorot matamu. Kenapa kau menjadi sangat gelisah d an ketakutan?” Paksi benar-benar menjadi bingung, sementara Kiai Waskita melangkah semakin dekat “Aku melihat hubungan anak ini dengan cincin itu, Pangeran. Kemudian aku melihat pula hubungan Ki Tumenggung dengan cincin itu pula” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun suaranya masih tetap bernada rendah, “Ki Tumenggung. Jangan mempersulit tugasku. Atau ayahanda sendiri yang harus datang kemari? Bukankah itu tidak sewajarnya bahwa seorang raja harus turun dari istana untuk mengambil sebuah cincin, meskipun cincin itu cincin kerajaan?” Ki Tumenggung benar-benar menjadi bingung. Meskipun Pangeran Benawa masih mengendalikan diri sepenuhnya, namun Pangeran yang masih muda itu akan dapat bertindak lebih keras lagi sesuai dengan kemudaannya. Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Maafkan aku Ki Tumenggung. Jika aku mengatakan yang sebenarnya itu sama sekali bukan karena aku mengada-ada. Tetapi isyarat itu kami lihat dengan jelas. Maksudku, Pangeran Benawa melihatnya dan aku juga melihatnya. Aku tidak tahu apakah ada orang lain yang juga melihatnya, sehingga mereka pun akan datang kemari untuk berusaha merebutnya dari tangan Ki Tumenggung. Ki Tumenggung justru berdiri seperti patung. Jantungnya bergejolak didalam dadanya. Dalam pada itu, dengan ujung tongkat bambunya, Kiai Waskita itu menyentuh perut Paksi sambil bertanya, “He, anak muda. Katakan sesuatu tentang cincin itu. Apakah cincin itu ada padamu sehingga Ki Tumenggung tidak tahu menahu?” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Paksi pun menjawab, “Aku tidak tahu yang Kiai Waskita maksudkan. Jika disini dipersoalkan sebentuk cincin, maka aku sama sekali tidak tahu, cincin apakah yang sedang dipersoalkan itu” Tetapi Kiai Waskita tertawa. Katanya “Kau tidak dapat menyembunyikan kegelisahanmu. Nah, katakan. Dimana cincin itu” Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan tegas Paksi menjawab pula, “Aku tidak tahu” “Kau membuat Pangeran Benawa marah” berkata Kiai Waskita. Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang Pangeran Benawa, maka dilihatnya Pangeran Benawa itu tersenyum. Katanya “Anak muda. Jika kau mengetahui dimana cincin itu disimpan, tolong katakan kepadaku. Kau akan mendapat ganjaran yang memadai dengan keterangan itu, karena cincin kerajaan itu akan segera kembali ke bangsal pusaka” Paksi menggelengkan kepalanya. Katanya “Hamba tidak mengetahui Pangeran” Pangeran Benawa tertawa. Ia pun melangkah mendekati Paksi. Diamatinya pakaian Paksi yang kusut itu. Bahkan kemudian Pangeran Benawa itu melangkah mengitarinya. “Pakaianmu aneh, anak muda. He, apakah kau benar anak Ki Tumenggung seperti juga anak muda yang satu itu?” Paksi mengangguk. “Kenapa kau memakai pakaian seperti ini?” Paksi tidak segera dapat menjawab. Tetapi tanpa disengaja ia memandang sepengadeg pakaian yang sudah disediakan oleh ibunya. “Anak muda” berkata Pangeran Benawa, “kau masih mempunyai waktu untuk mengatakan, dimanakah cincin itu” Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Dalam kediaman itu, ruangan dalam rumah Ki Tumenggung itu terasa dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri di hadapan Paksi pun mulai bersikap lebih keras. Katanya “Jangan menghambat tugasku anak muda. Pada saat matahari terbit nanti, aku harus menghadap ayahanda dan menyerahkan cincin itu” “Pangeran” berkata Paksi kemudian, “hamba tidak tahu menahu yang Pangeran maksudkan” “Sekali lagi aku bertanya” Pangeran Benawa itu mulai membentak, “dimana cincin itu, he. Aku dapat mempergunakan kuasaku atas nama ayahanda untuk memaksamu berbicara” Sementara itu Kiai Waskita pun berkata, “Katakan anak muda. Katakan agar kau terlepas dari kemarahan Pangeran Benawa” Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Sebenarnyalah Paksi memang menjadi bingung. Apa yang harus dikatakannya. Sebelumnya Wijang dan Kiai Mana Brewok tidak mengatakan bahwa ia akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Paksi terkejut ketika ia mendengar Pangeran Benawa itu berkata, “Bawa semuanya ke halaman” “Pangeran” sahut Ki Tumenggung, “apa maksud Pangeran?” Pangeran Benawa mengulangi perintahnya, “Bawa semuanya ke halaman” Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa itu pun segera bergerak. Mereka pun segera membawa Ki Tumenggung, Paksi dan adik laki-laki Paksi. Namun dalam pada itu, ia mendengar Ki Marta Brewok berbisik, “Kau harus tetap ingkar, Paksi” Paksi mengerutkan dahinya. Namun dengan demikian ia tahu, apa yang harus dilakukannya. Sejenak kemudian, mereka lelah berada di halaman. Paksi didorong berdiri di tengah-tengah. Pangeran Benawa yang berdiri dihadapannya itu pun bertanya sambil bertolak pinggang, “Siapa namamu, anak muda” “Nama hamba Paksi, Pangeran” jawab Paksi. “Nah Paksi. Katakan, dimana cincin itu sekarang. Menurut Kiai Waskita, menilik sikapmu dan tentu saja dari penglihatan yang lebih dalam dari sekedar melihat sikap dan ujud lahiriah itu, kau tahu dimana cincin iiu sekurang” “Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu, apakah yang Pangeran maksudkan dengan cincin kerajaan itu” Wajah Pangeran Benawa menjadi tegang. Suaranya menjadi semakin keras, “Katakan, Paksi. Selagi kau masih mempunyai kesempatan” “Ampun Pangeran. Apa yang mesti hamba katakan” Nampaknya kemarahan Pangeran Benawa tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada salah seorang pengawalnya, “Berikan cambuk itu” Paksi benar-benar menjadi tegang. Demikian pula Ki Tumenggung dan adik laki-laki Paksi itu. “Kau mau mengatakan dimana cincin itu atau tidak, Paksi” “Ampun Pangeran. Hamba benar-benar tidak tahu” Tiba-tiba cambuk yang berjuntai panjang itu meledak. Paksi terkejut, sehingga ia bergeser selangkah surut. Ki Tumenggung pun benar-benar menjadi cemas. Bukan karena Paksi yang akan disakiti. Tetapi yang dicemaskan adalah bahwa Paksi akan terpaksa mengatakan, bahwa cincin itu telah diberikan kepadanya. “Paksi” bentak Pangeran Benawa, “aku tidak terbiasa melakukan dengan cara ini. Tetapi kali ini aku terpaksa melakukannya jika kau tetap tidak mau menunjukkan cincin itu. Paksi sama sekali tidak menjawab. Pangeran Benawa itu pun kemudian melangkah maju. Sementara Kiai Waskita telah mendekatinya sambil berkata, “Anak muda. Bukankah lebih baik jika kau tidak disakiti. Katakan dimana cincin itu” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun telinga Paksi itu pun kemudian mendengar perlahan-lahan sekali, “Rapatkan kakimu” Paksi tidak tahu, apa maksud Ki Marta Brewok. Tetapi Paksi itu pun kemudian berdiri tegak dengan kedua kakinya yang merapat. “Kiai Waskita” berkala Pangeran Benawa, “menyingkirlah. Biarlah aku memaksa anak itu berbicara dengan caraku” Ki Marta Brewok yang disebut Kiai Waskita itu pun kemudian bergeser menjahui Paksi sambil berkata, “Jangan biarkan tubuhmu sakit, ngger” Tetapi Paksi tetap berdiam diri. Pangeran Benawa lah yang kemudian mendekati Paksi. Tiba-tiba saja cambuknya terangkat dan terayun deras sekali menyambar kaki Paksi. Satu ledakan yang keras kemudian terdengar. Adik Paksi memejamkan matanya. Ia tidak mau melihat kaki kakaknya itu dikoyak oleh juntai cambuk yang panjang itu. Paksi sendiri mengatupkan giginya rapat-rapat serta meningkatkan daya tahan tubuhnya. Namun ternyata Paksi sendiri merasa heran, bahwa lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit di kakinya, ujung cambuk itu rasa-rasanya hanya melingkari kakinya saja tanpa melukainya. Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun membentak lagi, “Nah, apakah kau masih tetap tidak mau mengatakannya?” Paksi benar-benar berdiri tegak seperti patung. Ia sama sekali tidak bergerak, tetapi juga tidak berbicara. Sekali lagi cambuk itu meledak. Juntainya melingkar di arah paha Paksi. Tetapi seperti yang pertama, lecutan cambuk itu tidak terasa terlalu sakit. Namun demikian, orang-orang yang menyaksikan lecutan-lecutan cambuk itu kulitnya terasa meremang. Adik laki-laki Paksi bukan saja memejamkan matanya, tetapi ia bergeser dan berpaling. Sementara Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Jika Paksi tidak tahan lagi, maka ia tentu akan berbicara tentang cincin yang sudah diserahkan kepadanya itu. Dalam pada itu, ketika Pangeran Benawa siap untuk mengayunkan cambuknya lagi, tiba-tiba ibunya berlari menghambur lewat pintu pringgitan menuruni tangga pcndapa, langsung memeluk anaknya. Sambil menangis ibu Paksi itu pun berkata, “Ampun Pangeran. Jangan sakiti anakku. Jika anakku salah dan harus dihukum, hukum saja hamba Pangeran” “Anakmu bersalah” berkata Pangeran Benawa. “Anakku tidak tahu apa-apa, Pangeran” “Minggirlah, Nyi Tumenggung” “Tidak. Aku tidak akan pergi. Biarlah aku yang mengalaminya. Biarlah aku dicambuk bahkan sampai mati sekalipun. Tetapi jangan anakku” Pangeran Benawa berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Nyi Tumenggung yang menangis itu dengan tajamnya. Sementara itu, Paksi merasakan betapa hangatnya ia berada didalam pelukan ibunya. Setahun lebih ia mengembara, seakan-akan terlempar dari keluarganya. Seakan-akan Paksi itu tidak lebih dari kleyang kabur kanginan. Seperti daun kering yang diterbangkan angin. Terbayang kembali peristiwa yang menimpa Wicitra. Ibunya juga memeluk Wicitra seperti ibunya. Ibu Wicitra itu juga bersedia menggantikan hukuman anaknya seperti ibunya. Tetapi ayahnya berbeda dengan ayah Wicitra. Jika ayah Wicitra bersedia mati bagi anaknya, ayahnya sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika ia dicambuk. Untunglah bahwa yang mencambuk itu adalah Pangeran Benawa yang agaknya dapat mempermainkan cambuknya sehingga tidak sangat menyakitinya, meskipun juntai cambuk itu juga terasa menyengat kakinya. Ki Tumenggung lah yang kemudian menjadi tegang. Pangeran Benawa itu melangkah mendekatinya dengan cambuk ditangannya. “Ki Tumenggung segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung tidak mau menunjukkan cincin itu kepadaku, maka aku akan memaksamu” “Pangeran” berkata Ki Tumenggung, “hamba adalah seorang Tumenggung. Pangeran tidak dapat berbuat seperti itu terhadap hamba. Meskipun Pangeran adalah putera Kangjeng Sultan. Tetapi apakah Pangeran berhak menghukum hamba, seorang Tumenggung yang diangkat berdasarkan kekancingan Kangjeng Sultan Hadiwijaya” “Aku tidak akan menghukum Ki Tumenggung. Tetapi aku akan membawa Ki Tumenggung menghadap ayahanda. Kiai Waskita akan menjelaskan segala-galanya kepada ayahanda. Sementara itu, aku akan menggeledah rumah Ki Tumenggung. Kiai Waskita akan tahu, apakah cincin itu ada dirumah ini atau tidak” “Pangeran” wajah Ki Tumenggung menjadi tegang, “hamba mohon Pangeran mengerti. Hamba tidak membawa cincin itu” Pangeran Benawa tidak menghiraukannya. Katanya, “Aku sendiri akan mencari cincin itu didalam bersama Kiai Waskita” “Pangeran” potong Ki Tumenggung. Tetapi Pangeran Benawa itu berkata selanjutnya, “Bawa Ki Tumenggung dan anak ini kembali masuk kedalam” Kepada Nyi Tumenggung Pangeran Benawa berkata, “Jika anak muda itu tidak Nyi Tumenggung lepaskan, maka ia akan mengalami nasib yang lebih buruk lagi” Nyi Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun Kiai Waskita lah yang mendekatinya sambil berkata, “Nyi. Untuk kepentingan anakmu sendiri. Lepaskanlah anak itu. Ia akan kami bawa masuk kedalam bersama Ki Tumenggung untuk mencari cincin itu” Nyi Tumenggung masih belum melepaskan Paksi, sehingga Kiai Waskita berkata, “Aku akan menanggung keselamatan anakmu” Dengan sorot mata penuh kebimbangan Nyi Tumenggung itu memandang Kiai Waskita. Dengan nada yang meyakinkan Kiai Waskita berkata, “Percayalah kepadaku” Akhirnya Nyi Tumenggung melepaskan Paksi yang kemudian digiring memasuki rumahnya kembali oleh Kiai Waskita sementara Ki Tumenggung telah dibawa oleh para pengawal Pangeran Benawa naik ke pendapa kemudian memasuki pringgitan. Namun sementara itu Ki Marta Brewok sempal berdesis di telinga Paksi, “Dimana cincin itu disimpan?” “Dibawa masuk kedalam bilik ayah” bisik Paksi. Sejenak kemudian Ki Tumenggung dan Paksi itu lelah berada diruang dalam. Beberapa orang pengawal berdiri didepan pintu. Pangeran Benawa yang berada diruang dalam itu pun kemudian bertanya kepada Kiai Waskita, “Kiai, barangkali kita tidak dapat memaksa Ki Tumenggung untuk berbicara. Bahkan mungkin Ki Tumenggung benar-benar tidak tahu bahwa cincin itu ada di rumah ini, karena cincin itu datang sendiri. Karena itu, kita akan mencari dengan cara kita sendiri” Kiai Waskita mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan mencoba, Pangeran” Sejenak kemudian, Kiai Waskita itu pun berdiri ditengah-tengah ruang dalam. Ia pun merenung sesaat. Kemudian seperti orang yang mendengarkan sesuatu yang tidak jelas, Kiai Waskita memiringkan kepalanya. Tiba-tiba saja Kiai Waskita itu melangkah perlahan-lahan. Tangan kirinya bertumpu pada tongkatnya. Punggungnya yang agak bongkok menjadi semakin bongkok. Kepala Ki Tumenggung menjadi pening ketika ia melihat orang yang disebut Kiai Waskita itu melangkah kepintu bilik Ki Tumenggung. Didepan pintu Kiai Waskita itu berhenti. Katanya “Menurut pengamatan hamba, cincin itu ada didalam bilik ini, Pangeran” “Ini bilik siapa Ki Tumenggung?” “Bilik hamba, Pangeran” “Nah, Ki Tumenggung. Kami akan mencari cincin itu di-bilik Ki Tumenggung. Tetapi agar Ki Tumenggung tidak menuduh kami mengambil sesuatu milik Ki Tumenggung, aku minta Ki Tumenggung menunggui kami disaat kami mencari cincin itu didalam bilik Ki Tumenggung” “Sebenarnya hamba memang berkeberatan, Pangeran. Didalam bilik itu tersimpan perhiasan-perhiasan Nyi Tumenggung. Benda-benda pusaka simpanan hamba dan benda-benda berharga lainnya” Pangeran Benawa mengangguk-anguk. Katanya, “Aku mengerti, Ki Tumenggung. Jika demikian, aku persilahkan Ki Tumenggung sajalah yang mencari cincin itu. Kami akan menungguinya. Seperti yang aku katakan, mungkin cincin itu datang sendiri ke rumah ini. Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang Ki Tumenggung sendiri tidak tahu” “Tetapi…” “Seharusnya Ki Tumenggung tanggap akan maksudku dengan kesempatan yang aku berikan ini. Karena aku mempunyai cara lain yang tentu tidak akan Ki Tumenggung senangi” Ki Tumenggung berdiri termangu-mangu. Sementara Pangeran Benawa berdesis perlahan, “Cara ini mungkin untuk menyatakan bahwa Ki Tumenggung tidak bersalah” Ki Tumenggung tidak dapat berbuat lain. Ia menyadari, bahwa Pangeran Benawa sudah memberikan kesempatan kepadanya, sehingga ia dapat dianggap tidak bersalah. Tetapi beratnya untuk menyerahkan cincin itu. Cincin yang diburu oleh Paksi untuk waktu yang panjang. Lebih dari setahun. Tetapi jika Pangeran Benawa kehilangan kesabaran dan menggeledah sendiri bilik itu dan menemukannya, maka ia tidak akan dapat ingkar, bahwa ia dapat dituduh menyembunyikan cincin Kerajaan atau bahkan lebih buruk dari itu. Ia dapat dituduh mencuri cincin Kerajaan yang hilang itu karena terbukti dapat diketemukan dirumahnya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu akhirnya berkata, “Baiklah, Pangeran. Aku akan mencarinya. Memang mungkin cincin itu turun dari langit dan langsung masuk kedalam rumahku dan bahkan kedalam bilikku” Dengan lesu Ki Tumenggung itu pun kemudian masuk ke-dalam biliknya. Sementara Pangeran Benawa berdiri dipintu. Memang tidak ada yang dapat dilakukan oleh Ki Tumenggung selain mengambil cincin itu dan kemudian menyerahkannya kepada Pangeran Benawa. Pangeran Benawa yang berdiri dimuka pintu menerima cincin itu sambil tersenyum. Namun ia pun masih juga berdesis perlahan sekali, “Ki Tumenggung, sebenarnyalah Kiai Waskita tahu bahwa cincin itu tidak turun dari langit. Tetapi cincin itu tentu dibawa oleh seseorang kemari. Getaran panggraitanya yang tajam tidak dapat ditipu dengan cara apa pun juga. Tetapi jika aku berkata demikian dihadapan para pengawal, maka berarti harus ada orang yang ditangkap dan dituntut karena telah menyembunyikan cincin kerajaan” Ki Tumenggung tidak menyahut. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun demikian, terasa didadanya seakan-akan ombak di lautan yang didera prahara berdeburan menghantam tebing. “Nah, sudahlah. Persoalan ini aku anggap selesai. Aku tidak akan mempermasalahkannya lagi. Besok aku akan menghadap ayahanda dan berusaha untuk meredam persoalan ini agar tidak berkepanjangan” “Terima-kasih, Pangeran” desis Ki Tumenggung. “Sekarang, aku minta diri” Ketika kemudian Pangeran Benawa keluar dari ruang dalam, maka para pengawalnya yang berdiri dimuka pintu pringgitan pun mengikutinya pula. Demikian pula Kiai Waskita dan Ki Tumenggung. Dibelakangnya Paksi melangkah dengan ragu-ragu. Namun demikian Pangeran Benawa berada di pendapa bersama beberapa orang pengawalnya serta Kiai Waskita, tiba-tiba saja diluar dugaan siapapun, Ki Tumenggung itu berkata, “Ampun Pangeran… Jika hamba boleh berterus terang. Anak hamba itulah yang telah membawa cincin ini pulang” “He” Pangeran Benawa itu benar-benar terkejut mendengar pengakuan itu. Demikian pula Ki Marta Brewok dan apalagi Paksi sendiri. Pangeran Benawa yang kemudian berdiri tegak di pendapa itu bertanya dengan suara bergetar, “Apakah kau berkata sebenarnya?” “Hamba Pangeran. Pangeran melihat sendiri, bahwa anak hamba itu masih mengenakan pakaian seorang pengembara. Dalam pengembaraannya itulah ia menemukan cincin itu dan dibawanya pulang. Diserahkannya cincin itu kepada hamba, sehingga dengan demikian hamba tidak tahu menahu, dari mana anak hamba itu mendapatkan cincin kerajaan itu” Beberapa orang pengawal Pangeran Benawa serentak bergeser. Meskipun mereka belum menerima perintah apapun, namun mereka tiba-tiba saja sudah bersiaga. Untuk beberapa saat Pangeran Benawa tercenung. Ia memang agak bimbang menanggapi laporan Ki Tumenggung itu. Namun Pangeran Benawa itu pun tanggap pula, bahwa dalam saat yang gawat itu, Ki Tumenggung masih sempat berusaha untuk menyingkirkan anak sulungnya itu. Paksi sendiri pun segera mengetahui maksud ayahnya itu. Dengan demikian, maka Paksi lah yang harus bertanggung-jawab tentang cincin kerajaan yang berada di rumahnya itu. Pendapa rumah Ki Tumenggung itu pun kemudian telah dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa yang tidak siap menghadapi keadaan itu, memang harus berpikir, apa yang sebaiknya dilakukan. Sementara itu, para pengawalnya telah siap untuk menjalankan perintah yang setiap saat diucapkan dari mulutnya. Pangeran Benawa memang dapat menguasai para pengawalnya itu dengan baik. Ia pun dapat memerintahkan para pengawalnya untuk merahasiakan apa yang terjadi seandainya dikehendakinya. Tetapi Pengeran Benawa tidak yakin, bahwa sekian banyak mulut para pengawalnya itu tidak ada satu pun yang terlanjur mengucapkan rahasia itu kepada orang lain sehingga rahasia itu akan dapat merambat sampai ke mana-mana, seandainya ia mengabaikan laporan Ki Tumenggung. Pengeran Benawa pun kemudian telah melangkah mendekati Ki Tumenggung. Pangeran Benawa itu berdiri hanya selangkah saja dihadapannya. “Kenapa tidak kau katakan hal ini sejak aku datang? Kenapa kau ingkar, bahwa dirumah ini terdapat cincin Kerajaan?” “Ampun Pangeran. Hamba hanya ingin melindungi anak hamba” “Jika demikian, kenapa justru pada saat segala-galanya aku anggap selesai, kau justru mengatakan bahwa anakmulah yang telah membawa cincin itu?” “Pangeran. Hamba ternyata tidak dapat mempertahankan kebohongan itu. Perasaan bersalah telah menekan jiwa hamba, sehingga akhirnya hamba memang harus berterus-terang. Kenyataan yang buruk tidak akan dapat disembunyikan selama-lamanya, sehingga akhirnya aku memilih untuk berterus-terang” “Ternyata kau memberikan pengakuan yang berbelit-belit, Ki Tumenggung. Tetapi baiklah. Aku sadari, bahwa aku tidak dapat bertindak tergesa-gesa terhadap seorang Tumenggung yang mendapat surat kekancingan langsung dari ayahanda. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada ayahanda. Tetapi tentang anakmu, akulah yang akan menentukan, apakah anakmu akan digantung atau dipancung” Tiba-tiba terdengar ibu Paksi menjerit. Ia pun berlari dan sekali lagi memeluk anaknya. “Jangan bawa anakku” teriak Nyi Tumenggung. Pangeran Benawa yang tidak menduga menghadapi persoalan itu memang agak menjadi bingung. Apa yang sebaiknya dilakukan. Namun dalam pada itu, Kiai Waskita pun telah mendekati Nyi Tumenggung sambil berkata, “Kau tidak dapat menahan anakmu, Nyi. Ia harus ikut bersama Pangeran Benawa” Namun kemudian hampir berbisik Kiai Waskita berkata, “Jangan cemas, Nyi. Aku akan melindunginya” Tiba-tiba tangis Nyi Tumenggung itu mereda. Nada suara itu pernah didengarnya. Lembut dan menyentuh perasaannya. Kiai Waskita itu pun berkata pula, “Lebih baik kau menyerahkan anakmu daripada persoalannya berkepanjangan. Jangan membuat Pangeran Benawa merasa terganggu dengan tingkahmu, Nyi” Namun kemudian Kiai Waskita itu berbisik lagi, “Percayalah kepadaku” Nyi Tumenggung tidak menyadari, pengaruh apa yang telah mencengkam jantungnya, sehingga Nyi Tumenggung itu melepaskan anaknya. Sementara Paksi sendiri berbisik, “Memang ibu jangan cemas. Aku sudah mengenal Kiai Waskita dengan baik” “Berkidunglah tembang Asmarandana, Nyi” desis Kiai Waskita kemudian, “kau pandai melagukannya. Kemudian kau pun harus selalu berdoa kepada Sang Pencipta untuk keselamatan anakmu” Kiai Waskita itu pun kemudian telah menarik lengan Paksi sambil berkata, “Ikut kami. Jika kau ingin membawa tongkatmu, bawalah” Paksi tidak menolak. Katanya kepada ibunya, “Aku minta diri ibu” Ibunya melepaskan Paksi dengan air mata yang mengalir di pipinya. Tetapi ada sesuatu yang aneh pada orang berewok yang bernama Kiai Waskita itu. Suaranya yang lembut itu seakan-akan pernah didengarnya. Bahkan orang itu menyebut tembang yang memang sering dilagukannya dahulu. Terasa ada sesuatu yang aneh pada orang itu. Namun Nyi Tumenggung itu pun tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia percaya kepada orang itu. Kiai Waskita pun kemudian telah membawa Paksi turun ke halaman. Sementara Pangeran Benawa pun telah bersiap pula meninggalkan halaman rumah itu. Seorang pengawal telah memegangi kendali kudanya ketika tiba-tiba saja beberapa orang berkuda memasuki halaman rumah Ki Tumenggung. Namun orang itu terkejut ketika mereka melihat Pangeran Benawa ada di halaman rumah itu pula, sehingga dengan serta-merta orang-orang itu pun berloncatan turun. “Paman Harya Wisaka” desis Pangeran Benawa. Harya Wisaka tertegun sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Angger Pangeran Benawa. Kenapa angger berada disini?” “Aku telah mengambil cincin kerajaan yang hilang itu paman. Cincin itu ada disini. Kiai Waskita dengan ketajaman panggraitanya dapat menangkap getarnya sehingga kami datang kemari untuk mengambilnya. Nah, kenapa paman pagi-pagi buta juga datang kemari?” Harya Wisaka menjadi berdebar-debar. Tetapi ternyata nalarnya memang trampil sehingga ia pun segera menjawab, “Aku terbiasa berkuda di pagi-pagi buta mengelilingi kota. Bukankah angger tahu itu? Dengan laku seperti itu, kesehatanku akan tetap terjaga. Pada umurku sekarang, aku berani berlomba melawan anak-anak muda, khususnya dalam ketrampilan menguasai kuda. Tetapi aku pun bersedia berlomba dalam hal apa saja” Pangeran Benawa mengerutkan dahinya Katanya, “Paman memang luar biasa” “Pagi ini kebetulan aku berkuda lewat didepan rumah ini. Aku tertarik mendengar sedikit keributan, sehingga aku pun kemudian singgah” “Apakah terjadi keributan disini?” bertanya Pangeran Benawa. “Apa pun yang terjadi, tetapi yang terjadi itu sangat menarik perhatianku” “Jika demikian, baiklah. Kami akan meninggalkan tempat ini. Kami telah berhasil mendapatkan cincin itu. Kami akan membawa anak muda yang telah membawa cincin itu ke rumah ini. Anak laki-laki sulung Ki Tumenggung” Harya Wisaka tidak menyahut. Tetapi nampak wajahnya menjadi tegang. Pangeran Benawa pun kemudian telah meloncat kepunggung kudanya. Ia pun kemudian berkata kepada seorang pengawalnya, “Berikan salah satu kuda kalian kepada anak muda itu. Kalian dapat berkuda berdua” Namun sebelum kuda Pangeran Benawa itu bergerak, Pangeran Benawa itu masih berkata, “Paman, aku tertarik akan kesediaan paman untuk berlomba ketrampilan menguasai kuda tetapi juga dalam hal apa saja” “Kenapa?” bertanya Harya Wisaka. “Suatu kali aku ingin melakukannya” Wajah Harya Wisaka menjadi panas. Dengan lantang ia pun menyahut, “Bagus ngger. Aku terima tantangan itu. Kapan angger ingin melakukannya” “Terserah kepada paman. Aku siap setiap saat” jawab Pangeran Benawa sambil menggerakkan kendali kudanya. Darah Harya Wisaka tersirap. Ia merasa ditantang oleh anak-anak yang baru kemarin berani naik ke punggung kuda. Tetapi dihadapan para pengawal, Harya Wisaka tidak dapat berbuat apa-apa. Namun Harya Wisaka itu pun masih juga menjawab, “Terima kasih atas kesempatan yang angger Pangeran berikan itu. Aku tidak akan pernah melupakannya” Pangeran Benawa tidak menghiraukannya lagi. Bahkan berpaling pun tidak. Bersama para pengawalnya Pangeran Benawa meninggalkan halaman rumah ayah Paksi yang mendapat gelar Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Sepeninggal Pangeran Benawa, maka ibu Paksi pun segera berlari masuk kedalam biliknya. Ia pun segera menjatuhkan dirinya menelungkup di pembaringan. “Ibu” terdengar suara anak laki-lakinya, adik Paksi. Nyi Tumenggung itu pun mencoba menahan isaknya. “Jangan menangis, ibu. Kakang Paksi akan dapat menjaga dirinya sendiri” Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil berdesis, “Kenapa hal ini harus terjadi atas kakakmu. Ia baru saja pulang dari pengembaraannya. Kini ia justru telah ditangkap dan dibawa oleh Pangeran Benawa. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu justru menunjuk kakakmu ketika Pangeran Benawa itu sudah siap untuk beranjak pergi” “Aku juga tidak mengerti, ibu. Seharusnya ayah tidak melakukannya” Nyi Tumenggung itu pun bangkit ketika ia melihat anak gadis remajanya berdiri di depan pintu biliknya. “Ibu, apa yang terjadi. Aku takut sekali ibu” “Kemarilah, ngger” desis Nyi Tumenggung. Gadis remaja itu pun berlari langsung memeluk ibunya. Tubuhnya gemetar oleh ketakutan yang sangat. “Jangan takut” kakaknya mencoba untuk menenangkannya, “besok aku akan mencari keterangan tentang kakang Paksi. Aku yakin, Pangeran Benawa tidak akan berbuat sewenang-wenang” “Apa yang terjadi dengan kakang Paksi?” bertanya adik perempuannya yang tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi. “Sedikit kesalah-pahaman. Hanya itu” jawab kakaknya. “Kau harus tidur lagi, ngger” desis Nyi Tumenggung. “Sudah pagi ibu. Sebentar lagi kita harus sudah bangun” “Kembalilah ke bilikmu. Masih ada waktu untuk beristirahat” berkata kakaknya. Tetapi gadis remaja itu menggeleng, katanya, “Aku disini saja bersama ibu” Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Ibu akan pergi ke dapur dan membangunkan para pembantu. Di pendapa ada beberapa orang tamu. Ayahmu tentu minta dibuatkan minuman bagi mereka” “Aku ikut ibu pergi ke dapur” Nyi Tumenggung tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka diajaknya anak gadisnya pergi ke dapur, sementara kakaknya kembali ke biliknya. Meskipun anak muda itu kembali berbaring di pembaringannya, tetapi ia tidak dapat memejamkan matanya. Ia memang merasa heran atas tingkah laku ayahnya yang dengan sengaja menyurukkan kakaknya kedalam kesulitan. Seandainya ayahnya itu tidak menunjuk Paksi, maka menurut Pangeran Benawa, persoalannya tentu tidak akan mempermasalahkannya lagi. Sementara itu, tiba-tiba saja telah datang Harya Wisaka dengan beberapa orang pengikutnya, sehingga anak muda itu bertanya didalam hatinya, “Apakah ada hubungan antara sikap ayah itu dengan kehadiran Harya Wisaka. Atau kehadiran Harya Wisaka itu ada hubungannya dengan kedatangan kakang Paksi yang membawa cincin kerajaan itu?” Tetapi anak muda itu sama sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi dalam kaitannya dengan cincin kerajaan itu. Dalam pada itu, di halaman, Harya Wisaka menjadi sangat tegang. Kemarahannya serasa membakar jantungnya ketika ia mendengar dari Ki Tumenggung tentang sikap Pangeran Benawa. “Apakah benar kau mendapat isyarat dari langit tentang kehadiran cincin itu dirumah Ki Tumenggung?” “Aku tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah menuntun Pangeran Benawa itu kemari” “Yang aku ketahui, cincin itu justru dibawa oleh Pangeran Benawa yang justru telah meninggalkan istana beberapa lama. Bagaimana mungkin cincin itu dapat jatuh ketangan anakmu” “Tetapi ternyata anakku dapat menemukannya disebuah belumbang kecil. Ia melihat cahaya yang seakan-akan jatuh dari langit dan jatuh dibelakang sebuah gerumbul. Ternyata di belakang gerumbul itu terdapat sebuah belumbang” Harya Wisaka termangu-mangu sejenak, la mencoba menghubungkan peristiwa demi peristiwa. Demikian beruntun. “Hampir saja aku justru terjebak” desis Harya Wisaka. “Aku tidak sempat memberitahukan, bahwa Pangeran Benawa telah datang kemari” jawab Ki Tumenggung. “Tetapi berhati-hatilah, Ki Tumenggung. Pangeran Benawa adalah seorang anak muda yang cerdik dan berani. Ia tentu mempunyai prasangka buruk terhadapku karena aku datang kemari pagi-pagi buta” “Tetapi itu lebih baik daripada Pangeran Benawa datang kemudian” berkata Ki Tumenggung. Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. la dapat langsung melibatkan aku dalam soal cincin ini” “Sekarang, semua kesalahan telah aku limpahkan kepada Paksi. Biarlah Paksi bertanggung jawab atas cincin itu” “Kenapa Ki Tumenggung justru melimpahkan tanggung-jawab kepada anak Ki Tumenggung? Kenapa Ki Tumenggung tidak justru melindunginya?” “Anak iblis. Biar ia belajar memahami arti hidup. Anak itu tidak boleh menjadi benalu dirumah, meskipun ia anakku” “Kau termasuk orang yang aneh, Ki Tumenggung. Baru saja ia pulang dari sebuah pengembaraan yang panjang sambil membawa cincin kerajaan yang hilang itu” “Tetapi kehadiran anak itu dirumah hanya akan menimbulkan bencana saja” “Apakah Ki Tumenggung akan membiarkan anak itu dihukum jika ia dianggap bersalah?” “Apa yang harus aku lakukan? Jika aku melibatkan diri, maka tentu akulah yang akan dihukum” Harya Wisaka mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita memang tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi pada anakmu yang berada di tangan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa adalah orang yang aneh” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. “Kau dengar, Pangeran Benawa itu menantang aku?” “Ya” “Banyak kemungkinan dapat terjadi” Ki Tumenggung itu tidak menjawab. “Sudahlah” berkata Harya Wisaka, “aku akan kembali. Perburuan akan beralih didalam kota. Pangeran Benawa ternyata telah berada diistana kembali. Seandainya Pangeran Benawa itu tertangkap dimasa pengembaraannya, maka sia-sialah kematiannya. Ia akan mengalami nasib yang sangat buruk, justru karena cincin itu tidak ada padanya” “Tidak seorang pun yang akan percaya bahwa cincin itu tidak ada padanya” “Ternyata cincin itu ada pada anakmu yang sekarang kau surukkan kedalam mala-petaka” Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi ia merasakan sesuatu yang ganjil pada tekanan kata-kata Harya Wisaka..... “Apakah Harya Wisaka itu telah mencurigai aku?” bertanya Ki Tumenggung itu kepada diri sendiri. Dalam pada itu, maka Harya Wisaka pun berkata, “Nah, Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Aku minta diri. Mudah-mudahan kita berhasil untuk menggenggam cita-cita” Harya Wisaka itu justru mendekati Ki Tumenggung, “Cincin itu harus jatuh ketanganku. Pangeran Benawa haruss mati. Pajang akan kehilangan seluruh masa depannya” “Bukankah ada lajur lain yang dapat temurun dan menguasai tahta Pajang?” “Cincin kerajaan itu ada padaku. Aku akan mempergunakan pengaruhnya untuk memaksakan kehendakku. Banyak orang yang akan mendukung kehadiranku di Pajang” Ki Tumenggung tidak menjawab. Sementara itu, Harya Wisaka pun telah minta diri dan meninggalkan halaman rumah Ki Tumenggung. Dalam pada itu, anak laki-laki Ki Tumenggung yang semula berbaring didalam biliknya, ternyata telah menyelinap keluar. Biliknya terasa panas sekali. Bahkan kegelisahannya membuatnya tidak betah berbaring didalam biliknya dan lewat pintu butulan ia berdiri di pintu seketeng. Diluar kehendaknya, ia justru mendengar pembicaraan ayahnya dengan Harya Wisaka. Anak muda itu menyesal sekali, bahwa ia telah mendengar pembicaraan itu. Ia merasa kecewa sekali terhadap sikap ayahnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Karena itu, yang didengarnya itu justru menjadi beban yang terasa sangat berat di hatinya. “Apa yang sebenarnya ayah kehendaki? Pangkat? Derajad? Atau apa?” bertanya anak muda itu didalam hatinya, “sekarang pun ayah telah memilikinya. Ayah adalah seorang Tumenggung. Ayah adalah seorang yang cukup dihormati. Hidupnya berkecukupan. Apalagi? Apakah ayah ingin menjadi Tumenggung Wreda atau malah menjadi seorang Patih jika benar Harya Wisaka berhasil menguasai Pajang?” Sejenak kemudian, halaman rumah Ki Tumenggung yang luas itu menjadi sepi. Harya Wisaka dan para pengikutnya telah meninggalkan halaman itu. Sementara itu Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun telah masuk pula keruang dalam. Ketika dilihatnya adik Paksi itu berada diserambi, ia pun bertanya, “ Apa yang kau lakukan disitu?” “Aku tidak dapat tidur ayah, “ jawab anak muda itu. “Dimana ibumu?” “Didapur ayah. Ibu ingin menyiapkan minuman buat tamu-tamu ayah itu” “Mereka sudah pulang” “Mungkin airnya belum mendidih” Ki Tumenggung pun kemudian telah pergi ke dapur. Dilihatnya Nyi Tumenggung duduk diamben panjang. Disisinya duduk anak perempuannya yang masih saja gemetar. “Kenapa kau umpankan Paksi, Ki Tumenggung” berkata Nyi Tumenggung. “Aku umpankan? Bukankah aku mengatakan apa yang sebenarnya terjadi?” “Tetapi bukankah Ki Tumenggung dapat berdiam diri tanpa menunjuk kepada Paksi?” “Jadi kau ingin leherku dijerat ditiang gantungan oleh Kangjeng Sultan?” “Bukankah Pangeran Benawa tidak membawa kakang Tumenggung? Pangeran Benawa itu sudah akan meninggalkan rumah kita ketika tiba-tiba saja kakang menyebut nama Paksi” “Pangeran Benawa memang tidak membawa aku malam ini. Tetapi besok beberapa orang prajurit akan datang dan menyeretku ke alun-alun. Ditengah-tengah alun-alun sudah siap tiang gantungan yang akan menjerat laherku itu” “Aku tidak yakin bahwa itulah yang akan terjadi atas kakang Tumenggung seandainya kakang Tumenggung tidak menyebut nama Paksi. Tetapi tadi Pangeran Benawa sudah mengatakan, bahwa Paksi akan dapat digantung atau dipancung menurut keputusan Pangeran Benawa sendiri” “Itu terjadi diluar kuasaku” “Kalau saja ayah tidak menyebut nama kakang Paksi” desis adik perempuan Paksi. “Diam kau. Kau tidak tahu apa-apa. Apakah ibumu sudah meracuni otakmu sehingga kau dapat berkata seperti itu?” Namun terdengar suara adik laki-laki Paksi dipintu dapur, “Ayah sebenarnya tidak perlu menyebut nama kakang Paksi dihadapan Pangeran Benawa” “Jadi kau juga ingin melihat tubuhku tergantung di alun-alun?” “Aku tidak ingin melihat tubuh ayah tergantung di alun-alun. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kakang Paksi dipancung besok” “Salah satu diantara kita akan dikorbankan. Aku mengenal watak Pangeran Benawa yang bengis” “Seharusnya ayah bertahan sampai saat terakhir. Jika ayah menganggap bahwa kakang Paksi memang lebih baik dikorbankan daripada ayah sendiri, maka baru pada saat terakhir, jika segala usaha sudah gagal, ayah dapat menyebut nama kakang Paksi” “Tutup mulutmu” bentak ayahnya, “kau memang dungu. Kau tidak tahu apa yang sedang terjadi. Karena itu, jangan ikut campur. Aku tahu apa yang terbaik yang harus aku lakukan. Aku pun harus menegakkan kembali wibawaku di rumah ini. Nyi Tumenggung harus menyadari hal ini. Aku tidak mau kau bersikap seperti saat Paksi itu datang, Nyi. Aku laki-laki dan kau tidak lebih dari seorang perempuan. Kau tahu, siapa yang berkuasa dirumah ini siapa pun kau” Nyi Tumenggung melihat mata suaminya menjadi merah. Meskipun demikian, naluri seorang ibu masih saja berusaha untuk membela anaknya. Karena itu, maka Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Tetapi aku tidak rela, bahwa Paksi harus menanggung akibatnya karena cincin itu ada dirumah ini. Jika Paksi pergi mencari cincin itu, bukankah ia menjalankan perintah kakang? Jika ia pulang membawa cincin itu, semata-mata karena baktinya kepada ayahnya. Tetapi apa yang diperbuat ayahnya terhadapnya?” “Cukup” teriak Ki Tumenggung. Hampir saja tangannya menyambar wajah Nyi Tumenggung. Tetapi anak perempuannya segera memeluk ibunya, sementara adik laki-laki Paksi berusaha menahan tangan ayahnya. Sambil mengibaskan tangannya, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu berkata, “Persetan dengan kalian. Siapa yang tidak mau tunduk kepadaku, pergi dari rumah ini?” Namun Nyi Tumenggung menyahut, “ Siapa yang harus pergi dari rumah ini?” Telinga Ki Tumenggung bagaikan disentuh api. Tetapi anak perempuannya telah menarik ibunya kepintu, sementara anaknya laki-laki masih berusaha menghalangi ayahnya itu. Ki Tumenggung itu menggeratakkan giginya. Bagaimanapun juga wibawanya sebagai pemimpin di rumah itu memang sudah ternoda. Dalam pada itu cahaya fajar pun mulai mewarnai langit. Kemerah-merahan. Tetapi Ki Tumenggung justru kembali ke biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Namun matanya tidak dipejamkannya. Bahkan giginyalah yang gemeretak menahan geram di hatinya. “Aku gagal menggantungkan harapan karena cincin itu tidak jadi jatuh ketangan Harya Wisaka” katanya didalam hatinya Lalu, “Bahkan agaknya Harya Wisaka justru mencurigai aku” Tiba-tiba Ki Tumenggung itu pun bangkit. Dihentakkan tangannya padat bibir pembaringannya. Ki Tumenggung memang menjadi sangat gelisah. Demikian pula Nyi Tumenggung, meskipun dengan alasan yang berbeda. Ki Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasibnya sendiri, sementara Nyi Tumenggung menjadi gelisah memikirkan nasib anaknya. Tetapi hari itu, Ki Tumenggung tidak pergi ke istana untuk menjalankan tugasnya. Ia tinggal saja dirumah dengan sangat gelisah, seakan-akan sedang pasrah menunggu nasib. Ki Tumenggung memang tidak yakin, bahwa dirinya tidak akan dilibatkan dalam persoalan cincin kerajaan itu. Kadang-kadang Ki Tumenggung memang menyesal, kenapa ia tergesa-gesa menyebut nama Paksi justru pada saat Pangeran Benawa sudah menyatakan untuk menutup persoalan cincin Kerajaan yang baru saja diketemukannya itu. Namun ia pun kemudian menggeram, “Tidak. Aku sudah bersikap benar. Pangeran Benawa yang aneh itu tidak dapat dipegang kata-katanya. Meskipun ia sudah mengatakan bahwa persoalannya sudah dilepaskannya, namun dapat saja tiba-tiba Ki Tumenggung itu dipanggil menghadap ke istana untuk diadili. Atau bahkan tiba-tiba saja beberapa orang prajurit dengan membawa pertanda kekuasaan Kangjeng Sultan datang menjemputnya untuk dibawa langsung menghadap untuk menerima hukuman. Bahkan mungkin hukuman gantung atau pancung. Sehari Ki Tumenggung menunggu tetapi tidak ada utusan dari istana untuk menyampaikan perintah apapun. “Apa yang terjadi di istana?” bertanya Ki Tumenggung kepada diri sendiri. Sementara itu di rumah, Ki Tumenggung selalu marah-marah. Adik laki-laki Paksi pun tidak beranjak dari rumahnya. Ia takut bahwa tiba-tiba saja ayahnya menumpahkan kemarahannya kepada ibunya. Sementara itu, adik perempuannya selalu berada disamping ibunya. Pada hari berikutnya kegelisahan Ki Tumenggung terasa semakin mencengkam. Karena itu, maka ia tidak lagi ingin tinggal dirumah. Tetapi Ki Tumenggung itu pun telah pergi ke istana. Ki Tumenggung mencoba untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Ia hadir ditempat tugasnya seperti tidak terjadi apa-apa atas dirinya dan anak laki-lakinya. Ki Tumenggung itu menjadi heran. Ia tidak mendengar seorang pun diantara kawan-kawannya bertugas menyebut-nyebut tentang cincin kerajaan yang telah diketemukan. Ia pun tidak melihat sesuatu di istana yang berhubungan dengan cincin kerajaan itu. Ia tidak melihat perubahan apa pun terjadi di bangsal pusaka. Para prajurit yang bertugas untuk menjaga bangsal pusaka itu, bertugas sebagaimana biasanya tanpa menunjukkan bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Bahkan ketika ia melihat Pangeran Benawa dengan Raden Sutawijaya melintas di halaman dalam istana, keduanya sama sekali tidak menghiraukannya meskipun ia yakin bahwa Pangeran Benawa itu telah melihatnya ditempat tugasnya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Sebuah mimpi buruk?” pertanyaan itu telah bergejolak didalam hatinya. Kepala Ki Tumenggung menjadi pening, sehingga seorang kawannya bertugas bertanya, “Apakah Ki Tumenggung Sarpa Biwada sedang sakit. Wajah Ki Tumenggung nampak pucat. Ki Tumenggung nampak sangat gelisah” Dengan gagap Ki Tumenggung itu pun menjawab, “Tidak. Aku tidak apa-apa” Kawannya mengangguk kecil. Tetapi kawannya yang lain berkata, “Baju Ki Tumenggung basah oleh keringat. Tetapi tangan Ki Tumenggung terasa begitu dinginnya” Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu pun menyahut, “Aku tidak apa-apa” Kawannya itu memang meraba tangan Ki Tumenggung yang basah oleh keringat, tetapi terasa begitu dinginnya. Hari itu memang tidak ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi justru karena itu, Ki Tumenggung menjadi heran. Bahkan kegelisahannya menjadi semakin menekan jantungnya. Ketika sudah waktunya pulang, maka Ki Tumenggung pun meninggalkan tempat tugasnya. Hari itu rasa-rasanya tidak ada yang dapat dikerjakan di tempat tugasnya. Tetapi demikian ia keluar dari pintu gerbang istana, langkahnya tertegun. Ia melihat Harya Wisaka berdiri bersama dua orang pengawalnya. Beberapa orang kawannya mengangguk hormat. Tetapi mereka tidak berhenti. Namun Ki Tumenggung Sarpa Biwada sajalah yang berhenti untuk menemuinya. “Benawa memang gila” geram Harya Wisaka. “Kenapa?” “Agaknya Pangeran Benawa itu belum melaporkan kepada Kangjeng Sultan bahwa cincin itu telah berada ditangannya” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. “Ternyata Kangjeng Sultan sama sekali tidak berbuat sesuatu. Bahkan tidak ada gerak apa pun diistana yang memberikan pertanda bahwa cincin kerajaan itu sudah kembali” “Ya. Tidak seorang pun menyebutnya. Para prajurit di bangsal pusaka pun tidak menunjukkan peningkatan penjagaan atau menunjukkan perubahan apapun. Segalanya berjalan seperti biasa. Kedatangan Pangeran itu kembali dari pengemba-raannya pun sama sekali tidak mendapat sambutan apa-apa atau barangkali Pangeran Benawa sengaja untuk menghindari sambutan itu” "Menghadapi orang seperti Benawa kita memang harus berhati-hati sekali. Ia cerdik dan tangkas bergerak. Aku masih menunggu kesempatan untuk benar-benar menantangnya berlomba ketangkasan naik kuda” “Ada yang lebih penting dari berlomba naik kuda” desis Ki Tumenggung. “Ya” sahut Harya Wisaka. “Aku juga ingin tahu, apakah yang terjadi dengan Paksi” “Kau harus bergerak untuk megetahuinya. Mungkin anakmu itu sekarang sudah mati dipancung oleh Pangeran Benawa” Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika benar, maka istriku akan dapat menjadi pingsan mendengarnya” “Dan kau sendiri?” “Entahlah” jawab Ki Tumenggung. Harya Wisaka menepuk bahu Ki Tumenggung sambil berkata, “Nampaknya kau tidak sayang kepada anak-anakmu. Jika kau bekerja keras untuk meraih masa depan yang lebih baik, untuk apa sebenarnya hal itu kau lakukan jika tidak untuk anak-anakmu” Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara Harya Wisaka pun berkata, “Mungkin aku adalah orang yang paling jahanam di istana ini dengan rencana-rencanaku yang barangkali dianggap gila oleh orang lain. Tetapi semuanya itu aku lakukan bagi anak keturunanku” Ki Tumenggung sama sekali tidak menjawab. Sementara itu Harya Wisaka pun berkala, “Letakkan harapan masa depanmu padamu dan keturunanmu. Maka kau akan berjuang lebih keras lagi. Kita sudah terlanjur basah. Kita tidak dapat melangkah kembali” Ki Tumenggung mengangguk. Katanya, “Tetapi tingkah laku Pangeran Benawa dapat membuat aku menjadi gila” “Kita bukan anak-anak cengeng Ki Tumenggung. Kau pernah berada dalam jajaran keprajuritan sebelum kau dipindahkan kejabatanmu yang sekarang. Bahkan mungkin suatu saat Ki Tumenggung akan kembali bertugas diantara para prajurit. Jiwa Ki Tumenggung sudah ditempa oleh pengalaman Ki Tumenggung yang luas. Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berusaha untuk tidak menjadi gila” Harya Wisaka tertawa. Katanya, “Jangan terlalu tegang menghadapi permainan Benawa” Ki Tumenggung mengangguk. “Setiap saat, aku akan menghubungimu, Ki Tumenggung. Ada beberapa orang kawan kita memberikan beberapa keterangan tentang usaha mereka sebelum Pangeran Benawa kembali ke istana” “Ceritanya tentu masih sama saja” jawab Ki Tumenggung. “Mungkin. Tetapi kita sebaiknya mendengar mereka. Ternyata kita terlanjur mempunyai banyak lawan” Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia pun bertanya, “Siapakah sebenarnya yang disebut oleh Pangeran Benawa itu sebagai nujum istana? Sudah berpuluh tahun aku mengabdi, aku belum pernah bertemu, bahkan melihat, orang brewok yang disebut nujum istana itu” Harya Wisaka pun tertawa. Katanya, “Tentu salah satu jenis permainan Pangeran Benawa” “Ya. Agaknya memang demikian. Permainan Pangeran Benawa tentu tidak akan ada habisnya” Ki Tumenggung pun kemudian telah meninggalkan Harya Wisaka yang berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Harya Wisaka itu pun telah masuk kedalam istana pula. Hari itu, Ki Tumenggung masih saja dicengkam oleh kegelisahan. Rasa-rasanya hubungannya dengan seluruh keluarganya telah terputus. Ketika makan sudah disiapkan, Ki Tumenggung sama sekali tidak mau menyentuhnya. Nyi Tumenggung dan kedua anaknya pun berusaha untuk tidak menimbulkan persoalan dirumah. Mereka sadar, bahwa setiap saat jantung Ki Tumenggung itu akan dapat meledak. Di hari berikutnya, adalah hari pasowanan. Kangjeng Sultan akan hadir dipaseban. Para Pangeran, Sentana, Nayaka Praja dan orang-orang terdekat dilingkungan istana serta para pejabat tinggi istana harus menghadap. Betapapun kegelisahan mencengkam jiwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada, namun ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya Jika ia tidak dapat menghadap di hari pasowanan itu, maka akan dapat timbul prasangka buruk atas dirinya. Apalagi karena baru saja Pangeran Benawa mengambil cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu dari rumahnya. Pada saatnya, maka Kangjeng Sultan pun telah hadir dipaseban. Seperti biasanya, Kangjeng Sultan mendengarkan beberapa laporan serta berbicara langsung dengan para pejabat tinggi istana. Para pengeran serta para sentana. Namun seperti biasa hanya beberapa orang sajalah yang berbicara dalam paseban yang dilakukan setiap selapan hari sekali. Paseban yang nampaknya lebih banyak diselenggarakan sekedar memenuhi tatanan. Sedangkan pembicaraan-pembicaraan yang sebenarnya justru lebih banyak dilakukan dalam pasowanan khusus serta pertemuan-pertemuan di lingkungan istana yang lebih kecil lingkupnya. Beberapa orang yang hadir dalam paseban agung itu justru telah mengantuk. Sedangkan Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih banyak merenung tentang dirinya sendiri. Beberapa orang yang berbicara di paseban agung itu adalah para pejabat tinggi yang lebih banyak memberikan laporan tentang keadaan rakyat Pajang. Rakyat Pajang yang hidup dalam suasana yang aman, tenteram dan damai. Tidak ada seorang pun yang merasa tidak puas. Kehidupan yang baik serta kesejahteraan yang tinggi membuat Pajang dikagumi oleh orang-orang manca negara yang sempat berkunjung ke Pajang. Pangeran Benawa yang ikut mendengarkan laporan-laporan itu mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali ia mendengar laporan betapa Pajang dikagumi orang dari manca negara, jantungnya menjadi berdebar-debar. “Apa yang dikagumi?” bertanya Pangeran Benawa didalam hatinya. Tetapi Pangeran Benawa melihat Kangjeng Sultan mengangguk-angguk puas. Semua laporan sangat menyenangkan hatinya serta memberikan kebanggan kepadanya. Beberapa saat kemudian, para pejabat tinggi yang berkewajiban memberikan laporan telah selesai. Orang-orang yang terkantuk-kantuk justru terbangun. Mereka berharap bahwa paseban akan segera berakhir, sehingga mereka dapat keluar dari bangsal yang terasa menjadi semakin panas itu. Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang duduk dibaris-baris belakang melihat Harya Wisaka duduk dengan kepala tunduk. Sebenarnyalah Harya Wisaka menunggu, apakah dalam paseban agung itu akan disebut-sebut pula tentang cincin kerajaan yang hilang itu. Dalam suasana yang lesu itu, tiba-tiba beberapa orang terguncang jantungnya. Kangjeng Sultan sendiri kemudian berkata, “Aku mengucapkan lerima-kasih atas kesetiaan kalian. Pekerjaan yang baik hendaknya kalian teruskan, sedangkan yang tidak baik, dapat kalian tinggalkan. Dalam kesempatan ini, aku, Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang bertahta di Pajang, ingin memberikan penghargaan dan ganjaran kepada seorang anak muda yang telah berjasa kepada keluarga istana yang juga berarti berjasa bagi Pajang. Anak muda itu bernama Paksi” Orang-orang yang semula acuh tidak acuh saja, tiba-tiba seperti terbangun dari tidur. Apalagi Ki Tumenggung Sarpa Biwada Ki Tumenggung itu terkejut bukan kepalang. Paksi telah mendapat penghargaan dan ganjaran. “Tentu karena ia dapat membawa kembali cincin kerajaan itu” berkata Ki Tumenggung didalam hati, “kenapa bukan aku saja yang mengaku telah membawa cincin itu kembali setelah aku tidak mempunyai pilihan lain” Namun dahinya pun kemudian berkerut ketika Kangjeng Sultan itu melanjutkan, “Anak muda yang bernama Paksi Pamekas itu telah membantu dan bahkan dengan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan puteraku, Pangeran Benawa yang mengalami kecelakaan yang berat ketika puteraku itu sedang mengembara melihat-lihat kenyataan hidup di padesan” Jantung Ki Tumenggung Sarpa Biwada seakan-akan hampir meledak. Rasa-rasanya ia ingin berteriak mengatakan bahwa ialah yang telah membawa cincin kerajaan kembali ke Pajang. Dalam pada itu, Kangjeng Sultan pun berkata, “Pangeran Benawa, Katakan apa yang telah terjadi atasmu” “Hamba ayahanda” jawab Pangeran Benawa, “mohon perkenan ayahanda” “Katakan” Pangcran Benawa itu pun kemudian berceritera bahwa ia telah tergelincir di jurang yang dalam di kaki Gunung Merapi, “Untunglah bahwa anak muda yang bernama Paksi Pamekas dengan berani menuruni tebing jurang yang terjal itu. Ia pun mengalami kecelakaan. Tetapi keadaannya jauh lebih baik dari kedaanku sendiri, sehingga ia sempat membawa aku pergi dari jurang itu dengan mengambil arah perjalanan yang lain. Ia masih sempat mencari air, menitikkan dibibirku. Memampatkan darah yang mengalir dari luka-lukaku dengan daun metir dan sawang kemladean yang sempat dicarinya disemak-semak” Mereka yang ada di paseban itu pun mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Namun Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwadalah yang menjadi sangat gelisah. “Permainan gila” geram Harya Wisaka, “cincin itu agaknya masih disembunyikannya. Namun kegelisahaan Harya Wisaka itu memuncak ketika ia melihat Pangeran Benawa itu menyembah ayahandanya. Cincin bermata tiga itu dikenakannya di jari-jari manisnya “Apakah aku yang sudah menjadi gila?” bertanya Harya Wisaka kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Harya Wisaka, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun menjadi sangat bingung menanggapi peristiwa yang terjadi itu. Ia tidak tahu pasti, apa yang sedang dihadapinya itu. Namun sebenarnyalah yang mereka lihat, Paksi telah dipanggil untuk menghadap dan menerima langsung ganjaran dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya. “Karena sifatnya sebagai seorang kesatria sejati yang bersedia berkorban untuk keselamatan orang lain tanpa pamrih, maka kepada Paksi Pamekas telah aku anugerahkan sebilah keris dengan sekampil uang. Aku tahu, bahwa kau tidak mengharapkannya. Tetapi aku titahkan kepadamu untuk menerimanya. Kau tidak dapat menolak ganjaran dari seorang raja, karena ganjaran itu akan mendatangkan keberuntungan yang berlipat ganda bagimu” Paksi menerima ganjaran itu tanpa dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia pun tidak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya, sehingga ia justru mendapat ganjaran. Namun Harya Wisaka itu pun berkata didalam hatinya, “Ternyata Pangeran Benawa sudah mempermainkan ayahandanya. Jika saja Kangjeng Sultan mengetahui bahwa ia termasuk sasaran permainan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan sangat marah” Tetapi Harya Wisaka tidak melihat jalan untuk menyampaikan kepada Kangjeng Sultan bahwa Kangjeng Sultan itu sudah dipermainkan oleh puteranya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun berkata didalam hatinya, “Tentu laporan Pangeran Benawa kepada Kangjeng Sultan tidak sesuai dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Mungkin Pangeran Benawa merasa sangat berterima-kasih bahwa cincin itu telah kembali kepadanya atau Paksi benar-benar telah menolongnya” Jantung Ki Tumenggung itu pun terasa berdegup semakin cepat. Bahkan ia pun mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri, “Apakah kedatangan Paksi membawa cincin itu memang satu permainan bersama antara Paksi dan Pangeran Benawa?” Tetapi Ki Tumenggung pun bertanya kepada diri sendiri, “Tetapi dimana mereka saling mengenal?” Tetapi baik Ki Tumenggung Sarpa Biwada mau pun Harya Wisaka tidak sempat berpikir terlalu panjang. Setelah menyerahkan ganjaran kepada Paksi, maka Kangjeng Sultanpun menutup paseban agung itu. Namun Kangjeng Sultan itu sempat berkata kepada mereka yang datang menghadap, “Ayah Paksi, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tentu ikut merasa bahagia pula hari ini bahwa anak laki-lakinya telah mendapat ganjaran. Tetapi lebih dari itu, adalah satu kebanggan orang tua bahwa anaknya memiliki sifat seorang kesatria sejati” Beberapa orang telah berpaling kearah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Memang ada sepercik kebanggaan. Tetapi kebanggaan itu segera larut. Ketika ia mengatakan kepada Pangeran Benawa bahwa Paksi lah yang telah membawa cincin kerajaan itu pulang, justru ia berharap bahwa anaknya akan mendapat hukuman. Ia dapat dituduh mencuri cincin yang hilang itu. Pada saat Pangeran Benawa datang untuk mengambil cincin itu, Paksi telah mencoba untuk ingkar. Tetapi yang terjadi justru Paksi mendapat penghargaan sebagai seorang kesatria serta ganjaran sebilah keris bersama wrangkanya serta sejumlah uang. Dalam pada itu, sejenak kemudian, paseban agung itu telah ditutup. Setelah Kangjeng Sultan meninggalkan bangsal, mereka yang menghadap pun segera meninggalakan paseban itu pula. Beberapa orang sempat mengucapkan selamat kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun ketika mereka juga ingin mengucapkan selamat kepada Paksi, ternyata Paksi sudah tidak ada di paseban. Dalam pada itu, Harya Wisaka pun telah mendekati Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Dengan nada berat Harya Wisaka itu pun berdesis, “Satu permainan yang menarik. Apakah kau terlibat dalam permainan ini?” “Tidak” jawab Ki Tumenggung, “Aku justru menjadi salah seorang yang telah dipermainkan” “Tetapi sikapmu terhadap anak laki-lakimu aneh” Ki Tumenggung memandang Harya Wisaka dengan kerut didahi. Namun Harya Wisaka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Ki Tumenggung pun kemudian meninggalkan istana itu dengan hati yang semakin risau. Ia tahu, bahwa Paksi tentu akan pulang dengan membawa ganjaran yang telah diterima. Tetapi Ketika Ki Tumenggung itu sampai dirumah, ia masih belum melihat Paksi. Agaknya Paksi itu telah dibawa Pangeran Benawa ke Kasatrian dan berada disana beberapa lama. Sebenarnyalah Paksi memang berada di Kasatrian. Di Kasatrian Paksi bukan saja berbincang dengan Ki Marta Brewok dan Pangeran Benawa, tetapi hadir juga di kasatrian itu Raden Sutawijaya. Kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa telah mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Juga permainannya tentang cincin kerajaan yang dibawanya pergi itu. “Sebaiknya Kakangmas Sutawijaya sajalah yang membawa cincin itu. Pada suatu saat aku akan dapat mengalami kesulitan jika aku yang membawanya” “Cincin itu cincinmu adimas” jawab Raden Sutawijaya. “Tidak. Aku belum pernah mendapat limpahan wewenang dari ayahanda” “Bukankah itu hanya menunggu saatnya saja?” desis Raden Sutawijaya. Katanya kemudian, “Tetapi kita tahu, bahwa banyak orang yang memburu cincin itu. Antara lain adalah paman Harya Wisaka sendiri. Kita berdua mengetahui akan hal itu” “Ya, kakangmas. Ia memburuaku sampai ke kaki Gunung Merapi. Beruntunglah bahwa aku masih juga sempat pulang” “Tentu bukan hanya paman Harya Wisaka yang telah memburu adimas” “Benar kakangmas. Beberapa perguruan telah berusaha untuk mencari aku dan sudah jemu untuk diperas agar aku menyerahkan cincin itu” Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Karena itu, adimas jangan pergi kemana-mana. Sebaiknya untuk sementara adimas tetap saja berada di istana” Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya, “Aku merasa seperti seekor burung didalam sangkar. Aku tidak betah, kakangmas” “Bagaimana jika adimas mohon kepada ayahanda, agar cincin itu disimpan di bangsal pusaka saja seperti sebelum cincin itu dinyatakan hilang” “Aku sudah menghadap ayahanda dan mengatakan bahwa cincin itu sudah aku ketemukan. Tetapi ayahanda nampaknya tidak begitu mempedulikan” “Apa kata ayahanda?” “Ayahanda tidak begitu menanggapinya. Menurut ayahanda, memang akulah yang membawa cincin itu. Ayahanda justru memerintahkan agar aku menyimpan cincin itu baik-baik” “Nah, bukankah itu sudah satu limpahan wewenang kepada adimas, bahwa cincin itu milik adimas?” “Tidak kakangmas. Ada bedanya. Ayahanda berkata Bawa saja cincin itu dahulu” Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Jangan terlalu risau. Bawa saja cincin itu. Jika cincin itu kau letakkan di bangsal pusaka, maka cincin itu akan benar-benar hilang. Mungkin diambil seseorang dengan kekerasan. Tetapi jika cincin itu ada di jari adimas Pangeran Benawa, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengambilnya” “Aku justru akan menjadi sasaran orang-orang yang mencari cincin itu” “Sudah aku katakan, jangan meninggalkan kasatrian. Setidak-tidaknya untuk sementara” “Tetapi siapakah sebenarnya yang meniup-niupkan berita bahwa siapa yang memiliki cincin ini akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini?” “Siapa pun yang mula-mula meniupkan berita itu, namun sekarang setiap orang sudah mempercayainya” “Sementara ayahanda sama sekali tidak menghiraukannya. Seharusnya ayahanda menyadari, bahwa hal ini akan dapat mengguncang ketenangan Pajang” “Aku sudah mencoba menjelaskan. Tetapi ayahanda menganggap bahwa persoalannya adalah persoalan kecil saja. Ayahanda minta aku tidak terlalu memikirkannya” Pangeran Benawa berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “ Jika saja ayahanda tahu apa yang aku lihat. Orang-orang itu memburu Pangeran Benawa seperti seorang sedang memburu tupai” “Sekali lagi aku nasehatkan, jangan meninggalkan kasatrian untuk sementara” “Bukan sekedar tentang aku sendiri, kakangmas. Tetapi tentang orang-orang yang ingin memiliki cincin bermata tiga itu. Beberapa perguruan telah mengerahkan murid-muridnya. Yang satu berbenturan dengan yang lain. Mereka saling mencurigai dan bahkan benturan-benturan kekerasan sudah sering ter-jadi” “Mulai hari ini akan tersebar berita bahwa Pangeran Benawa sudah berada di istana. Dengan demikian mereka akan berhenti bertengkar. Tidak ada lagi yang dipertengkarkan” “Tetapi paman Harya Wisaka?” “Nah, kita sekarang tinggal mengamati paman Harya Wisaka. Kau harus berhati-hati terhadap paman Harya Wisaka yang kita tahu, sangat licik. Sebenarnya paman Harya Wisaka adalah seorang yang pintar, ia banyak memilki pengetahuan dan akal. Tetapi kepandaiannya dan kecerdikannya telah disalah gunakan” “Kakangmas. Ki Tumenggung Sarpa Biwada agaknya telah bekerja-sama dengan paman Harya Wisaka” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Paksi, maka dilihatnya wajah Paksi yang tegang. “Maaf Paksi” berkata Pangeran Benawa, “aku tidak sedang mengada-ada. Tetapi bahwa Harya Wisaka datang ke rumahmu pada saat cincin itu kau serahkan kepada ayahmu, telah mengundang kecurigaanku” Paksi mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Hamba dapat mengerti, Pangeran” “Karena itu, aku ingin minta kau pulang” Paksi mengangguk lagi sambil menjawab, “Hamba Pangeran” “Sebenarnya aku merasa berat untuk membebani tugas yang aku sendiri merasa ragu, apakah kau mampu memikulnya” Paksi menundukkan kepalanya. Ia sudah menduga, tugas apakah yang akan dibebankan kepadanya. “Paksi” berkata Pangeran Benawa selanjurnya, “aku ingin minta kepadamu untuk mengamati hubungan antara ayahmu dengan Harya Wisaka” Paksi tidak segera menjawab. Ia sadar, bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat baginya. Bagaimanapun juga, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu adalah ayahnya, apakah ia akan dapat mencegahnya? Raden Sutawijaya agaknya dapat membaca gejolak perasaan Paksi. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kau tidak usah bertindak sendiri, Paksi. Kau hanya berkewajiban untuk melaporkannya kepada adimas Pangeran Benawa” Paksi mengangguk. Tetapi di wajahnya memancar keragu-raguan yang mencengkam. “Paksi” berkata Ki Marta Brewok, “pengawasan itu sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada Harya Wisaka. Bukan kepada ayahmu, meskipun pelaksanaannya memang harus dilakukan kepada kedua-duanya. Yang berniat buruk adalah Harya Wisaka. Ayahmu hanya terlibat saja. Meskipun hal itu tidak dapat terjadi jika ayahmu tidak bersedia bekerja-sama” Paksi menarik nafas panjang. Terdengar ia pun berdesis, “Aku mengerti, guru” “Nah, jika demikian, aku berharap bahwa kau dapat melakukannya dengan baik” berkata Pangeran Benawa, “namun kau harus menyadari, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu tinggi dan tangkas berpikir. Karena itu kau harus berhati-hati” “Hamba Pangeran” Paksi mengangguk. “Dalam keadaan tertentu, Harya Wisaka dapat berbuat sangat kejam” berkata Pangeran Benawa kemudian, “kau telah melihatnya sendiri, apa yang pernah dilakukannya” “Hamba Pangeran” “Nah, dengan demikian, kau tidak saja harus mengamati hubungan ayahmu dengan Harya Wisaka. Tetapi mungkin sekali kau harus bertindak dalam keadaan yang sangat mendesak. Jika ayahmu membuat Harya Wisaka kecewa, maka Harya Wisaka tentu tidak akan segan-segan menyingkirkannya” berkata Ki Marta Brewok kemudian. “Ya, guru” “Berhati-hatilah” pesan Pangeran Benawa. Paksi mengangguk lagi. Tetapi diwajahnya masih nampak keragu-raguan. Bahkan kemudian dengan nada berat ia pun bertanya, “Apa yang harus hamba lakukan, jika hamba harus pergi lagi dari rumah? Hamba tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh ayah. Kadang-kadang hamba merasa bahwa rumah itu bukan lagi rumahku” Pangeran Benawa menarik nafas panjang. Katanya -Ayahmu memang aneh, Paksi. Tetapi untuk sementara kita berharap bahwa kau tidak akan pergi dari rumahmu” “Hubungan yang membingungkan” desis Raden Sutawijaya, “namun bagaimanapun juga, aku kagum akan sikapmu. Apa pun yang dilakukan oleh ayahmu terhadapmu, kau tetap bersikap sebagai seorang anak yang baik” Paksi tidak menjawab. Memang kadang-kadang timbul persoalan didalam dirinya, apakah ia harus bersikap lain terhadap ayahnya. Namun sejak kecil Paksi sudah diajar untuk mematuhi segala perintah ayahnya itu. Meskipun kadang-kadang ia tidak tahu apakah perintah itu wajar atau tidak. Tetapi ayahnya adalah seorang raja dirumahnya. Apa pun yang dilakukan tidak seorang pun yang dapat mencegahnya. Sedangkan apa yang dikatakan adalah kebenaran bagi seisi rumahnya. “Paksi” berkata Ki Marta Brewok kemudian, “apa pun yang pernah dilakukan oleh ayahmu, ia tetap ayahmu. Kau harus patuh kepadanya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak dapat menyatakan pendapatmu. Tentu saja sekedar masukan bagi ayahmu. Keputusan terakhir memang ada di tangan ayahmu. Meskipun demikian setelah kau dewasa penuh, maka kau pun dapat mendengarkan kata nuranimu sendiri. Kau dapat berpijak pada landasan keyakinanmu untuk menanggapi setiap persoalan yang timbul. Namun semua itu tidak akan dapat menghapuskan hubungan antara anak dan ayah pada tempatnya masing-masing” Paksi mengangguk-angguk. Sementara Pangeran Benawa pun berkata, “Pulanglah Paksi. Ibumu tentu menjadi sangat gelisah menunggumu. Kita tidak tahu, apakah ayahmu sempat menceriterakan bahwa di paseban, kau justru telah mendapat ganjaran dari Kangjeng Sultan. Bukan hukum gantung atau hukum pancung. Sebenarnyalah malam itu aku juga menjadi bingung. Aku tidak mengira bahwa tiba-tiba ayahmu menyebut namamu. Bahkan ayahmu telah menunjuk bahwa kaulah yang telah membawa cincin itu pulang” Paksi mengangguk dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimana dengan ganjaran uang yang sekampil ini? Keris yang hamba terima merupakan ganjaran dan sekaligus penghargaan yang tidak ternilai bagi hamba. Tetapi uang itu justru membingungkan hamba” “Kenapa kau menjadi bingung? uang itu adalah uangmu” “Tetapi hamba tidak melakukan apa-apa. Apalagi menyelamatkan Pangeran” “Paksi” sahut Pangeran Benawa, “yang kau lakukan jauh lebih besar dari sekedar menolong aku yang terperosok kedalam jurang dengan memeprtaruhkan nyawamu. Jauh lebih besar dari itu. Tanpa kehadiranmu bersamaku, aku sudah menjadi lumat oleh orang-orang yang memburu cincin itu” “Pada kenyataannya justru Pangeranlah yang telah menyelamatkan hamba” “Tidak. Atau katakanlah, kita sudah bekerja bersama. Kau tidak usah membayangkan bahwa jurang itu adalah sebuah lekuk yang dalam dan berdinding batu-batu padas yang runcing. Tetapi jurang dapat berujud apa saja, sementara aku terperosok kedalamnya” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Uang didalam kampil itu terlalu banyak” “Paksi” berkata Raden Sutawijaya, “Pangeran Benawa adalah putera seorang Raja. Kau tahu, berapa besarnya kekayaan seorang raja. Nah, kau akan tahu bahwa uang didalam kampil itu tidak berarti apa-apa bagi seorang Raja” “Tetapi bagi hamba?” “Juga tidak seberapa. Bukan berarti upahmu selama kau bersama-sama dengan adimas Pangeran Benawa. Tetapi sekedar ucapan terima-kasih dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya” Paksi menarik nafas dalam-dalam, sementara Pangeran Benawa berkata, “Paksi, selain sebilah keris sebagai penghargaan yang diberikan karena sifat kesatriamu, sekampil uang sekedar pernyataan terima-kasih, maka aku juga ingin memberikan seekor kuda yang baik buatmu” “Seekor kuda?” bertanya Paksi dengan nada tinggi. “Ya. Aku tahu dirumahmu sudah ada beberapa ekor kuda, Tetapi kuda-kuda itu adalah milik ayahmu. Sekarang kau sendiri akan memiliki seekor kuda pula” Paksi memandang Pangeran Benawa dengan sinar mata yang berkilat-kilat. Sebenarnyalah ia memang ingin memiliki seekor kuda. Diam-diam ia memang sering naik kuda milik ayahnya jika ayahnya tidak ada dirumah. Tetapi jika ayahnya mengetahuinya, maka ayahnya akan selalu menjadi sangat marah. Bahkan Paksi pernah mendapat hukuman karena ia membawa seekor kuda berkeliling kota. Untunglah adik-adiknya tidak pernah melaporkannya kepada ayahnya jika Paksi setiap kali membawa kudanya keluar. Demikian pula para pembantu dirumahnya. Tetapi memang pernah terjadi, ayahnya sendiri secara kebetulan melihatnya langsung ketika ayahnya sedang bertugas. Meskipun demikian, sekali-sekali memang ayahnya memberinya kesempatan untuk berkeliling kota dialas punggung kuda, meskipun jarang sekali terjadi. Bahkan kadang-kadang bersama adik laki-lakinya. Hari itu, Paksi telah diperkenankan pulang dengan naik seekor kuda yang besar dan tegar berwarna kelabu. Kuda yang sangat baik menurut penilaian Paksi. “Terima-kasih Pangeran” berkata Paksi berulang kali. Ki Marta Brewok menepuk bahu Paksi sambil berkata, “Paksi. Masih ada kewajibanmu. Kau masih harus menuntaskan ilmumu, agar kau tidak dapat lagi dihanyutkan oleh ilmu cleret Tahun itu” Paksi mengerutkan dahinya, sementara Ki Marta Brewok berkata selanjurnya, “Kau jngat, bahwa kau pernah diangkat oleh angin pusaran?” Paksi mengangguk kecil. Namun kemudian jantungnya telah dicengkam oleh kegelisahan sebelum ia memasuki halaman rumahnya.....
KamenRider (仮面ライダー, Kamen Raidā), bahasa Indonesia: Pengendara Bertopeng, atau juga dikenal di Indonesia sebagai Ksatria Baja Hitam, adalah seri tokusatsu dan manga fiksi sains yang diciptakan oleh Shotaro Ishinomori.Seri tokusatsu ini pertama kali ditayangkan mulai tanggal 3 April 1971 sampai 10 Februari 1973 sebanyak 98 episode di Mainichi Broadcasting System dan NET TV JEJAK DI BALIK KABUT Karya Mintardja Gambar Kulit Kentardjo Illustrasi Drs. Sudyono Jilid 40 Jilid Ukuran Kertas A5 Jumlah halaman 80 Cetakan Pertama 1991 RINGKASAN CERITA Buku ini menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah gugurnya Arya Penangsang dan sebelum upaya Sutawijaya membuka Hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Dikisahkan perjalanan Paksi Pamekas sebagai “anak” Tumenggung Sarpa Biwada yang pada usia yang masih sangat muda 17 tahun ditugaskan oleh “ayahnya” untuk mencari pusaka kerajaan yang hilang, yaitu Cincin bermata tiga yang bersamaan dengan hilangnya Pangeran Benawa dari kerajaan. Dalam pengembaraannya, dia mendapatkan gemblengan ilmu dari “guru” secara tersamar. Bertemu dengan Pangeran Benawa yang menyamar dengan nama Wijang. Perjalanan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa di ladang peburuan pencarian cincin bermata tiga berhadapan dengan berbagai macam perguruan dari golongan hitam. Diantara pemburu cincin tersebut adalah Harya Wisaka yang sebenarnya adalah paman dari Pangeran Benawa. Cincin ini diburu karena tersebarnya berita yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mengenakan cincin tersebut akan menurunkan raja yang akan berkuasa di Tanah Jawa. Dalam pengembaraan ini Paksi Pamekas bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya, Kemuning. Kemuning ini sebenarnya adalah anak angkat salah satu perguruan yang memburu cincin bermata tiga. Setelah Pangeran Benawa pulang dan cincin kembali ke kerajaan dengan terungkapnya upaya pemberontakan Harya Wisaka, maka kisah selanjutnya adalah perburuan Harya Wisaka yang melibatkan Tumenggung Sarpa Biwada sebagai kaki tangan Harya Wisaka. Dalam perburuan ini terungkap bahwa Paksi Pamekas sebenarnya adalah anak tiri dari Tumenggung Sarpa Biwada, sedang ayah kandung sebenarnya adalah Ki Waskita yang menjadi gurunya. Dalam perburuan ini Harya Wisaka semat mengumpulkan anak-anak muda yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang di bawah bimbingan Ki Gede Lenglengan. Salah satu anak muda tersebut adalah Lajer Laksita yang adik tiri dari Paksi Pamekas. Setelah Harya Wisaka tertangkap, kisah selanjutnya adalah perburuan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa untuk mencari adiknya. Kebesaran Paksi Pamekas yang merelakan wanita yang tadinya diidamkannya untuk diberikan kepada adiknya yang telah menyadari kesesatannya merupakan akhir cerita ini. DJVU. 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 Lereng Gunung Kawi, Agustus 2011 MENOREHJEJAK DI JALAN TERJAL . 403 . 403 . lanjutan Walau demikian pekat kabut yang menyelimuti tempat di sekitar pohon Sanakeling yang tumbuh sebelah menyebelah itu, namun dengan puncak aji Sapta Pandulunya, Ki Pideksa masih ADBM-403 "Panengah, kita akan menunggu di balik batu besar di dekat kelokan sungai kecil itu", bisik Arya Excellent36Very good38Average13Poor2Terrible7FamiliesCouplesSoloBusinessFriendsMar-MayJun-AugSep-NovDec-FebAll languagesEnglish 96French 130Portuguese 14More languages See what travellers are sayingSort by Detailed Reviews Reviews order informed by descriptiveness of user-identified themes such as cleanliness, atmosphere, general tips and location July 9, 2022 The food was great, service was a touch slow and it was a bit pricey for breakfast. Overall, it was still good. It was definitely convenient being in our hotel and we were checking out to continue our road trip, I would recommend of visit June 2022Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2021 The Bennies and Frittata were very well prepared and very tasty. The service was very good and so handy to have this right in the hotel,Date of visit November 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 30, 2021 Convenient as it’s in the hotel we stayed. A little pricey for breakfast but was very good. Nice portions. Fruit served with breakfast was very good. Coffee just under $3 and it’s ok. Service was greatDate of visit October 2021Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 23, 2021 We had drinks one night and breakfast the next morning. Both were OK though the staff late afternoon preferred speaking among themselves than take care of customers. The morning staff was much better and friendlier. Breakfast was nothing of visit October 2021Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn July 31, 2020 via mobile Very tasty food and dessert, good service, clean , were making sure covid rules are applied . Highly recommendedDate of visit July 2020Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 11, 2019 via mobile I've been coming here with colleagues for lunch at least twice a months forma year. Its consistently great with varied lunch specials. Always a great experience and the staff is of visit November 2019Helpful?1 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn November 2, 2019 We had the a la carte breakfast with eggs Benedict which were among the best we've ever had. Excellent homemade jam with the croissants and very efficient and friendsly of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 14, 2019 We had to wait until 4pm to check in to the hotel, so dropped our bags and popped in here for a pit stop. We were happily surprised and pleased with brunch, so we came back again for a light dinner. Both meals very good,...as well as great service. Definitely a great place to relax and catch of visit October 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 4, 2019 The variety of different foods was great. The muffins were great. All around great breakfast. And located at our of visit September 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn October 1, 2019 We had Pasta al dente and Pizza which was just great. Not the pizza as to find at Pizza hat - a real Italian pizza providing the small dough, just as it should be. Great and kind of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 22, 2019 Seems like you wait for a table at breakfast time whether it is busy or not as the restaurant is understaffed- the lady who seats you is the one clearing off and cleaning the tables to get it ready for you! However, once you are...seated, the waitresses/waiters are friendly and helpful. You can definitely split some of the breakfast entrees between 2 people if you add some toast. I also had take out breakfast- coffee and a bagel for $ ordering it was not the easiest as you waited in line along with those patrons waiting to get to the restaurant. Again, however, once it's your turn the staff was friendly and of visit September 2019Helpful?2 This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 8, 2019 while on family trip to Quebec city, we ate breakfast at this restaurant. It was very crowded in the morning, there was a 20 minute waiting line. The staff was very helpful and polite. The breakfast options went from the classic 2 eggs, potatoes plate...to the more healthy options like granola and fruit. Complementary coffee is offered but the taste is so so. They have a buffet type breakfast available before 9am, but if you go "a la carte" expect to spend between 15 to 20$.MoreDate of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 3, 2019 This restaurant located next to the lobby of Le Concorde hotel is very convenient for breakfast. The food is OK, service was kind of slow because of the large number of of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 2, 2019 Adequate menu choice, food was full of flavour and average portion sizes. The waitress was very friendly and made us feel welcome. Lovely setting and quiet restaurant, very calm of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn September 1, 2019 Loved this restaurant for breakfast and to stop for a mid afternoon drink. Sat outside and the view over the plains was lovely. Great service and excellent food with lots of breakfast choices. Highly recommended!Date of visit August 2019Helpful?This review is the subjective opinion of a Tripadvisor member and not of Tripadvisor LLC. Tripadvisor performs checks on reviews as part of our industry-leading trust & safety standards. Read our transparency report to learn more reviews Tapi kali ini rembulan bersembunyi di balik punggung kabut. Bu peri pun tak dapat memadamkan rasa kalutnya yang kian berdenyut kencang. Syawal tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. wajahnya semakin membiru. Ya, rembulan seperti tidak ingin bertemu padanya. Kepalan tangan menggertak malam. Pengarang Mintardja Halaman 30 Jilid Buku ini menggunakan setting waktu pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah gugurnya Arya Penangsang dan sebelum upaya Sutawijaya membuka Hutan Mentaok menjadi Kerajaan Mataram. Dikisahkan perjalanan Paksi Pamekas sebagai “anak” Tumenggung Sarpa Biwada yang pada usia yang masih sangat muda 17 tahun ditugaskan oleh “ayahnya” untuk mencari pusaka kerajaan yang hilang, yaitu Cincin bermata tiga yang bersamaan dengan hilangnya Pangeran Benawa dari kerajaan. Dalam pengembaraannya, dia mendapatkan gemblengan ilmu dari “guru” secara tersamar. Bertemu dengan Pangeran Benawa yang menyamar dengan nama Wijang. Perjalanan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa di ladang peburuan pencarian cincin bermata tiga berhadapan dengan berbagai macam perguruan dari golongan hitam. Diantara pemburu cincin tersebut adalah Harya Wisaka yang sebenarnya adalah paman dari Pangeran Benawa. Cincin ini diburu karena tersebarnya berita yang menyebutkan bahwa siapa saja yang mengenakan cincin tersebut akan menurunkan raja yang akan berkuasa di Tanah Jawa. Dalam pengembaraan ini Paksi Pamekas bertemu dengan seorang gadis yang menarik hatinya, Kemuning. Kemuning ini sebenarnya adalah anak angkat salah satu perguruan yang memburu cincin bermata tiga. Setelah Pangeran Benawa pulang dan cincin kembali ke kerajaan dengan terungkapnya upaya pemberontakan Harya Wisaka, maka kisah selanjutnya adalah perburuan Harya Wisaka yang melibatkan Tumenggung Sarpa Biwada sebagai kaki tangan Harya Wisaka. Dalam perburuan ini terungkap bahwa Paksi Pamekas sebenarnya adalah anak tiri dari Tumenggung Sarpa Biwada, sedang ayah kandung sebenarnya adalah Ki Waskita yang menjadi gurunya. Dalam perburuan ini Harya Wisaka semat mengumpulkan anak-anak muda yang berpotensi untuk menjadi pemimpin di masa yang akan datang di bawah bimbingan Ki Gede Lenglengan. Salah satu anak muda tersebut adalah Lajer Laksita yang adik tiri dari Paksi Pamekas. Setelah Harya Wisaka tertangkap, kisah selanjutnya adalah perburuan Paksi Pamekas dan Pangeran Benawa untuk mencari adiknya. Kebesaran Paksi Pamekas yang merelakan wanita yang tadinya diidamkannya untuk diberikan kepada adiknya yang telah menyadari kesesatannya merupakan akhir cerita ini. Jilid 01 Jilid 02 Jilid 03 Jilid 04 Jilid 05 Jilid 06 Jilid 07 Jilid 08 Jilid 09 Jilid 10 Jilid 11 Jilid 12 Jilid 13 Jilid 14 Jilid 15 Jilid 16 Jilid 17 Jilid 18 Jilid 19 Jilid 20 Jilid 21 Jilid 22 Jilid 23 Jilid 24 Jilid 25 Jilid 26 Jilid 27 Jilid 28 Jilid 29 Jilid 30 Tamat
JejakDi Balik Kabut oleh: Mintardja Terbitan: (1992) Jejak di Balik kabut oleh: Mintardja ; Jejak dibalik kabut oleh: MINTARDJA, S.H Terbitan: (1992) Opsi Pencarian. Sejarah Pencarian; Pencarian Lanjut; Temukan Lebih Banyak. Penelusuran Katalog; Penelusuran Alfabetis; Butuh Bantuan? Tips Pencarian
Kondisi BekasMin. Pemesanan 1 BuahEtalase Semua Etalasejejak di balik kabutoleh Mintardjanomor yg tersedia4,5,6,7,13,15,16,16,17,18,19,19,20,20,21,21,22,22,23,24,24,25,26,27,28,29,31,32,34, di ketik no yg mau di tidak menyertakan nomor,maka akan di kirim original.
KabutTebal, Penerbangan Sempat Alami Gangguan; Daihatsu Ayla, Mobilnya Para Milenial di Indonesia; Astra Group Harapkan Kerja Sama dan Sinergi dengan Riau Pos Group Terus Berlanjut; FK Bodo/Glimt Bantai Zalgiris Vilnius; PTPN V Rangkul 5.000 Petani Sertifikasi ISPO; Tak Ingin Terpeleset; Penerimaan Pajak DJP Semester I Rp868,3 Triliun
Setelah selesai wedaran Nagasasra dan Sabuk Inten, saya coba wedar karya SH Mintardja yang lain. Mungkin sebagian besar sanak kadang sudah membacanya, karena sebenarnya rontal ini sudah diunggah di apidibukitmenoreh serta diunggah pula di beberapa blog lain. Wedaran di sini hanya sekedar untuk media komunikasi dengan sanak kadang yang biasa nongkrong di blog ini. Mohon maaf Ki Zacky, rontalnya saya pinjam, he he he … Sebagian hasil scanningnya agak kabur, jika ada waktu, rontal tersebut diedit atau bahkan scan ulang. Tetapi jika tidak ada waktu, maka rontal tersebut akan langsung diunggah apa adanya di sini. JEJAK DI BALIK KABUT Karya Mintardja Gambar Kulit Kentardjo Illustrasi Drs. Sudyono Jilid 40 Jilid Jumlah halaman 80 halaman Peberbit Badan Penerbit “Kedaulatan Rakyat” Cetakan Pertama Th 1991 Dengan sangat menyesal, mengingat kegiatan p satpam yang banyak maka wedaran rontal-rontal Jejak di Balik Kabut ini diatur tiga hari sekali, sebagaimana halnya dengan NSSI. JDBK-01 JDBK-02 JDBK-03 JDBK-04 JDBK-05 JDBK-06 JDBK-07 JDBK-08 JDBK-09 JDBK-10 JDBK-11 JDBK-12 JDBK-13 JDBK-14 JDBK-15 JDBK-16 JDBK-17 JDBK-18 JDBK-19 JDBK-20 JDBK-2 JDBK-22 JDBK-23 JDBK-24 JDBK-25 JDBK-26 JDBK-27 JDBK-28 JDBK-29 JDBK-30 JDBK-31 JDBK-32 JDBK-33 JDBK-34 JDBK-35 JDBK-36 JDBK-37 JDBK-38 JDBK-39 JDBK-40 Alasandi Balik Pendaftaran PKB-Gerindra ke KPU pada 8 Agustus Atau 10 Muharram. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) bersama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kanan) memberi salam kepada media usai melakukan pertemuan di Kertanegara, Jakarta, Sabtu (18/6/2022). Dalam pertemuan tersebut, Gerindra dan PKB bersepakat bekerja sama Paksi mengerutkan dahinya. Ada yang berbeda pada wajah Ki Marta Brewok itu dengan wajah yang dikenalinya dengan sebelumnya. Tetapi perbedaan itu tidak terlalu nampak. Meskipun demikian, Paksi yakin, Bahwa Ki Marta Brewok itu adalah Ki Marta Brewok gurunya yang telah menempa dengan berbagai macam laku untuk menguasai ilmunya yang tinggi. Meskipun ternyata masih belum mampu mengimbangi Ki Sampar Angin. Namun dalam pada itu, Wijanglah yang menyahut, “Jangan takut. Meskipun wajah Paman agak seram, tetapi ia orang baik. Paman hanya belum sempat mencukur berewoknya.” Orang tua itu mengangguk-angguk meskipun masih nampak ragu. Ki Marta Brewok lah yang kemudian bertanya, “Ki Sanak, aku justru ingin bertanya, apa yang telah terjadi di padukuhan ini? Padukuhan ini adalah padukuhan yang nampak subur. Nampaknya kehidupan penghuni padukuhan ini cukup baik dilihat dari ujud lahiriahnya. Rumah-rumahnya cukup pantas. Halaman yang cukup luas dan pohon buah-buahan yang berbuah lebat. Sawah pun nampaknya terhampar luas dan tidak akan pernah kekurangan air di segala musim.” Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Lingkungan ini memang subur, Ki Sanak.” “Lalu, apakah yang telah terjadi disini? Padukuhan ini menjadi sepi seperti kuburan.” “Untunglah kalian tidak lewat padukuhan ini kemarin.” “Apa yang terjadi kemarin?” “Kemarin di padukuhan ini terjadi keributan. Bahkan pertempuran yang menimbulkan kematian.” “Siapakah yang telah bertempur disini? Apakah antara penghuni padukuhan ini dengan sekelompok orang yang ingin berbuat jahat? Atau antara kelompok-kelompok yang datang dari luar padukuhan ini?” Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia mengamati ketiga orang yang duduk di serambi banjar itu. Katanya, “Tetapi bukankah kalian bukan bagian dari orang-orang yang kemarin menimbulkan keributan disini?” “Tentu tidak. Apakah ada di antara kami yang mirip dengan orang-orang yang bertempur kemarin disini?” Orang tua itu menarik nafas panjang. “Entahlah, bagaimana mulanya. Tetapi dua kelompok orang bertemu dan bertengkar di ujung padukuhan. Kemudian mereka bertempur dengan sengitnya, sehingga salah satu kelompok melarikan diri dengan meninggalkan dua orang korban terbunuh. Sementara itu, kelompok yang menang justru telah berbuat semena-mena terhadap orang-orang di padukuhan ini. Mereka menggeledah setiap rumah untuk mencari seorang anak muda yang katanya melarikan diri dari istana Pajang.” “Apakah mereka menyebut nama anak muda itu?” bertanya Paksi. Wijang menarik nafas panjang. Ia tahu, bahwa Paksi sengaja menanyakannya, meskipun tanpa bertanya pun ia sudah tahu siapakah yang dimaksud. Orang tua itu memandang Paksi sekilas. Namun kemudian orang tua itu merenung sejenak. Katanya kemudian, “Ya. Orang itu menyebut sebuah nama. Pangeran Benawa.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ketika ia berpaling memandang wajah Wijang, hampir saja Paksi tertawa. Wajah itu nampak muram dan gelap. Sementara Ki Marta menggeleng lemah. Wijang lah yang kemudian bertanya, “Apakah Pangeran Benawa itu dapat diketemukan?” “Tentu tidak,” berkata orang tua itu. “Kami sama sekali tidak mengenal anak muda yang bernama Pangeran Benawa. Sepengetahuan kami, pangeran adalah sebutan bagi anak seorang raja. Mungkin Raja Pajang atau Raja Demak atau raja yang manapun.” “Ya,” Ki Marta Brewok menyahut, “pangeran memang anak seorang raja.” “Lalu, apa yang mereka lakukan setelah mereka tidak menemukan Pangeran Benawa disini?” bertanya Paksi. “Mereka mencoba memaksa kami untuk menunjukkan dimana Pangeran Benawa bersembunyi. Mereka sudah mendapat keterangan bahwa sehari sebelumnya Pangeran Benawa sedang menuju kemari,” jawab orang tua itu. “Tetapi bukankah jalan bercabang-cabang sehingga mungkin saja Pangeran Benawa itu mengambil jalan simpang?” desis Wijang. “Ya. Kami pun sudah mengatakannya. Tetapi orang-orang itu justru marah. Mereka memukuli para penghuni padukuhan ini. Sebelum pergi mereka sempat mengancam untuk menghukum kami jika ternyata Pangeran Benawa itu bersembunyi disini.” “Bagaimana sikap para bebahu padukuhan ini?” “Tulang punggung Ki Bekel hampir saja mereka patahkan karena Ki Bekel mencoba melindungi rakyatnya.” “Bagaimana dengan bebahu kademangan?” “Semalam kami telah mengirimkan orang untuk melaporkan kepada Ki Demang. Tetapi sampai siang ini kami belum mendapat keterangan. Tetapi entahlah jika orang itu sudah langsung menemui Ki Bekel di rumahnya.” Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Jika demikian, kami tidak akan terlalu lama disini, Ki Sanak. Kami tidak ingin menjadi sebab, Ki Sanak dan orang-orang padukuhan mengalami kesulitan karena kehadiran kami. Jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu melihat kehadiran kami, mungkin mereka akan berbuat sesuatu yang semakin menyulitkan penghuni padukuhan ini.” “Tetapi bukankah kalian bukan termasuk orang-orang dari gerombolan yang saling bertengkar itu?” “Tentu tidak, Kek,” jawab Paksi, “Kami hanya kebetulan saja lewat.” “Jika demikian, hati-hatilah, Ki Sanak,” pesan orang tua itu. “Baik, Kek. Kami akan berhati-hati,” jawab Wijang. Namun ia pun masih juga bertanya, “Tetapi apakah jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok?” “Apakah kalian akan pergi ke Alas Mentaok?” orang tua itu ganti bertanya. “Kami hanya ingin tahu saja,” jawab Wijang. Ki Marta Brewok menggamit anak muda itu. Sementara itu, orang tua itu pun menjawab, “Jalan ini memang akan sampai ke Alas Mentaok. Tetapi hutan itu adalah hutan yang sangat garang. Orang yang masuk ke dalamnya, tidak akan pernah keluar lagi.” “Jika demikian, kami tidak akan masuk ke dalamnya, Kek. Kami akan berada di luarnya saja.” “Untuk apa sebenarnya kalian ingin melihat hutan itu?” “Tidak ada apa-apa, Kek. Kami hanya pernah mendengar namanya. Kami hanya ingin tahu, apakah hutan itu sebenarnya ada.” Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian melihat-lihat hutan itu. Ular sebesar lidi pun akan dapat membunuh kalian. Kumbang mutiara yang beracun itu pun sangat berbahaya. Apalagi jika kalian terperosok ke dalam sarang semut salaka. Dalam waktu singkat, hanya tulang-tulang kalian sajalah yang akan tinggal.” “Mengerikan sekali, Kek.” “Belum lagi disebut jenis-jenis binatang buas. Segala jenis harimau terdapat di hutan itu. Yang paling mengerikan adalah kelompok-kelompok anjing hutan yang ganas dan licik. Burung pemakan bangkai dan yang tidak kalah berbahayanya adalah pusaran-pusaran lumpur dan pasir, yang dapat menghisap tubuh seseorang hingga sampai ke perut bumi.” Meskipun Wijang dan Paksi bukan penakut, tetapi tengkuk mereka pun meremang. Ki Marta Brewok hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Wijang dan Paksi pun kemudian telah minta diri kepada orang tua itu. Demikian pula Ki Marta Brewok yang membawa mangkuk kecil berisi minyak kelapa itu. Katanya, “Kami akan menampung minyak ini dengan daun pisang saja, Ki Sanak.” “Aku punya bumbung bambu kecil yang dapat kalian bawa,” desis orang tua itu. “Jika demikian, terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. Ketika orang tua itu meninggalkan mereka untuk mengambil bumbung kecil yang dikatakannya, Ki Marta Brewok berdesis, “Kenapa kau bertanya tentang Alas Mentaok?” “Kenapa?” bertanya Wijang. “Apakah kau sengaja meninggalkan jejak arah perjalananmu?” Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Tanpa meninggalkan jejak, ternyata orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu dapat menemukan jejaknya.” “Tetapi jejak itu tentu masih kabur. Kau memperjelas jejak yang kabur itu.” “Maaf, Ki Marta,” desis Wijang, “aku tidak menyadarinya.” “Sudahlah. Mudah-mudahan orang tua itu tidak akan pernah bercerita tentang kehadiran kita, maksudku dua orang anak muda di padukuhan ini kepada siapa pun juga.” Wijang mengangguk-angguk. Namun pembicaraan mereka pun terhenti karena orang tua yang mengambil bumbung itu datang sambil membawa bumbung kecil yang sudah berisi minyak kelapa. Namun katanya kemudian, “Tuangkan minyak kelapa di mangkuk kecil itu juga ke dalam bumbung kecil ini. Barangkali kalian akan membutuhkannya lagi di perjalanan.” “Terima kasih, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok. Sementara orang tua itu pun telah menyerahkan bumbung kecil itu beserta sumbatnya. Ki Marta Brewok lah yang menerima bumbung kecil itu. Kemudian menuangkan minyak kelapa yang berada di mangkuk kecil. Sambil mengembalikan mangkuk kecil itu, Ki Marta Brewok pun berkata sekali lagi, “Terima kasih, Ki Sanak.” Namun sebelum ketiga orang itu minta diri, mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang dengan cepat mendekat. Bahkan tiba-tiba saja berderap memasuki halaman banjar itu. Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Orang tua penunggu banjar itu pun menjadi ketakutan pula. Namun ketika orang tua itu mendengar namanya dipanggil, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Demang. Agaknya bersama Ki Jagabaya.” Orang tua itu pun segera menghambur keluar langsung pergi ke halaman depan banjar itu. Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya. Mereka pun kemudian berloncatan turun dari kuda mereka. Di serambi belakang banjar itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi Paksi bertanya, “Apakah yang kita lakukan?” Ki Marta Brewok lah yang menyahut, “Kita menunggu saja disini. Apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Demang.” Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk. Dengan demikian, maka mereka bertiga pun telah duduk menunggu di serambi belakang banjar padukuhan itu. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya naik dan duduk di pendapa. Orang tua penunggu banjar itu pun kemudian bercerita apa yang telah terjadi di padukuhan itu kemarin. “Baru semalam aku mendapat laporan,” berkata Ki Demang. “Kenapa ketika peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun yang memberi laporan kepadaku?” “Semua orang sedang dicengkam ketakutan,” jawab penunggu banjar itu. “Bagaimana dengan Ki Bekel?” bertanya Ki Demang. “Ki Bekel sedang sakit. Punggungnya hampir dipatahkan oleh orang-orang yang garang itu.” “Apakah Ki Bekel dapat datang kemari?” “Aku tidak tahu, Ki Demang,” jawab penunggu banjar itu. “Apakah Ki Bekel dipanggil kemari? Biarlah aku pergi ke rumahnya.” “Tidak usah kau sendiri yang pergi,” berkata Ki Demang yang kemudian memerintahkan salah seorang pengiringnya untuk memanggil Ki Bekel. Katanya kemudian, “Tetapi jika ia tidak mungkin untuk datang kemari, biarlah nanti aku datang ke rumahnya.” Dalam pada itu, ternyata orang tua penunggu banjar itu tidak mengatakan bahwa ada tiga orang yang berada di serambi belakang banjar itu, sehingga dengan demikian ketiga orang itu tidak diminta untuk menghadap. Sambil menunggu kedatangan Ki Bekel, penunggu banjar itu menceriterakan apa yang sudah terjadi di padukuhan itu sebagaimana yang diceriterakannya kepada ketiga orang yang sedang berada di serambi belakang banjar itu. Beberapa saat kemudian ternyata Ki Bekel telah datang ke banjar. Meskipun punggungnya masih sakit, tetapi ia memaksa diri untuk memenuhi panggilan Ki Demang yang sudah berada di banjar. Di serambi belakang, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berusaha untuk mempertajam pendengaran mereka, sehingga mereka dapat mengikuti pembicaraan di pendapa banjar itu. “Ceriterakan, Ki Bekel. Apa yang telah terjadi. Tadi kakek penunggu banjar ini juga sudah berceritera. Tetapi Ki Bekel tentu akan dapat berceritera lebih lengkap.” Ki Bekel pun mulai berceritera. Sebagian besar dari ceriteranya memang tidak berbeda dengan ceritera penunggu banjar itu. Tetapi ketiga orang di serambi belakang itu kemudian mendengar Ki Demang bertanya, “Apakah Ki Bekel dapat menduga, siapakah yang telah datang ke padukuhan ini? Mungkin Ki Bekel mengenal ciri-cirinya atau mungkin ada di antara mereka yang menyebut nama gerombolan mereka atau apa pun yang dapat dipergunakan untuk mengenali mereka?” “Sulit, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Tetapi ada di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagaimana pakaian prajurit Pajang meskipun tidak lengkap.” “Mungkin mereka telah merampasnya atau mereka berhasil membunuh satu dua orang prajurit, kemudian mempergunakan pakaian prajurit yang terbunuh itu,” jawab Ki Demang. Tetapi di belakang Wijang berdesis, “Tentu para pengikut Paman Harya Wisaka.” Ki Marta Brewok dan Paksi mengangguk-angguk. Agaknya Wijang yakin, orang yang datang di padukuhan itu adalah para pengikut Harya Wisaka. Pembicaraan selanjutnya tidak begitu penting lagi bagi ketiga orang yang berada di serambi itu. Ki Bekel ternyata tidak dapat menyebut ciri-ciri dari kelompok yang lain. Beberapa saat kemudian, maka terdengar Ki Demang itu pun berkata, “Baiklah. Aku minta Ki Bekel menyiapkan semua laki-laki yang masih mampu mempergunakan senjata. Jika sejak sebelumnya kita sudah bersiap, maka akibatnya tentu akan berbeda. Kita tidak akan memberikan kesempatan kepada orang-orang itu untuk memasuki rumah demi rumah. Menakut-nakuti semua orang.” “Tetapi apakah kami mampu untuk melawan mereka?” “Aku tentu tidak akan mencuci tangan. Aku akan ikut campur. Setiap padukuhan akan menyiapkan kelompok-kelompok anak muda yang dapat bergerak cepat dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Kalian harus menyiapkan alat-alat untuk memberikan isyarat. Apa pun yang terjadi, kita tidak akan membiarkan kampung halaman kita menjadi lingkungan perburuan tanpa memberikan perlawanan. Bukankah kita mempunyai harga diri?” “Baik. Baik,” berkata Ki Bekel. “Sejak hari ini, kami akan mempersiapkan diri.” “Nanti malam, setiap padukuhan akan mengirimkan lima sampai sepuluh orang untuk ikut berjaga-jaga disini. Tetapi tidak mustahil bahwa padukuhan yang lain pun akan mengalami keadaan yang sama seperti padukuhan ini.” “Baik, Ki Demang.” “Nah, sekarang aku akan mengelilingi padukuhan-padukuhan. Malam nanti aku akan berada di banjar ini. Mudah-mudahan mereka tidak kembali. Tetapi jika mereka kembali, kita akan bersikap lain dari sikap kita kemarin.” “Terima kasih, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.” “Bagaimana keadaan Ki Bekel sendiri?” “Aku berharap bahwa aku segera menjadi baik. Aku sudah mendapat obat yang mujarab.” Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang dan pengiringnya itu pun telah meninggalkan banjar padukuhan itu. Ki Bekel yang agaknya masih belum pulih benar itu pun telah kembali pula. Sejenak kemudian, orang tua penunggu banjar itu telah berada di serambi belakang menemui ketiga orang yang berada di serambi itu. “Mereka sudah pulang,” berkata penunggu banjar itu. Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun kemudian telah minta diri. “Kami akan meneruskan perjalanan, Kek,” berkata Wijang. “Berhati-hatilah, Ngger. Jika kalian bertemu dengan orang-orang yang garang itu, kalian akan diperlakukan semena-mena. Orang-orang itu agaknya memang tidak berjantung.” “Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok, “mudah-mudahan kami tidak bertemu dengan mereka.” Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan banjar padukuhan itu. Sebenarnya ada niat Wijang dan Paksi untuk berada di padukuhan itu barang satu dua malam. Mereka ingin bersama-sama dengan para penghuni padukuhan itu untuk melawan para pengikut Harya Wisaka. Tetapi Ki Marta Brewok pun berkata, “Mungkin kita dapat mengusir orang-orang itu. Tetapi jika ada yang sempat mengenali Pangeran, padukuhan ini akan menjadi semakin parah. Pada kesempatan lain, akan datang kekuatan yang tidak terlawan. Apalagi setelah kita meninggalkan padukuhan ini, sementara orang-orang yang datang itu menganggap bahwa Pangeran memang bersembunyi disini.” Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah benar aku telah banyak menimbulkan malapetaka bagi banyak orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa?” Ki Marta Brewok tidak menyahut. Tetapi ia sempat memperhatikan Wijang yang berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ketika mereka bertiga beristirahat di pinggir sebuah sungai dan duduk di atas sebongkah batu yang besar, yang nampaknya pernah ditumpahkan dari mulut Gunung Merapi, Wijang itu pun berkata, “Aku harus memperhatikan peristiwa-peristiwa itu. Aku tidak boleh menutup mata, bahwa banyak peristiwa yang tidak dikehendaki telah terjadi.” “Tentu hal itu tidak Pangeran kehendaki. Tetapi sebenarnyalah bahwa hal itu telah terjadi. Orang-orang yang tamak itu tidak menghiraukan sama sekali akibat dari perbuatan mereka.” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang tamak itu akibatnya sama seperti yang aku lakukan.” “Maksud Pangeran?” “Yang aku lakukan dan yang mereka lakukan sama-sama menimbulkan banyak korban.” “Tetapi niat Pangeran jauh berbeda dari niat orang-orang yang tamak itu.” “Ki Marta Brewok, bukankah Ki Marta Brewok pernah mengatakan, bahwa niat yang baik tidak selalu mendatangkan hasil yang baik?” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Paksi pun berkata, “Sudahlah. Jangan risaukan.” “Bagaimana mungkin aku tidak merisaukannya,” sahut Wijang. “Setiap kali kita bertemu dengan keributan yang memungut korban karena kepergianku dari istana. Apakah alasan mereka mencari cincin atau mencari aku, pada dasarnya sama saja.” “Jadi, apakah yang terpikir oleh Pangeran sekarang?” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Bukankah kepergian Pangeran antara lain sengaja menyingkirkan cincin itu? Khususnya karena Pangeran tahu bahwa Harya Wisaka menginginkannya? Kecuali itu, Pangeran pun ingin melihat kehidupan yang sebenarnya dari rakyat Pajang. Namun yang akhirnya tidak dapat Pangeran lakukan, karena Pangeran sibuk melayani orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu.” “Ya, Ki Marta,” jawab Wijang. “Jadi apa rencana Pangeran?” “Aku akan pulang.” “Pulang ke istana?” bertanya Paksi. “Ya. Sementara itu aku akan menitipkan cincin ini kepadamu.” Paksi terkejut. Dengan serta-merta ia pun menjawab, “Wijang, kau tahu bahwa ayahku menginginkan cincin itu. Jika aku membawanya, maka jika ayahku mengetahuinya, maka cincin itu tentu akan dimintanya. Dan aku sama sekali tidak akan dapat mempertahankannya.” “Berikan saja cincin itu kepada ayahmu. Cincin itu tidak akan hilang.” “Maksudmu? Kau biarkan aku memberikan cincin itu kepada ayah. Kemudian kau akan mengambilnya sebagaimana pernah kau lakukan?” “Tentu tidak, Paksi. Tetapi bukankah kau dapat pulang jika kau membawa cincin itu? Jika kau pulang tanpa membawa cincin itu?” “Yang akan pulang itu kau, Wijang. Bukan aku.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku ingin mengajak kau pulang. Ibumu sangat merindukanmu. Sementara itu, ayahmu akan menerimamu jika kau membawa cincin itu.” “Tetapi cincin itu adalah cincin yang sangat tinggi nilainya. Apa arti lingkup keluargaku dibanding dengan nilai cincin itu sendiri.” “Aku tidak akan kehilangan cincin itu, Paksi. Sehari kemudian, aku akan datang sebagai Pangeran Benawa. Aku akan membawa pertanda dari ayahanda. Dengan demikian, maka ayahandalah yang mengambil cincin itu, karena aku melakukan atas namanya. Tentu dengan ucapan terima kasih dan barangkali ayahanda akan memberikan imbalan atas jasa ayahmu yang telah berhasil menemukan cincin itu. Mungkin pangkat, derajat atau semat.” “Tetapi persoalannya tidak akan berakhir sampai disitu. Di istana masih ada Harya Wisaka,” jawab Paksi. “Aku sadari itu. Pergolakan mungkin masih akan terjadi. Tetapi akhirnya aku berpendapat, bahwa gejolak yang terjadi karena cincin itu harus dipersempit ruang lingkupnya. Mungkin akan terjadi benturan-benturan di dalam. Tetapi tidak harus mengorbankan orang-orang padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya. Biarlah aku dan barangkali Kakangmas Sutawijaya harus menghadapi Paman Harya Wisaka, karena aku yakin, bahwa Kakangmas Sutawijaya akan membantuku menghadapi Paman Harya Wisaka.” Paksi termangu-mangu sejenak. Ia merenungi ajakan Wijang untuk pulang ke Pajang. Wijang akan memberikan cincin itu kepadanya. “Satu tanggung jawab yang sangat besar. Jika cincin itu tidak sampai ke tangan ayahnya atau dalam waktu yang pendek sebelum Pangeran Benawa datang atas nama Kangjeng Sultan Pajang, ada orang yang merampasnya, maka persoalannya akan berkembang semakin rumit.” Namun Ki Marta Brewok itulah yang kemudian berkata, “Sebaiknya kau renungkan gagasan itu, Paksi.” “Tetapi ayahku tentu akan bertanya-tanya, kenapa Pangeran dengan serta-merta mengetahui bahwa cincin itu ada di tangan ayahku.” Wijang tersenyum. Katanya, “Mudah sekali. Aku dapat mengatakan bahwa para peramal istana telah memberitahukan kepada ayahanda, bahwa cincin itu sudah berada di Pajang. Di tangan ayahmu.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Jawaban yang memang tidak akan dapat dipersoalkan lagi. Sementara itu Ki Marta Brewok yang kemudian tersenyum berkata, “Satu gagasan yang lengkap, Paksi.” “Tetapi jika semalam sebelum Pangeran Benawa datang rumah kami dirampok orang, katakanlah Harya Wisaka dengan beberapa orang berilmu tinggi?” bertanya Paksi. “Pukul kentongan. Seluruh Pajang akan terbangun,” jawab Ki Marta Brewok. “Pangeran Benawa juga akan terbangun. Jika cincin itu disembunyikan di tempat yang rapat, maka sebelum orang-orang itu dapat menemukan cincin yang mereka cari, Pangeran Benawa dan orang-orang yang dipercayanya, sudah akan berada di rumahmu untuk membantu ayahmu melindungi cincin itu.” “Ya,” sahut Wijang. “Tetapi dalam keadaan seperti itu, cincin itu akan langsung dibawa oleh Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memikirkannya. Nanti malam aku akan memberikan jawaban.” “Kenapa menunggu nanti malam?” Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Apakah kita tidak jadi melihat-lihat keadaan Alas Mentaok?” “Kalian sudah dapat menggambarkan ujud dari hutan yang sangat lebat itu, meskipun yang dikatakan oleh orang tua penunggu banjar itu memang agak berlebihan. Aku yang pernah berada di dalam hutan itu beberapa hari, masih juga sempat keluar dalam keadaan hidup. Meskipun demikian, Alas Mentaok memang hutan yang sangat berbahaya.” Terasa angin berhembus semakin keras. Awan putih selembar-selembar terbang ke utara, tertimbun di ujung Gunung Merapi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pendapat Ki Marta Brewok memberikan tekanan pada perasaannya. Ia terlalu percaya kepada orang itu. Orang yang telah memberikan landasan ilmu kanuragan yang tinggi. Bahkan lebih dari itu. Dalam keadaan yang rumit, setiap kali Ki Marta Brewok itu selalu hadir. Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Baiklah. Paksi masih akan merenungkan ajakan Pangeran. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kapan saja Paksi mengambil keputusan, kita akan dapat menentukan sikap.” Wijang mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Marilah kita berjalan. Kita masih akan pergi ke arah selatan. Sampai atau tidak sampai Alas Mentaok.” Mereka bertiga pun kemudian telah bangkit. Bertiga mereka melangkah ke arah selatan. Tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Paksi kemudian berkata, “Baiklah, Wijang. Aku pulang.” Mereka pun berhenti melangkah. Sambil tersenyum Wijang pun menepuk bahu Paksi sambil berdesis, “Bagus, Paksi. Kita akan bersama-sama pulang. Kau akan membawa cincin itu dan memberikannya kepada ayahmu. Kau akan diterima sebagai anak laki-laki yang baik, yang berbakti kepada orang tua dan bahkan kau akan dapat menjunjung derajat ayahmu, karena dengan mempersembahkan cincin itu kembali ke istana, ayahmu akan mendapat anugerah.” Paksi termangu-mangu sejenak, hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah ayah seorang yang setia kepada Pajang. Apakah ayah tidak menjadi salah seorang yang berada di bawah pengaruh Harya Wisaka.” “Kau akan mengawasinya, Paksi.” “Jika Harya Wisaka datang dengan kekerasan, maka aku dapat memukul kentongan, sehingga seluruh Pajang akan mendengar karena suara kentongan itu akan segera bersambut dan menjalar kemana-mana. Tetapi kalau Harya Wisaka atau kepercayaannya datang dengan diam-diam?” “Sebaiknya jangan beri kesempatan hal itu terjadi,” berkata Ki Marta Brewok. “Sebaiknya kalian berdua sepakat tentang waktu, agar jarak waktu akan kedatangan Paksi dan kehadiran Pangeran Benawa di rumah Paksi atas nama Kangjeng Sultan tidak terlalu panjang. Dengan demikian, tidak ada kesempatan bagi Harya Wisaka mengambil cincin itu.” “Baiklah. Kita dapat bersepakat untuk mengatur waktu itu.” Demikianlah Wijang dan Paksi itu pun telah bersepakat untuk menempuh perjalanan pulang. Mereka telah mengatur, kapan Wijang memasuki istananya dan kapan Paksi akan sampai ke rumahnya. Paksi harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk menemui ayahandanya dan mohon pertanda bahwa Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan datang ke rumah Paksi untuk mengambil cincin yang dibawa oleh Paksi. Namun perjalanan pulang itu harus mereka tempuh dengan berhati-hati. Di sepanjang jalan pulang itu masih mungkin terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan. Tetapi kedua orang anak muda itu menjadi semakin tenang ketika Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Aku akan menyertai kalian sampai ke Pajang.” “Tetapi bukankah aku tidak perlu berada di alun-alun Pajang dua kali sebulan? Saat bulan purnama dan di tanggal pertama untuk menunggu Ki Marta Brewok?” Ki Marta Brewok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa. Wijang memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia tidak tahu apa yang sedang ditertawakan oleh Ki Marta Brewok. Bahkan Paksi pun kemudian ikut tertawa pula. “Apa yang kalian tertawakan?” bertanya Wijang. Paksi menahan tertawa. Namun kemudian ia berceritera bahwa Ki Marta Brewok pernah mengancamnya untuk meminjamkan cincin itu. Ki Marta Brewok akan menemui Paksi di alun-alun Pajang dan menunggunya di saat purnama atau pada tanggal pertama. Ternyata Wijang pun telah tertawa pula. Di perjalanan kembali ke Pajang, Ki Marta Brewok telah berpesan agar mereka menghindari persoalan-persoalan yang dapat terjadi di jalan. “Kecuali yang memang tidak dapat kita hindari.” Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, mereka sadar, bahwa mereka berada di lingkungan yang berbahaya. Di daerah yang seakan-akan ditebari oleh orang-orang yang dapat mengancam keselamatan mereka. Ketika mereka lapar, maka mereka telah memilih kedai yang kecil dan sempit, yang hanya disinggahi oleh orang-orang di sekitarnya, karena kedai itu sama sekali tidak menarik bagi orang-orang yang lewat dalam perjalanan jauh. Mereka bertiga berharap bahwa di kedai yang kecil itu mereka tidak akan menemui persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka. Sebenarnyalah yang berada di dalam kedai itu agaknya orang-orang di sekitar tempat itu saja. Ada di antara mereka yang duduk tanpa baju dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Di samping nampak sebuah kapak pembelah kayu yang tersandar di dinding. Nampaknya orang itu baru saja membelah kayu di sebelah kedai itu. Di tangannya terdapat sepincuk nasi megana. Di sisi lain, duduk dua orang yang sudah separo baya. Di hadapannya dihidangkan di paga bambu yang rendah, wedang sere dan beberapa macam makanan. Jadah, jenang alot, wajik dan tasikan. Beberapa kerat ketela rebus dengan tempe bacem dan lombok rawit. Kedua orang itu nampak asyik berbincang. Mereka tidak menghiraukan orang-orang lain yang berada di kedai itu. Sekali-sekali terdengar keduanya tertawa. Wijang, Paksi dan Ki Marta Brewok telah mengambil tempat di sudut. Di sebelah orang yang sedang makan sepincuk nasi megana. Tetapi orang itu tidak menghiraukan kehadiran ketiga orang itu. Nampaknya ia sedang menikmati kangkung, lembayung dan kacang panjang rebus dengan bumbu megana. Ketika pemilik kedai itu datang mendekat, maka Wijang pun memesan tiga pincuk nasi megana pula. Ketika orang yang tidak berbaju itu mendengar, maka ia pun mengangkat wajahnya. Dipandanginya Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi sambil tersenyum. Katanya, “Kalian juga senang nasi megana seperti ini?” “Ya, Ki Sanak,” Ki Marta Brewoklah yang menjawab. “Murah, kenyang dan awet.” Ki Marta Brewok tertawa. Wijang dan Paksi pun tertawa pula. Tetapi Wijang lah yang bertanya, “Apa yang awet, Ki Sanak?” “Awet kenyang. Lembayung dan kangkung membuat kita tidak cepat lapar meskipun kita bekerja keras.” “Ya. Aku sependapat.” Wijang mengangguk-angguk. Sejenak kemudian pemilik warung itu pun telah menghidangkan tiga pincuk nasi megana. Tetapi di dalamnya terdapat masing-masing sebutir telur. “Ha, kalian orang kaya, ya?” “Tidak. Kenapa?” “Kalian memakai lauk masing-masing sebutir telur.” “Kami tidak memesan. Tetapi pemilik kedai itulah yang memberinya.” Orang yang tidak berbaju itu memandang pemilik kedai yang sudah kembali ke tempatnya. Katanya, “Kebiasaannya memang begitu. Tanpa bertanya, maka ditaruhnya lauk yang mahal-mahal. Disini harga telur tiga keping. Padahal dimana-mana hanya dua keping.” “O. Apaboleh buat. Jika belum terlanjur, aku tidak mau diberi telur yang tiga keping harganya,” desis Paksi. “Aku tidak berani mengambil sebutir telur. Nanti anak-anakku tidak makan. Hanya jika ayam kami bertelur lebih banyak, kami sering makan telur. Dua butir telur untuk orang serumah.” “Apakah ayammu jarang bertelur?” “Setiap hari ada ayamku bertelur. Tetapi telur itu harus dijual untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain. Aku punyai tujuh orang anak yang masih kecil-kecil.” “Bukankah Ki Sanak mempunyai sebidang sawah?” “Sawahku sudah digadaikan oleh ayahku untuk lima tahun. Jadi aku harus menunggu dua tahun lagi untuk dapat menggarap sawahku sendiri. Sekarang aku menggarap sawah orang lain, sambil bekerja menjadi blandong kayu. Istriku jual ayung-ayung. He, disini juga ada ayung-ayung buatan istriku itu. Kau tidak mencicipi? Setiap pagi aku bawa se-irig ayung-ayung. Banyak orang suka ayung-ayung buatan istriku.” “O. Aku adalah penggemar ayung-ayung,” sahut Wijang. Blandong kayu itulah yang berteriak kepada pemilik kedai, “He, mana ayung-ayungmu?” “Habis. He, apakah kau masih belum puas makan ayung-ayung di rumah?” “Bukan aku. Tetapi ketiga orang tamumu ini.” “Sayang ayung-ayungnya sudah habis.” “Nah,” blandong itu berkata dengan bangga, “bukankah ayung-ayung buatan istriku itu sangat laris.” “Ya. Sayang sekali,” desis Wijang. “Tetapi lain kali aku akan singgah dan membeli ayung-ayungmu.” Blandong itu tertawa. Katanya, “Tetapi jika kalian memang ingin mencicipinya, silahkan mampir. Rumahku tidak jauh. Mungkin masih ada beberapa bungkus ayung-ayung ada di rumah.” “Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Lain kali aku akan singgah.” Orang itu terdiam. Dihabiskannya nasi megana di pincuknya. Kemudian diteguknya minumannya sehingga mangkuknya hampir menjadi kosong. Sambil bangkit berdiri, ia pun menggeliat. Katanya, “Perutku sudah kenyang. Silahkan, Ki Sanak. Jika kau ingin ayung-ayung, singgahlah di rumahku.” “Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. Orang itu pun kemudian melangkah mendekati pemilik warung. Diambilnya dua keping uang dan diserahkannya kepada pemilik kedai itu. Tetapi sebelum orang itu keluar dari kedai itu, maka terdengar keributan di jalan yang membujur di depan kedai itu. Orang itu termangu-mangu sejenak. Diurungkannya langkahnya, sehingga ia kembali duduk di tempatnya semula. Tetapi nampak wajahnya yang menjadi tegang. Ternyata bukan hanya orang itu saja yang menjadi tegang. Tetapi yang lain pun menjadi ketakutan. Bahkan seorang yang duduk di sudut menjadi gemetar. “Orang-orang itu kembali lagi,” desis tukang blandong yang tidak berbaju itu. “Siapa?” “Kami tidak tahu, siapakah mereka itu.” “Apa yang mereka cari?” “Mereka mencari anak muda yang bernama Pangeran Benawa.” Wijang menarik nafas panjang. Namun Paksi lah yang bertanya, “Apakah mereka berhasil?” “Dua hari yang lalu tidak.” “Jadi mereka sudah datang kemari dua hari yang lalu?” “Ya.” Wijang tidak bertanya lagi. Keributan itu menjadi semakin dekat. Ketika Paksi berdiri dan melangkah ke pintu, pemilik kedai itu berkata, “Jangan keluar. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka.” Paksi mengurungkan niatnya. Ia justru melihat dua orang petani yang berlari-lari meloncati parit. Mereka melemparkan cangkul mereka di pinggir jalan. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, empat orang berjalan di depan kedai itu. Seorang perempuan yang berpapasan dengan mereka menjadi gemetar. Sementara itu seorang di antara keempat orang membentaknya, “Kau mau kemana, he?” Perempuan itu menjawab terbata-bata, “Tidak kemana-mana.” Orang itu memperhatikan orang yang sudah separo baya sambil berkata. “Awas. Jangan berbuat macam-macam.” Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi kakinya bagaikan menjadi seberat timah. Keempat orang itu pun kemudian telah berdiri di depan kedai itu. Seorang di antaranya melangkah ke pintu kedai. Sambil berpegangan uger-uger pintu kedai itu, ia memandang ke dalamnya. Ia melihat beberapa orang yang sedang berada di dalam kedai. Mereka melihat orang yang tidak berbaju itu. Orang yang ketakutan di sudut dan tiga orang yang sedang memegangi pincuk nasi megana. Orang itu sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran duduk di dalam kedai sambil memegang sepincuk nasi megana. Karena itu, maka orang itu pun kemudian berkata lantang, “Aku minta kalian tidak berbuat sesuatu yang dapat mengacaukan tugas-tugasku disini. Kali ini buruanku tidak boleh lepas. Aku sudah mendapat keterangan bahwa kemarin ia sudah berada disini.” Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara orang itu pun berkata selanjutnya, “Jika sekali ini buruanku itu terlepas lagi, maka aku akan membawa sepuluh orang di antara penghuni padukuhan ini. Mereka tidak akan pernah kembali.” Semua orang yang berada di kedai itu masih saja terbungkam. Bahkan mereka pun menundukkan kepala. Tidak seorang pun yang berani mengangkat wajahnya, apalagi memandang orang yang berdiri di pintu itu. “Kalian harus membantu kami. Kalian harus memberitahukan kepada kami, dimana anak muda yang aku cari itu bersembunyi.” Orang-orang yang ada di dalam kedai itu termasuk pemilik kedai itu masih tetap berdiam diri. “Baiklah. Kami akan pergi. Kami akan mencari anak muda yang sejak kemarin sudah ada disini.” Sejenak orang itu memandang berkeliling. Karena orang-orang yang berada di dalam kedai masih berdiam diri sambil menunduk, maka orang itu pun tidak berbuat apa-apa. Sambil beringsut mundur orang itu berkata, “Ingat, siapa yang menggagalkan usaha kami, akan kami hancurkan. Tetapi sebaliknya, siapa yang membantu kami, akan kami beri hadiah yang sangat besar.” Tidak seorang pun yang menyahut. Semua orang yang ada di dalam kedai itu masih tetap menundukkan kepalanya. Wijang lebih senang menatap telur yang tinggal sepotong di dalam pincuknya daripada memandang orang yang berdiri di pintu itu. Dalam pada itu, orang yang berdiri di pintu itu juga melihat dua orang anak muda berada di kedai itu. Tetapi dua anak muda dengan pakaian kusut, memegangi pincuk nasi megana di sebuah kedai kecil, sehingga dua orang anak muda itu tidak menarik perhatiannya. Yang ada di dalam kedai itu sama sekali tidak menggiring perhatian orang yang berdiri di pintu itu kepada seorang pangeran. Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang itu pun telah meninggalkan kedai itu. Mereka meneruskan langkah mereka sambil menakut-nakuti orang-orang yang lewat di sepanjang jalan. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia sudah luput dari perhatian orang itu. Wijang sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi ia masih memikirkan orang-orang padukuhan yang akan dapat menjadi sasaran kemarahan dan dendam jika ia berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun telah berpesan agar Wijang dan Paksi menghindari persoalan-persoalan yang dapat timbul dan menghambat perjalanan pulang mereka. “Marilah, kita selesaikan nasi megana ini. Kita sebaiknya segera meninggalkan tempat ini,” desis Ki Marta Brewok. Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu Paksi pun telah menyelesaikan nasi megananya meskipun agak tertahan di lehernya, sehingga Paksi harus meneguk minumannya sampai hampir habis. Wijang tersenyum. Katanya, “Pincuknya jangan ikut ditelan, Paksi.” “Telurnya,” desis Paksi. Ki Marta Brewok pun tertawa. Namun sebelum mereka membayar dan meninggalkan kedai itu, mereka melihat seorang anak muda yang berjalan dengan wajah tengadah dan berhenti di depan kedai itu. Seorang laki-laki bersenjata golok mengiringinya di belakangnya. Sambil memandang pemilik kedai yang duduk di belakang paga rendah tempat ia menggelar dagangannya, anak muda itu menyapa, “He, Kang. Kemana istrimu? Kaukah yang sekarang berjualan nasi disini?” Pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya anak muda itu dengan seksama. Namun kemudian ia pun berdesis, “Wicitra. Kapan kau pulang?” “Kemarin. Aku sekarang sudah berubah. Kenapa kau masih tetap saja menjadi penjual nasi? Bahkan tanpa istrimu?” “Istriku sedang pulang untuk mengambil bumbu megana. He, kau memang berubah. Dimana kau selama ini?” Anak muda itu mengangkat wajahnya. Katanya, “Aku tidak mau hidup di tempat yang pengap seperti ini. Aku harus berubah. Dan aku berhasil.” “Jadi, apa yang kau lakukan disini sekarang?” “Aku akan menjual warisanku untuk menambah modal kerjaku. Aku seorang saudagar yang berhasil.” “Maksudmu, tanah dan rumah yang ditinggali kedua orang tuamu itu?” “Ya.” “Tetapi bukankah kedua orang tuamu masih hidup?” “Tanah dan rumah itu akhirnya akan jatuh ke tanganku juga. Apa bedanya sekarang dengan setelah ayah dan ibuku meninggal?” “Lalu, dimana ayah dan ibumu harus tinggal?” “Ia dapat tinggal bersama Paman. Bukankah umur mereka sudah tidak akan terlalu panjang lagi?” “Citra.” Wicitra tertawa. Katanya, “Jangan dibelenggu oleh kecengengan. Kematian seseorang adalah alami. Semua orang akan mati. Juga ayah dan ibu.” Wijang dan Paksi mendengar pembicaraan itu. Tiba-tiba Paksi menggamit Wijang sambil berdesis, “Apakah anak itu sudah gila?” “Sst,” potong Wijang, “biar saja ia berkicau sesuka hati.” “Tetapi telingaku terasa panas.” Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Jangan membiasakan diri cepat tersinggung.” Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Satu pengenalan yang menarik. Jadi ada juga anak yang bersikap demikian terhadap orang tuanya. Tetapi kita belum tahu, apakah orang tuanya itu orang tuanya sendiri, orang tua angkat atau sekedar mengaku orang tua.” “Tetapi warisan itu?” “Sst,” Wijang berdesis. Ternyata anak muda itu melangkah ke pintu kedai. Seperti orang yang sedang mencari Pangeran Benawa, anak muda yang bernama Wicitra itu berdiri berpegangan uger-uger pintu. Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kedai itu..... Dengan nada tinggi Wicitra itu berkata, “Kedaimu masih juga kedai kerdil dan kotor. Orang-orang yang makan di dalam kedaimu juga orang-orang yang tidak berbaju dan berpakaian kusut.” “Kau tidak ingat lagi kepada Kang Setra Blandong?” “Tentu ingat. Ia masih juga blandong seperti dahulu. Ia masih juga makan di kedaimu tanpa baju.” Orang yang disebut Setra Blandong itu hanya memandangi Wicitra saja tanpa mengatakan sesuatu. Wicitra tertawa melihat tukang blandong yang duduk termangu-mangu, yang sebenarnya sudah akan meninggalkan kedai itu, tetapi tertahan karena kehadiran empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Jika ia kemudian tidak segera pergi sepeninggal keempat orang, ia memang menunggu agar orang itu menjadi semakin jauh. Tetapi sebelum ia beranjak pergi, Wicitra itu telah datang ke kedai itu. Sementara itu pemilik kedai itu pun kemudian bertanya, “Jadi kau datang kemarin, Wicitra?” “Ya.” “Wicitra, ada yang perlu kau ketahui.” “Apa?” “Di padukuhan ini sekarang berkeliaran beberapa orang yang sedang mencari seorang anak muda. Mereka baru saja datang ke kedai ini. Mereka mengatakan bahwa anak muda yang mereka cari kemarin sudah datang ke padukuhan ini.” “Siapakah yang mereka cari?” “Pangeran Benawa.” “Pangeran Benawa? Apakah Pangeran Benawa ada di padukuhan kita?” “Yang aku cemaskan, bahwa kaulah yang dikira Pangeran Benawa itu. Karena kau juga datang ke padukuhan ini kemarin.” “O. Bukankah aku pantas jika aku dikira seorang pangeran? Ujudku memang ujud seorang pangeran.” “Tetapi dengan demikian kau terancam bahaya.” “Bahaya apa?” “Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang garang. Yang tadi singgah di kedai ini adalah empat orang bersenjata yang kasar dan berwajah seram.” “Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus aku lakukan?” “Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari. Jika mereka benar-benar menyangka bahwa kau adalah Pangeran Benawa, maka kau tentu akan mereka bawa.” “Apakah sia-sia aku berguru beberapa tahun. Pengawalku itu pun seorang gegedug yang tidak terkalahkan. Apalagi hanya empat orang. Sembilan orang pun akan dapat aku binasakan dalam waktu sekejap.” “Tetapi nampaknya keempat orang itu juga orang-orang berilmu. Mereka sudah datang beberapa hari yang lalu. Mereka kasar dan nampaknya berbahaya.” “Kau menakut-nakuti aku?” “Tidak. Tetapi orang-orang itu berbahaya bagimu. Agaknya orang-orang itu sulit diajak bicara. Apakah tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepadamu? Ayah dan ibumu?” “Aku tidak memerlukan pemberitahuan itu, Kang. Lupakan saja. Aku justru akan menampakkan diri untuk mengetahui, apakah aku benar-benar mirip dengan seorang pangeran.” “Tetapi…. “ Ternyata tukang blandong yang lebih banyak berdiam diri itu akhirnya berbicara juga, “Sudahlah. Wicitra sudah dewasa. Ia dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Manakah yang baik dilakukan dan mana yang tidak.” Pemilik kedai itu memang terdiam. Namun Wicitra itulah yang melangkah mendekati blandong yang tidak memakai baju itu. Pengawalnya pun telah melangkah ke pintu pula sambil memegangi hulu goloknya yang berada di dalam sarungnya dan tergantung di lambung. “Ternyata kau cukup bijaksana Setra. Terima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Tetapi sayang, aku sama sekali tidak memerlukannya. Kau pun tidak membuat pertimbangan dengan ikhlas. Bahkan dalam nada suaramu, tersirat perasaanmu yang jengkel terhadap sikapku. He, apakah kau ingin membuat gara-gara.” “Sama sekali tidak,” jawab Setra Blandong. “Aku hanya ingin pemilik kedai ini diam.” Wicitra tertawa. Katanya, “Apakah bajumu masih saja selembar sehingga kau tidak pernah mengenakannya kecuali jika kau pergi jagong bayen?” Setra memandang orang yang berdiri di pintu. Seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Bersenjata golok. Wajahnya seram sedangkan matanya yang tajam seperti mata burung hantu itu memandanginya. Setra menarik nafas dalam-dalam. Ia hanya seorang blandong kayu. Mungkin ia memiliki tenaga yang besar. Tetapi sejak kecil Setra tidak pernah berkelahi. Karena itu, Setra sama sekali tidak menjawab. Ketika Wicitra meraba pundak Setra, maka ia pun berkata, “Keringatmu masih saja belum kering Setra. Tetapi mungkin minuman panasmu itulah yang membuat kau berkeringat.” Setra Blandong masih tetap diam saja. Wicitra pun tertawa pula. Katanya, “Hati-hatilah, Setra. Jika kau menebang pohon, kau harus tahu kemana arah pohon itu tumbang, agar pohon itu tidak menimpa kepalamu.” Setra Blandong itu masih saja berdiam diri. Wicitra itulah yang kemudian melangkah ke pintu. Ketika pengawalnya bergeser, Wicitra itu pun melangkah keluar sambil berkata lantang kepada pemilik kedai itu, “Aku akan mencari orang-orang yang telah menakut-nakuti penghuni padukuhan ini. Aku akan mengaku Pangeran Benawa.” Sejenak kemudian, maka Wicitra dan pengawalnya itu pun meninggalkan kedai itu. Tetapi ia masih bertanya kepada pemilik kedai itu, “Kemana mereka pergi, Kang?” Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Keempat orang itu menyusuri jalan di depan kedai itu ke timur. Namun pemilik kedai itu berkata, “Mereka pergi ke barat.” Wicitra tertawa. Tetapi bersama pengawalnya ia pergi ke timur. “Kau yang bodoh,” berkata Setra Blandong. “Anak itu datang dari arah barat.” Pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun tersenyum pula. Setra Blandong itulah yang kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar. Katanya, “Sejak tadi aku sudah akan pergi. Aku menyesal bertemu dengan anak yang sombong itu.” “Aku mencemaskannya,” berkata pemilik kedai itu. “Kau tidak bersalah. Kau sudah mencoba untuk memperingatkannya. Tetapi ia keras kepala. Aku bahkan menjadi jengkel karena kesombongannya. Tetapi pengawalnya itu membuat hatiku berkerut. Terus terang aku takut.” Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan berkecil hati. Itu wajar-wajar saja. Kita bukan orang yang terbiasa berkelahi. Meskipun kau membawa kapak, tetapi pohon yang kau tebang selalu saja pasrah.” Setra Blandong itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Kecut sekali. Tetapi Setra Blandong itu masih juga berkata kepada Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang menyertainya, “Jika kau perlu ayung-ayung, ambil di rumahku.” Ki Marta Brewok tertawa sambil menjawab, “Terima kasih, Ki Setra.” Sepeninggal Setra Blandong, maka Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah minta diri pula. Setelah membayar harga makan dan minum mereka, maka mereka pun meninggalkan kedai itu pula. Namun demikian mereka keluar dari kedai itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Nasib anak itu agaknya akan menjadi kurang baik.” “Anak itu terlalu sombong,” desis Paksi. “Apakah kita sebaiknya memperingatkannya. Orang itu masih nampak dari sini. Kita dapat menyusulnya dan memberitahukan bahaya yang dapat mengancamnya. Mungkin jika orang lain yang memberinya peringatan, anak itu akan mau mendengarkannya,” sahut Wijang. Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya, “Belum tentu. Agaknya anak itu terlalu sombong. Kau dengar apa yang dikatakannya tentang kedua orang tuanya?” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Anak itu memang sangat menjengkelkan.” “Tetapi biarlah kita mencobanya. Mungkin kita dapat meyakinkannya.” Ketiganya pun mempercepat langkah mereka. Namun anak muda yang bernama Wicitra itu telah hilang di tikungan. “Kita pun akan berbelok pula,” berkata Ki Marta Brewok. “Tetapi persoalan ini adalah persoalan terakhir yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Selanjutnya kita akan langsung menempuh perjalanan pulang.” “Ya. Kita tidak menghiraukan lagi, apa pun yang terjadi di sekitar diri kita,” berkata Paksi. Tetapi Wijang justru tertawa. Katanya, “Benar begitu?” Paksi mengerutkan dahinya. Ki Marta Brewoklah yang kemudian tertawa pula. Paksi yang memberengut itu pun berkata, “Jadi akulah yang telah menghambat perjalanan pulang?” “Tidak. Bukankah aku tidak berkata begitu?” sahut Wijang. Paksi tidak berbicara lagi. Tetapi ia berjalan lebih cepat. Tongkatnya menghentak-hentak tanah yang dilewatinya. Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Mereka mendengar suara keributan kecil terjadi di belakang tikungan. Dengan hati-hati ketiganya mendekat sambil melekat di dinding. Dari tempat mereka berhenti, ketiganya mendengar suara seorang laki-laki, “Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari.” “Tidak, kau dengar.” “Jika kau bukan anakku, aku tidak akan mempedulikanmu, Wicitra.” “O, jadi kau usir agar aku tidak sempat menuntut warisan itu lagi.” “Ambil, ambil semuanya yang akan kau ambil, Wicitra. Tetapi banyak orang dan bahkan Ki Bekel menasehatkan agar kau meninggalkan padukuhan ini. Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak mengenal kasihan. Mereka tentu menyangka bahwa kaulah yang mereka cari.” “Pangeran Benawa?” “Ya.” “Aku memang akan mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bukankah tampangku pantas untuk disebut sebagai seorang pangeran.” “Tetapi kau akan ditangkap.” “Siapa yang dapat menangkap aku, biarlah dilakukannya. Aku tidak takut. Kau ajari anakmu menjadi pengecut?” “Tidak. Tentu tidak. Tetapi aku dan ibumu mohon.” “Cukup. Sebaiknya ayah menyiapkan segala sesuatunya yang akan ayah wariskan kepadaku. Besok kita menghadap Ki Bekel. Kemudian aku akan menjual semuanya untuk menambah modalku. Jika perdaganganku menjadi besar, aku akan menjadi saudagar yang paling kaya di Pajang.” “Sudah aku katakan. Ambil yang akan kau ambil.” “Jangan mencari alasan untuk menunda-nunda lagi.” “Wicitra.” “Cukup,” bentak Wicitra. “Biar aku menentukan sikapku sendiri. Aku sudah dewasa. Aku sudah tahu, manakah yang baik dan mana yang tidak baik. Mana yang berbahaya dan mana yang tidak berbahaya.” “Wicitra…, Wicitra.” “Diam, diam kau. Jangan ikuti aku.” Suara mereka tidak terdengar lagi. Langkah Wicitra semakin jauh. Sedangkan desah ayahnya masih terdengar dari balik dinding di tikungan. Ki Marta Brewok lah yang kemudian berbisik, “Marilah kita dekati orang tua Wicitra itu.” “Bukan aku yang membuat persoalan,” desis Paksi. Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Tetapi persoalan ini masih terkait dengan persoalan terakhir yang akan melibat kita.” Ki Marta Brewok pun kemudian memberi isyarat kepada kedua orang anak muda itu untuk mengikutinya. Demikian ketiganya muncul di tikungan, ayah Wicitra itu terkejut bukan buatan. Hampir saja ia meloncat berlari untuk mengejar anaknya. Tetapi kakinya serasa menjadi seberat timah. Ki Marta Brewoklah yang kemudian berkata dengan kata-kata yang sareh, “Jangan takut, Ki Sanak. Aku tidak berniat buruk.” Dengan wajah yang tegang, ayah Wicitra itu memandang Ki Marta Brewok dan kedua anak muda yang menyertainya itu berganti-ganti. “Siapakah kalian? Apakah kalian akan mencari Pangeran Benawa? Disini tidak ada Pangeran Benawa. Yang kalian sangka Pangeran Benawa itu adalah anakku. Namanya Wicitra. Ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Ki Sanak, kami tidak sedang mencari Pangeran Benawa. Kami sama sekali tidak mengenalnya, bahkan baru sekarang kami mendengar namanya.” “Jadi, apa yang kalian cari disini?” “Kami tidak mencari apa-apa disini, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Kami hanya lewat. Di tikungan ini kami mendengar suara ribut-ribut, sehingga kami berbelok kemari.” Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kalian tidak mencari Pangeran Benawa?” “Tidak, Ki Sanak.” “Tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa sekelompok orang sedang mencari Pangeran Benawa disini. Pangeran Benawa yang kemarin sudah datang di padukuhan ini. Sedangkan anak muda yang kemarin datang di padukuhan ini adalah anakku. Aku cemas, bahwa anakku itulah yang disangka Pangeran Benawa.” “Apakah anakmu mirip dengan Pangeran Benawa?” bertanya Wijang. “Aku tidak tahu. Aku belum pernah melihat Pangeran Benawa. Yang jelas mirip adalah kemudaannya. Menurut kata orang, Pangeran Benawa itu masih muda. Anakku juga masih muda.” “Tetapi aku dengar, Ki Sanak justru bertengkar tadi.” “Itu tadi anakku. Aku mencoba untuk membujuknya agar ia bersedia meninggalkan padukuhan ini barang satu dua hari sampai orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu pergi.” “Apakah orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu mirip kami?” “Yang kami dengar adalah empat orang. Mungkin saja yang seorang baru mempunyai keperluan lain.” “Tetapi orang itu bukan kami,” jawab Ki Marta Brewok yang selanjutnya berkata, “Bagaimana tanggapan anakmu?” “Anak itu menolak. Ia justru ingin mengaku sebagai Pangeran Benawa itu sendiri.” “Apakah anakmu tidak takut kepada orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu? Mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi, karena mereka tahu bahwa Pangeran Benawa itu pun berilmu tinggi.” “Seharusnya anakku menyadari akan hal itu. Tetapi anakku pun merasa memiliki ilmu. Ia baru saja selesai berguru. Sementara itu seorang pengawalnya juga berilmu tinggi.” “Siapakah pengawalnya itu?” “Aku tidak tahu, tetapi ia adalah orang yang diupah oleh anakku. Ia seorang upahan yang setia.” “Seharusnya anakmu mendengar nasehatmu.” “Apakah kalian bersedia menolong aku?” bertanya ayah Wicitra itu. “Maksud Ki Sanak?” bertanya Ki Marta Brewok. “Tolong, beri tahu anakku. Kau dapat menakut-nakutinya atau dengan cara apa pun juga.” “Kemana anakmu sekarang?” “Mungkin ia pulang dan menunggu orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu di rumah. Atau justru anak itu juga sedang mencari keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu.” “Aku tidak berkeberatan menemui anakmu dan mencoba mencairkan hatinya yang keras itu.” “Terima kasih, Ki Sanak. Marilah, aku mohon Ki Sanak bersedia singgah di rumahku.” Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian telah mengikuti ayah Wicitra itu. Mereka akan menemui Wicitra dan mencoba untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Demikianlah, sejenak kemudian, ketiga orang itu pun dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun ternyata bahwa Wicitra masih belum pulang. “Anak itu membuat jantungku kuncup,” berkata ayah Wicitra. “Ia adalah anakku satu-satunya. Meskipun ia telah menyakiti hatiku dengan permintaannya yang sebenarnya tidak masuk akal, tetapi bagaimanapun juga ia adalah anakku.” “Apa yang diminta oleh anak itu?” bertanya Ki Marta Brewok. “Rumah dan tanahnya. Sawah dan pategalan yang ada. Anakku akan menjualnya untuk menambah modal usahanya yang nampaknya menjadi semakin maju.” “Lalu, Ki Sanak akan tinggal dimana?” “Itu tidak menjadi soal. Aku dan istriku dapat tinggal dimana-mana. Bukankah aku hanya berdua? Aku dapat tinggal di rumah adikku atau di rumah kakak perempuanku atau dimana saja. Bahkan sebuah kandang kerbau pun cukup untuk kami tempati berdua.” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Sementara Wijang dan Paksi yang juga masih muda itu tersentuh hatinya. Mereka melihat betapa besar kasih orang tua kepada anaknya, meskipun anaknya telah melakukan pemerasan yang tidak masuk akal. Namun pembicaraan mereka pun terputus. Sejenak kemudian mereka melihat Wicitra memasuki halaman rumahnya bersama seorang pengawalnya yang menakutkan itu. Wicitra itu berhenti di tangga pendapa rumahnya. Dengan tegang ia memandang ketiga orang yang duduk di pringgitan bersama ayahnya. Namun kemudian dengan lantang ia pun berkata, “Apakah kau orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?” “Bukan Wicitra,” ayahnyalah yang menyahut. “Marilah. Duduklah. Mereka ingin berbicara kepadamu.” “Siapakah mereka?” bertanya Wicitra. Namun setelah memperhatikan ketiga orang itu dengan seksama Wicitra itu pun berkata, “Bukankah mereka orang-orang yang tadi ada di kedai itu?” “Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Untuk apa kalian datang kemari? Kalian akan memeras keluarga kami dan mengancam untuk memberitahukan kehadiranku di padukuhan ini?” “Jangan berprasangka buruk, Wicitra. Duduklah. Mereka akan berbicara kepadamu. Sebentar saja.” Wicitra memandang Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berganti-ganti. Namun tanpa naik ke pendapa Wicitra itu berkata, “Apa yang akan kau katakan?” “Duduklah, Wicitra,” minta ayahnya. Tetapi jawab Wicitra, “Aku tidak tuli. Katakan.” Ki Marta Brewok termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Wicitra. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berilmu. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh ayahmu, oleh pemilik kedai itu, maka sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini barang dua tiga hari.” “Persetan dengan penghinaanmu itu. Kalau aku tadi tidak mengingat pemilik kedai itu kawanku bermain, aku sudah menyumbat mulutnya dengan daun pisang. Ia menganggap aku pengecut yang harus bersembunyi. Sekarang kau datang juga untuk menghina aku. Aku peringatkan kau sekali lagi. Jangan membuat aku marah.” “Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok kemudian, “aku minta maaf, bahwa mungkin kata-kataku menyinggung perasaanmu. Tetapi orang-orang itu benar-benar berbahaya bagimu.” “Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kalian pergi. Aku akan mencari orang-orang itu dan mengatakan kepada mereka bahwa akulah Pangeran Benawa itu.” “Aku mohon, kau mau mempertimbangkannya, Wicitra.” “Diam, atau aku harus membungkam mulutmu. Pergi. Cepat pergi atau aku akan mengusir kalian.” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Kepada ayah Wicitra, Ki Marta Brewok itu berkata, “Maaf, Ki Sanak. Aku sudah mencoba. Tetapi anakmu tidak mau mendengarkannya.” “Pergi, cepat. Dengar. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu sebentar lagi tentu akan datang kemari. Aku sudah berpesan kepada banyak orang, bahwa akulah Pangeran Benawa dan tinggal di rumah ini selama aku berada di padukuhan ini.” “Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan, Wicitra,” sahut ayahnya. “Orang-orang padukuhan ini mengenalmu sejak kau kanak-kanak. Mereka tahu bahwa kau sama sekali bukan pangeran.” “Aku tidak peduli. Tetapi itu lebih baik bagi mereka. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu menakut-nakuti rakyat padukuhan ini. Mereka akan dapat merusak padukuhan ini jika mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Karena itu, aku sudah berpesan kepada mereka, agar mereka menyurukkan orang-orang itu ke tanganku. Aku akan membinasakan mereka.” “Tetapi mereka orang-orang berilmu,” sahut ayahnya. “Aku tidak takut,” Wicitra itu berteriak. “Aku akan menunggu mereka disini.” Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian beringsut dan turun dari pendapa. Sementara itu Wicitra masih berteriak, “Cepat, sebelum aku mendorong kalian dengan ujung pedang.” Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat meninggalkan keluarga yang malang itu begitu saja. Menurut dugaan Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi, maka Wicitra dan pengawalnya itu tidak akan mungkin dapat mengalahkan keempat orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu. Keempat orang itu pun tentu berbekal pengertian, bahwa Pangeran Benawa adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, maka demikian mereka keluar dari regol rumah Wicitra, mereka pun segera meloncat ke halaman seberang dan bersembunyi di belakang dinding. Agaknya pemilik rumah itu sudah lama menutup pintu rumahnya. Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Wicitra, maka ia telah berpesan kepada banyak orang yang ditemuinya, agar mereka sengaja memberitahukan kepada orang-orang yang mencari Pangeran Benawa bahwa Pangeran Benawa ada di rumah itu. “Akulah yang mereka cari,” berkata Wicitra. “Orang-orang di Pajang menyebutku Pangeran Benawa. Mereka iri akan keberhasilanku, sehingga mereka mencari aku.” Orang-orang padukuhan itu tidak banyak yang tahu arti dari sebuah sebutan. Ada di antara mereka yang percaya saja, bahwa Wicitra telah berganti nama dengan Pangeran Benawa. Untuk beberapa lama Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi menunggu. Mereka pun yakin, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu akan datang ke rumah Wicitra. “Ternyata ada juga segi baiknya pada Wicitra,” desis Paksi. “Apa?” bertanya Wijang. “Ia tahu bahwa jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu tidak menemukannya, maka ia akan menumpahkan kemarahannya kepada penghuni padukuhan ini.” “Tetapi bukan itu yang penting baginya. Wicitra yang baru saja menyelesaikan laku di sebuah perguruan, ingin mencoba kemampuannya di samping kesombongannya karena ia sudah berhasil menjadi orang yang berkecukupan dalam umurnya yang masih muda itu.” “Ya. Keberhasilannya itu telah membuatnya menjadi sangat sombong dan bahkan lupa diri. Kasihan kedua orang tuanya yang sangat mencintainya. Ia adalah anak satu-satunya yang diharapkan dapat menyambung alur keluarganya. Jika ia dihancurkan oleh orang-orang yang mencari Pangeran Benawa, maka terputuslah alur keluarga itu.” “Tetapi Pangeran Benawa tidak akan dibunuh. Ia harus ditangkap hidup-hidup,” desis Paksi. “Tetapi jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa, ia bukan saja dibunuh. Tetapi ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit sebelum maut benar-benar merenggutnya,” sahut Ki Marta Brewok. Paksi mengangguk-angguk. Bahkan Paksi menjadi ngeri membayangkan apa yang akan dialami Wicitra itu jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa. Dalam pada itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi itu sudah menunggu beberapa lama. Bahkan Paksi mulai merasa mengantuk karena silirnya angin yang berhembus menerpa wajahnya. Katanya, “Aku justru mengantuk. Perutku kenyang, sementara hembusan angin terasa lembut.” “Jika kau tertidur, kau akan ditinggal disini,” desis Wijang. Paksi tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak ikut tidur saja? Jika kau tidak dapat tidur, jangan menjadi iri.” Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Kau kira aku tidak mengantuk? Tetapi siapa yang tertidur, akan ditinggal.” “Jika Ki Marta Brewok yang tertidur?” “Kita akan ikut tidur,” jawab Wijang. Ki Marta Brewok pun tertawa. Dalam pada itu, mereka pun segera terdiam ketika mereka mendengar keributan kecil di jalan sebelah. Mereka mendengar seseorang membentak, “Dimana rumah itu?” Terdengar jawaban dengan suara bergetar. Agaknya orang yang menjawab itu berada dalam keadaan ketakutan. Katanya, “Itu, itu, Ki Sanak. Itu rumahnya.” “Rumah Pangeran Benawa?” “Maksudku, Pangeran Benawa ada disitu.” “Mari ikut aku. Jika kau berbohong, maka kepalamu akan terpisah dari tubuhmu.” “Tetapi aku tidak tahu apa-apa.” “Persetan. Kaulah yang telah membawa aku kemari.” Tidak terdengar jawaban. Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan seksama. Sejenak kemudian, mereka mendengar geramang orang-orang itu memasuki regol halaman rumah Wicitra. Dengan hati-hati Ki Marta Brewok pun mulai mengintip dari atas dinding halaman yang dibayangi oleh dedaunan perdu yang rimbun. “Mereka sudah masuk,” desis Ki Marta Brewok. Wijang dan Paksi pun kemudian telah berdiri pula dan melihat pintu regol halaman rumah Wicitra yang terbuka. Bertiga mereka berusaha untuk dapat melihat apa yang terjadi di halaman rumah seberang jalan. Meskipun tidak dalam keseluruhan, namun mereka dapat mengetahui serba sedikit apa yang terjadi disana. Ternyata Wicitra sudah berdiri di tangga pendapa rumahnya sambil bertolak pinggang. Dengan lantang Wicitra itu bertanya, “Kalian inikah yang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?” Keempat orang yang garang itu tiba-tiba menjadi termangu sejenak. Anak muda yang berdiri di tangga pendapa itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. “Kenapa kalian terdiam? Apakah kalian tuli dan bisu?” Seorang di antara keempat orang itu melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?” “Aku adalah orang yang kalian cari.” Orang-orang itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka berkata, “Kami memang belum pernah bertemu dengan orang yang bernama Pangeran Benawa. Tetapi ciri-ciri Pangeran Benawa sama sekali tidak sama dengan ciri-ciri yang ada padamu, anak muda.” “Persetan dengan ciri-ciri,” bentak Wicitra. “Apa yang sebenarnya kau kehendaki dengan Pangeran Benawa?” “Kami mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Nah, jika kau memang Pangeran Benawa, menyerahlah. Pimpinan kami yang akan mengenalimu nanti. Jika kau memang Pangeran Benawa, maka persoalannya kemudian adalah persoalanmu dengan pimpinanku. Tetapi jika kau bukan Pangeran Benawa, maka kau akan berurusan dengan aku, karena aku akan menjadi sangat malu, bahwa aku telah menangkap orang yang keliru.” Wicitra tertawa. Katanya, “Kalian memang orang-orang yang dungu. Seharusnya kalian tahu, bahwa aku memiliki ilmu yang tidak ada batasnya. Apakah kalian bermimpi untuk dapat mengalahkan Pangeran Benawa?” “Kami tahu bahwa Pangeran Benawa mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sebagaimana kau lihat, bahwa kami datang berempat. Seberapa pun tinggi ilmu Pangeran Benawa, maka kau tidak akan dapat melawan kami.” “Aku juga tidak sendiri,” desis Wicitra. “Seorang pengawalku akan ikut bersamaku membantai kalian berempat. Jangan menyesal kalian berempat akan berkubur disini.” Keempat orang itu mulai tersinggung. Seorang di antaranya berkata tidak kalah lantangnya, “Menyerahlah. Jika kami harus mempergunakan kekerasan, mungkin kami akan melukai kulitmu. Apalagi jika kemudian ternyata kau bukan Pangeran Benawa, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Tetapi jika kau menyerah, maka kau akan mendapat keringanan.” “Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kau mau apa? Lakukan apa yang ingin kau lakukan.” Keempat orang itu tiba-tiba saja sudah melangkah mengambil jarak yang satu dengan yang lain. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kami harus menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Tetapi jika karena perlawanannya Pangeran Benawa mati, aku harus membawa tubuhnya menghadap pemimpin kami.” “Persetan,” geram Wicitra. “Bersiaplah. Siapakah yang akan mati lebih dahulu.” Wicitra kemudian melangkah turun dari tangga pendapa. Anak muda itu nampaknya memang tidak mengenal takut sama sekali. Meskipun empat orang yang datang kepadanya itu nampak garang, tetapi dengan wajah tengadah Wicitra siap menghadapi mereka. Sementara itu, seorang pengawalnya yang tidak kalah garangnya telah bergeser pula justru mendekati Wicitra yang sudah berdiri di halaman. Ayah Wicitra berdiri dengan tubuh gemetar. Ia menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan memberitahukan bahwa Wicitra bukan Pangeran Benawa. Tetapi dengan demikian juga akan dapat berakibat buruk. Justru karena anak muda itu bukan Pangeran Benawa, maka ia akan diperlakukan dengan semena-mena. Apalagi setelah Wicitra mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bahkan mungkin Wicitra itu akan dibantai dengan cara yang sangat keji. Tetapi jika ia masih dianggap sebagai Pangeran Benawa, maka masih ada kemungkinan untuk tetap hidup, meskipun pada saatnya ia diketahui bukan Pangeran Benawa, maka segala-galanya akan berakhir. Ayah Wicitra itu menjadi sangat bingung. Dalam keadaan yang demikian, ibu Wicitra pun telah membuka pintu pringgitan dan menjenguk apa yang telah terjadi di halaman rumahnya. Ketika ia melihat anaknya dan seorang pengawalnya berhadapan dengan empat orang yang garang, maka ia pun berlari ke arah suaminya. Sambil mengguncang lengan suaminya, ibu Wicitra itu pun berkata, “Kakang. Lakukan sesuatu untuk menyelamatkan anakmu, Kakang.” “Aku sudah berusaha, Nyi. Tadi, tiga orang sudah berusaha membantu menyadarkan Wicitra. Tetapi anak itu tidak mau mendengarkannya. Orang-orang itu bahkan telah diusirnya dengan kasar, sehingga aku sudah kehilangan akal.” Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun sudah dimulai. Wicitra harus berhadapan dengan dua orang yang garang itu, sementara pengawalnya pun harus menghadapi dua orang yang lain. Pertempuran itu pun dengan cepat menjadi sengit. Wicitra yang merasa memiliki ilmu yang tinggi, segera melibat kedua orang lawannya. Namun Wicitra itu terkejut. Ternyata kedua lawannya itu tidak semudah yang dibayangkannya untuk dapat ditundukkan. Pada benturan-benturan awal, Wicitra sudah merasakan, betapa tangannya yang menggenggam pedangnya menjadi pedih. Kedua orang lawannya itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar, serta kecepatan gerak yang tinggi. Untuk beberapa saat lamanya, Wicitra mampu bertahan. Namun kemudian tekanan lawannya itu terasa menjadi semakin berat sehingga Wicitra setiap kali harus berloncatan surut. “Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam tubuh mereka,” geram Wicitra di dalam hatinya. Karena itu, maka Wicitra harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya. Sementara itu, pengawalnya juga mengalami kesulitan melawan dua orang lawan yang tidak kalah garangnya. Goloknya yang besar sekali-sekali telah membentur senjata lawannya. Pedang-pedang yang besar dan panjang. Dalam waktu yang terhitung singkat, pengawal Wicitra itu sudah harus berloncatan surut untuk mengambil jarak dan memperbaiki keadaannya, sehingga akhirnya Wicitra itu telah berdiri terpisah beberapa langkah dari pengawalnya. Gambaran Wicitra tentang lawan-lawannya memang jauh berbeda. Wicitra mengira bahwa mereka tidak lebih dari perampok-perampok yang hanya dapat berteriak-teriak dan menggertak. Namun ternyata mereka benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi Wicitra harus menghadapi dua orang lawan sekaligus. Namun Wicitra masih beruntung, bahwa lawannya berusaha untuk tidak membunuhnya. Kedua lawannya masih berusaha untuk dapat menundukkan Wicitra tanpa melukainya. Karena itu, maka kedua orang lawan Wicitra itu dengan sengaja telah berusaha memancing Wicitra agar mengerahkan tenaganya, sehingga pada suatu saat ia akan menjadi tidak berdaya lagi. Tetapi pengawal Wicitra itu mengalami nasib yang buruk. Ia sama sekali tidak diperlukan oleh keempat orang yang sedang memburu Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka kedua orang lawannya pun sama sekali tidak menahan diri. Demikian mereka bertempur, maka serangan-serangan kedua lawan pengawal Wicitra itu datang beruntun sehingga pengawal yang nampak garang itu segera terdesak. Bahkan pertahanannya pun mulai ditembus oleh serangan-serangan lawannya. Ia berteriak marah ketika lengannya tergores pedang lawannya. Tetapi kemudian justru pundaknya telah terkoyak. Ketika kemudian lambungnya menganga, maka ia pun menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari tubuhnya semakin lama semakin menjadi deras, sehingga tenaganya pun menjadi cepat menyusut. Kedua lawannya sama sekali tidak membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Serangan-serangan mereka justru semakin menentukan. Pengawal Wicitra itu kemudian berteriak nyaring ketika ujung pedang lawannya menghunjam ke dadanya. Sejenak kemudian, maka pengawal Wicitra itu pun terhuyung-huyung. Ketika ujung pedang itu dicabut, maka ia pun jatuh tertelungkup. Pengawal Wicitra itu tidak sempat menggeliat. Nafasnya pun telah putus pula, sementara tubuhnya terbaring diam di tanah. Wicitra terkejut. Ia terlalu yakin akan kemampuan pengawalnya, sehingga kematiannya benar-benar telah mengguncang jantungnya. Sementara itu, kedua orang lawannya semakin menekannya. Apalagi ketika kedua orang yang telah membunuh pengawalnya itu telah ikut mengepungnya pula. “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata salah seorang dari orang-orang yang mengepungnya itu. “Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup. Tetapi jika kau melawan, mungkin senjata kami akan menggores kulitmu atau bahwa akan menghunjam ke dadamu.” Wicitra menjadi bingung. Empat orang telah mengepungnya di tengah-tengah halaman rumahnya. Ia benar-benar menjadi kehilangan akal. Jika ia berterus terang bahwa sebenarnya ia bukan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan dibunuh juga. Wicitra menyesali kesombongannya. Ia tidak mengira bahwa dunia kanuragan yang mulai diterjuninya adalah dunia yang sangat buas dan liar. Kedua orang tuanya menjadi sangat bingung. Ibunya menangis tertahan-tahan, sementara ayahnya mencoba untuk menenangkannya. Tetapi hati ayahnya itu sendiri sama sekali tidak menjadi tenang. Dalam keadaan yang sangat gawat itu, Wicitra benar-benar telah kehilangan akal. Ketika empat ujung pedang teracu ke tubuhnya, maka tiba-tiba saja ia melemparkan senjatanya. Sambil berjongkok Wicitra itu pun merengek seperti kanak-kanak, “Ampun. Aku mohon ampun.” Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Katakan yang sebenarnya, apakah kau Pangeran Benawa?” “Tidak. Bukan, aku bukan Pangeran Benawa.” “Anak iblis kau. Kau sudah mencoba membohongi aku. Bukan karena kebenaran Pangeran Benawa itu yang sangat menyakitkan, tetapi kau sudah mencoba mempermainkan aku. Menganggap bahwa aku dan kawan-kawanku tidak lebih dari pencuri ayam yang dapat dipermainkan. Kau terlalu sombong dan terlalu merendahkan kami.” “Bukan maksudku. Aku tidak bermaksud apa-apa.” “Kenapa kau mengaku Pangeran Benawa? Bukankah itu berarti bahwa kau telah menantang kami?” “Tidak. Aku mohon ampun.” Dalam pada itu, ibu Wicitra itu pun telah berlari menghambur ke halaman. Dengan serta-merta ia pun memeluk anaknya sambil menangis. Katanya, “Aku mohon ampun bagi anakku. Ia anakku satu-satunya. Ia memang manja. Tetapi ia anak yang baik.” “Persetan dengan anakmu yang hanya satu,” seorang di antara keempat orang itu justru berteriak. “Kaukah yang menyuruh anakmu mengaku Pangeran Benawa? Kau ingin punya anak seperti Pangeran Benawa? Atau kau bangga anakmu disangka Pangeran Benawa?” “Tidak, aku sama sekali tidak menyuruhnya.” Namun tiba-tiba ayah Wicitra itulah yang menjawab, “Akulah yang menyuruhnya mengaku Pangeran Benawa. Alangkah senangnya punya anak yang dikagumi. Yang ditakuti tetapi juga dicari banyak orang. Karena itu, jika hal itu kau anggap salah, akulah yang bersalah. Jika kesalahan itu harus dihukum, hukumlah aku. Kau dapat membunuhku. Tetapi jangan anakku. Ia tidak tahu apa-apa. Ia anak baik. Ia sama sekali tidak sombong sebagaimana kalian duga.” “Kau ayah yang gila. Kau surukkan anakmu ke dalam maut. Kau dorong anakmu sehingga terjerumus ke dalam jurang yang penuh dengan batu-batu karang yang runcing.” “Aku memang bersalah. Karena itu, yang sepantasnya dihukum mati adalah aku. Bukan anakku.” “Aku tidak peduli. Tetapi jika yang kau katakan itu benar, kau dan anakmu harus mati. Kalian berdua sudah menghina kami.” “Ki Sanak,” teriak ibu Wicitra yang masih memeluk anaknya, “jika harus ada dua orang yang dihukum mati, biarlah suamiku dan aku sajalah yang mati, jangan anakku.” “Cukup,” teriak orang yang tertua di antara keempat orang itu. “Kalian tidak dapat memerintah aku. Biarlah terserah kepadaku, apa yang akan aku lakukan. Jika kalian membuat marah aku dan kawan-kawanku, maka kalian akan mengalami nasib yang paling buruk. Siapa pun yang akan aku hukum, maka anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu akan mati.” “Jangan, jangan,” teriak ibu Wicitra. Wicitra sendiri menangis. Ia menjadi sangat ketakutan. Kegarangannya tiba-tiba telah larut hanyut bersama arus air matanya. Katanya tersendat-sendat, “Aku mohon ampun. Aku mohon ampun. Aku mohon hidup.” “Pengecut licik. Melihat kesombonganmu, tidak pantas kau merengek seperti ini. Ayo bangkit. Lebih baik kau mati dengan senjata di tanganmu daripada mati aku jerat kakimu dan aku gantungkan tubuhmu di dahan pohon nangka itu. Ayo cepat. Ambil pedangmu. Kita akan bertempur seorang melawan seorang.” “Tidak, aku tidak berani. Aku mohon ampun.” “Cepat.” Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja ayah Wicitra itu melangkah dengan tenang ke depan. Dipungutnya pedang Wicitra. Kemudian ia berdiri tegak dengan pedang di tangan sambil berkata lantang, “Aku yang akan melawanmu. Aku tidak takut mati. Tetapi aku mohon anakku hidup.” “Tutup mulut, laki-laki gila. Sudah aku katakan, siapa pun yang akan mati, tetapi anak ini harus mati. Kau dengar? Tidak ada gunanya kau melindungi anakmu. Tetapi berkumpullah kalian bertiga disini, berbaringlah. Aku akan menusuk dadamu seorang demi seorang.” Suasana menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu berteriak lantang, “Cepat. Kalian harus berbaring semua atau mati perlahan-lahan?” Ketegangan telah mencengkam jantung ayah, ibu dan Wicitra sendiri yang masih saja merengek. Tetapi justru karena itu, orang tertua di antara keempat orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja kakinya menyambar mulut anak itu dengan kerasnya. “Diam kau monyet kecil. Atau aku akan mengulitimu hidup-hidup?” Mulut Wicitra pun menjadi berdarah. Tetapi ia tidak dapat diam. Ia tetap menangis merengek-rengek. Namun pada keadaan yang demikian, tiba-tiba tiga orang telah memasuki regol halaman rumah itu. Dengan lantang yang tertua di antara mereka, Ki Marta Brewok berteriak nyaring, “Ha, akhirnya kita dapat menemukan Pangeran Benawa disini.” Keempat orang yang sudah siap membunuh itu terkejut. Mereka serentak berpaling..... “Kami datang untuk menjemput Pangeran Benawa,” berkata Ki Marta Brewok. Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Yang mana yang kau maksud dengan Pangeran Benawa.” “Yang mana? Apakah kalian belum pernah mengenal Pangeran Benawa?” “Belum,” jawab yang lain. “Anak muda itu adalah Pangeran Benawa,” jawab Ki Marta Brewok sambil menunjuk Wicitra. “Ia bukan Pangeran Benawa. Ia tidak lebih dari seorang pembohong yang sombong, tetapi sekaligus pengecut yang cengeng.” Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, “Begitu sempurnanya ia mengelabuhi kalian, sehingga kalian percaya bahwa ia bukan Pangeran Benawa. Demikian pandainya ia menyamarkan dirinya.” “Tidak. Ia bukan Pangeran Benawa. Kami sudah siap membantainya bersama ayah dan ibunya, yang berusaha melindunginya.” Ki Marta Brewok tertawa berkepanjangan. Katanya, “Cobalah kau berani benar-benar membunuhnya. Maka kalian akan menjadi adeg pengamun-amun.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Marta Brewok berkata, “Nah, serahkan saja Pangeran Benawa kepadaku. Aku akan mengantarkannya kembali ke istana.” Orang tertua di antara keempat orang itu memandang Wicitra yang ketakutan sejenak. Kemudian memandang ayah dan ibunya. Ketika kemudian ia memandang Ki Marta Brewok, maka ia pun kemudian berkata, “Kau jangan menambah kemarahan kami, Ki Sanak. Siapakah kalian dan apakah sebenarnya kepentingan kalian?” “Serahkan Pangeran Benawa kepadaku.” “Tidak ada Pangeran Benawa disini,” jawab orang itu. “Jangan menipu aku. Aku sudah mengenal Pangeran Benawa dengan baik. Anak muda itu adalah Pangeran Benawa.” “Persetan,” geram orang itu. “Apakah ia Pangeran Benawa atau bukan, tetapi aku tidak akan menyerahkannya. Kami sudah bersepakat untuk membunuhnya. Membunuh kedua orang tua ini pula. Mereka telah menghinakan kami dengan mengaku sebagai Pangeran Benawa.” “Jika orang itu menurut pendapatmu memang bukan Pangeran Benawa, serahkan saja kepadaku. Aku akan menukarnya dengan apa yang kau kehendaki.” Keempat orang itu benar-benar menjadi bimbang. Namun ketika ia melihat mulut Wicitra berdarah, maka mereka pun yakin bahwa orang itu bukan Pangeran Benawa. Namun demikian mereka memang tidak berniat menyerahkan anak muda itu karena mereka sudah berniat membunuhnya saja. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Ki Sanak. Jika tidak kau serahkan Pangeran Benawa itu, maka kita akan saling berbenturan. Dan itu sangat tidak menguntungkanmu, karena kami bekerja untuk Harya Wisaka.” “Setan kau. Kami juga bekerja untuk Harya Wisaka,” teriak orang tertua di antara keempat orang itu. “Ada bedanya, Ki Sanak. Kalian hanya orang-orang upahan. Tetapi kami adalah keluarga Harya Wisaka itu sendiri.” “Kau jangan mengigau. Kami adalah para petugas dari Harya Wisaka. Kami mendapat kuasa untuk membawa Pangeran Benawa menghadap langsung Harya Wisaka itu.” “Jadi, kenapa Pangeran Benawa itu akan kau bunuh?” “Persetan.” Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mengenal Harya Wisaka dengan baik. Karena itu, maka biarlah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kalian sudah tidak diperlukan lagi. Demikian Pangeran Benawa dapat kami ketemukan, maka orang-orang upahan memang harus dimusnahkan semuanya. Hanya jika kalian dengan sukarela mengikuti kami dan menyerahkan diri kepada Harya Wisaka, maka kami tidak akan membunuhmu.” “Gila. Ternyata kalian tidak kalah sombongnya dengan anak muda ini. Karena itu, bersiaplah. Kalianlah yang akan mati lebih dahulu. Kami bertiga akan melawan kalian bertiga, seorang di antara kami akan menjaga anak muda yang gila ini.” Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kita harus mempergunakan kekerasan?” “Kalian adalah iblis-iblis yang harus dibinasakan.” Ki Marta Brewok segera memberi isyarat kepada Paksi dan Wijang untuk berpencar. Katanya, “Jika kalian melawan, aku tidak mempunyai pilihan lain.” Tiga orang di antara keempat orang itu pun telah bergerak. Yang tertua telah menunjuk seorang di antara mereka untuk menunggui Wicitra, “Jangan kau bunuh. Tunggu. Aku sendiri ingin membunuhnya dengan caraku.” Orang itu mengangguk. Sementara ketiga orang kawannya pun telah mempersiapkan diri menghadapi Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi. Demikian Paksi pun segera memutar tongkatnya, sementara senjata lawannya sudah mulai teracu pula. “Gila,” geram lawan Paksi. “Kau kira tongkat semacam itu akan dapat kau pergunakan sebagai senjata?” “Jangan menilai tongkatku,” sahut Paksi. “Sudah seribu kali aku mempergunakannya. Aku mengenal tongkatku ini seperti aku mengenali tangan dan kakiku sendiri. Karena itu, aku tahu seberapa jauh kemampuannya.” Lawan Paksi itu menggeram. Dengan garangnya ia memutar senjatanya. Kemudian senjata itu terjulur lurus menggapai ke arah dada. Paksi sengaja meloncat mundur. Ia belum membenturkan tongkatnya pada senjata lawannya itu. Orang-orang itu pun kemudian bertempur tanpa mengekang diri. Seperti saat mereka bertempur melawan pengawal Wicitra, maka mereka berusaha untuk secepatnya menyelesaikannya. Menurut penilaian mereka, anak-anak muda itu ilmunya tentu tidak akan menyamai orang yang bertubuh kekar dan berwajah garang, yang menjadi pengawal orang yang mengaku Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka lawan Paksi pun itu berharap bahwa dalam waktu dekat ia dapat menyelesaikannya. Tetapi ketika senjata mereka mulai berbenturan, maka orang itu pun segera menyadari, bahwa anak muda yang bersenjata tongkat itu memiliki ilmu yang cukup. Bahkan lawan Paksi itu menduga, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu. Ketika orang itu menghentakkan kemampuannya, maka Paksi memang agak terkejut dan berloncatan surut. Lawannya yang garang itu dengan kasar telah membentak, “Jangan menyesali diri. Kau akan mati dengan penuh penyesalan.” Orang itu pun benar-benar telah melibat Paksi dengan tanpa dikekang sama sekali. Paksi pun meyakini, bahwa orang-orang itu memang orang-orang yang tidak berjantung. Pembunuh-pembunuh upahan yang dapat menghunjamkan pedangnya di tubuh lawannya dengan tanpa berkedip sama sekali. Paksi pun meyakini bahwa orang itu benar-benar ingin membunuhnya sebagaimana mereka telah membunuh pengawal Wicitra itu. Namun dengan demikian, maka Paksi pun telah mendapatkan satu ketetapan, bahwa orang yang demikian itu tidak akan mungkin dapat berubah. Jika ia tetap hidup, maka orang itu tentu menimbulkan lagi kematian-kematian di hari-hari mendatang. “Pembunuhan-pembunuhan semacam itu harus dihentikan,” berkata Paksi di dalam hatinya. Sementara itu Wijang pun sudah mengambil keputusan pula. Orang yang bertempur melawannya itu juga benar-benar akan membunuhnya. Ia pun yakin, bahwa tanpa pertolongan, Wicitra dan keluarganya itu tentu benar-benar akan dibunuhnya. Karena itu, maka Wijang pun tidak mempunyai pilihan lain. Lawannya itu pun harus dihentikannya untuk selama-lamanya. Karena itu, baik Wijang mau pun Paksi tidak lagi merasa ragu-ragu. Mereka harus bertempur dengan segenap kemampuannya untuk membunuh lawannya. Tetapi orang-orang itu pun benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk melakukan pekerjaan mereka. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi, yang dapat mereka jual. Dengan modal kemampuan itu, mereka menjadi pembunuh upahan. Upah yang besar untuk pekerjaan yang ringan bagi mereka. Tetapi saat itu, mereka ternyata membentur seorang yang berilmu tinggi. Baik lawan Paksi mau pun lawan Wijang, tidak segera mampu mengatasi lawannya. Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian, mereka harus mengakui kenyataan, bahwa anak-anak muda itu berilmu tinggi. Ki Marta Brewok pun telah bertempur pula melawan orang tertua di antara keempat orang itu. Dengan tangkasnya Ki Marta Brewok menekan lawannya yang bersenjata pedang. Meskipun orang tertua itu juga seorang yang berilmu tinggi, tetapi berhadapan dengan Ki Marta Brewok, orang itu dengan cepat merasakan tekanan yang sangat berat. Sementara itu Ki Marta Brewok pun menilai keempat orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Ternyata usaha Harya Wisaka untuk mencari Pangeran Benawa tidak tanggung-tanggung. Harya Wisaka telah bekerja bersama para prajurit dan petugas sandi yang dapat dipengaruhinya, perguruan-perguruan dan orang-orang berilmu tinggi serta orang-orang upahan yang juga berilmu tinggi. Orang-orang upahan yang kepalanya hanya dibayangi oleh upah yang besar tanpa berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak pernah menilai arti kebenaran dari tugas-tugas yang mereka lakukan. Meskipun mereka tahu seseorang tidak bersalah sama sekali, tetapi jika ada orang lain yang mengupahnya untuk membunuh orang itu, maka pembunuhan itu dilakukannya juga. Pertempuran di halaman itu semakin lama menjadi semakin sengit. Lawan Ki Marta Brewok semakin lama semakin terdesak karenanya. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kemampuan orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Ketika terdengar orang itu bersiut nyaring, maka Ki Marta Brewok pun menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak mengerti arti isyarat itu. Namun Ki Marta Brewok memang menduga, bahwa akan segera terjadi perubahan di arena pertempuran. Sebenarnyalah seorang yang mengawasi Wicitra yang sudah kehilangan kejantanannya itu beringsut sambil mengancam Wicitra, “Jangan pergi kemana pun juga. Jika kau meninggalkan halaman ini, maka aku akan memotong kedua tangan dan kakimu serta lidahmu. Kemudian kau akan kami tinggalkan begitu saja.” Wicitra benar-benar menjadi ketakutan. Ibunya hampir pingsan membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu, sementara ayahnya masih saja berdiri termangu-mangu. Namun ayah Wicitra itu sempat menyaksikan pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu. Ternyata orang yang wajahnya nampak gelap oleh jambang, kumis dan janggutnya serta kedua orang anak muda itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Keempat orang yang sangat garang itu ternyata tidak dapat segera mengalahkan lawan-lawan mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap Wicitra serta pengawalnya yang garang itu. Dalam waktu yang dekat, pengawal Wicitra itu telah kehilangan kesempatan untuk melindungi dirinya. Sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, orang yang nampaknya garang dan tidak terkalahkan itu telah terbunuh. Namun dua orang yang kemudian bertempur melawan Ki Marta Brewok itu tidak dapat mengulangi keberhasilan mereka. Mereka tidak dapat segera menguasai dan apalagi membunuhnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu, ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari orang yang garang yang menjadi pengawal anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu. Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Paksi pun harus meningkatkan kemampuannya pula. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat jantung orang itu berdebaran. Tongkat kayu itu ternyata benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi anak muda itu. “Gila,” geram orang itu. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa orang-orang yang mereka temui di kedai kecil itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Dengan tongkatnya yang berputaran, Paksi mulai mendesak lawannya. Sementara itu Wijang pun telah membuat lawannya menjadi gelisah. Sepasang pisau belatinya yang digenggam di kedua tangannya berputaran dengan cepat. Bahkan bagi lawannya sepasang pisau itu seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang yang menyerangnya dari segala arah. “Iblis manakah yang telah mengajarinya bermain pisau seperti itu,” geram lawan Wijang itu. Ayah Wicitra menyaksikan pertempuran itu dengan mulut yang ternganga. Ia bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi ia dapat melihat, betapa ketiga orang yang datang kemudian itu dengan tangkasnya bertempur melawan keempat orang yang hampir saja membunuhnya, membunuh istrinya dan membunuh anaknya. Wicitra yang ketakutan itu mulai memperhatikan pertempuran yang terjadi. Ia mulai melihat betapa kedua orang anak muda itu bertempur dengan tangkasnya. Kesadaran Wicitra yang mulai tumbuh menguasai gejolak perasaannya itu membuatnya menyadari apa yang telah dilakukannya. Empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Kemampuannya sama sekali tidak berarti menghadapi dua orang di antara mereka, sedangkan pengawalnya yang dibanggakan itu dengan cepat telah terbunuh. Tetapi orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu, sama sekali tidak nampak mengalami kesulitan melawan dua orang di antara empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. “Siapakah sebenarnya mereka bertiga?” pertanyaan itu mulai tumbuh di hati Wicitra. Wicitra sama sekali tidak menghiraukan mereka ketika ia melihat ketiga orang itu berada di kedai. Bahkan ia telah mengusir ketiga orang itu ketika ketiga orang itu berusaha meyakinkannya, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berbahaya. Wicitra itu tidak mau mendengarkan ketika ketiga orang itu datang dan minta kepadanya untuk meninggalkan rumahnya satu atau dua hari. Dengan sombong Wicitra itu bahkan berniat mengaku dirinya Pangeran Benawa. Wicitra itu pun menjadi sangat malu kepada dirinya sendiri. Apalagi ketika kemudian ia berjongkok sambil menangis untuk minta dikasihani. Sementara itu, Paksi masih bertempur dengan cepat bahkan keras. Lawannya semakin lama menjadi semakin kasar. Namun Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan tongkatnya telah membuat lawannya menjadi kebingungan. Meskipun lawan Paksi telah menghentakkan kemampuannya, tetapi ujung senjatanya sama sekali tidak mampu menggapainya. Setiap kali terjadi benturan, maka tangan lawan Paksi itu terasa pedih. Anak muda itu ternyata mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar. Bahkan semakin lama ujung tongkat Paksi pun menjadi semakin membingungkannya. Sehingga akhirnya ujung tongkat Paksi itu mampu menembus pertahanannya. Lawan Paksi itu berteriak nyaring ketika ujung tongkat Paksi mendorong pundaknya sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Bagi lawan Paksi, sentuhan ujung tongkat anak muda itu telah membuatnya menjadi sangat marah. Anak itu masih terlalu muda untuk mampu mengimbangi ilmunya. Namun anak muda itulah yang lebih dahulu mampu menembus pertahanannya, mengenai pundaknya sehingga pundaknya merasa sangat sakit. Tetapi apa pun yang kemudian dilakukan, anak muda bersenjata tongkat itu memang berilmu sangat tinggi. Bahkan ketika lawan Paksi itu berusaha menyerang anak muda itu dengan pedang terjulur mengenai dada, ternyata ujung pedang itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan anak muda itu menghindar dengan memiringkan tubuhnya dan sempat mengayunkan tongkatnya, menghantam lambung. Demikian keras ayunan tongkat Paksi, sehingga orang itu terpelanting selangkah ke samping. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah terbanting jatuh. Meskipun demikian, setelah berguling beberapa kali, maka ia pun dengan cepat melenting berdiri. Paksi tidak memburunya. Seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada lawannya mempersiapkan diri untuk menghadapinya lagi. Sambil menyeringai orang itu berdiri sambil menggenggam senjatanya erat-erat. Dipandanginya Paksi dengan mata yang bagaikan menyala. “Anak demit,” orang itu menggeram, “kau akan menyesal dengan kesombonganmu itu.” Paksi berdiri tegak sambil menggenggam tongkatnya. Katanya, “Bersiaplah.” “Aku akan membunuhmu.” “Kita akan bertempur sampai tuntas.” Orang itu menggertakkan giginya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Sementara itu, Wijang pun telah mendesak lawannya. Orang itu pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi lawannya yang terhitung masih muda itu sulit untuk diimbanginya. “Lakukan apa yang dapat kau lakukan,” berkata Wijang. “Persetan,” geram lawannya. “Aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya jika kau harus bertempur melawan Pangeran Benawa. Maksudku, jika Pangeran Benawa mulai bersungguh-sungguh. Jika ia merengek dan minta ampun, itu semata-mata ia ingin menjajagi, apakah di otakmu masih ada sisa-sisa akal sehatmu.” “Diam,” teriak lawan Wijang. Tetapi Wijang berkata terus, “Sebenarnyalah Pangeran Benawa itu ingin tahu, apakah kau masih tetap berjantung manusia atau jantungmu sudah berbulu serigala sehingga kau tidak mau mendengarkan permintaan ampun seseorang.” “Cukup,” orang itu berteriak pula. “Aku koyak mulutmu.” “Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya Wijang. Kemarahan orang itu sudah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya ia meloncat sambil mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher Wijang. Tetapi dengan tangkas Wijang mengelakkan serangan itu. Bahkan Wijang pun kemudian melenting dengan cepatnya. Ayunan pisau belatinya kemudian justru telah menyambar bahu lawannya. Lawannya meloncat mundur sambil mengumpat-umpat Dengan telapak tangannya ia meraba pundaknya. Cairan yang hangat mengalir dari luka di bahunya itu. Wijang bergerak maju selangkah demi selangkah. Sepasang pisau belatinya bergetar di kedua tangannya. Kemarahan lawannya bagaikan membakar jantungnya. Dengan geram orang itu berkata, “Kau akan menyesali tingkah lakumu.” “Kita sudah memasuki satu sikap akhir, Ki Sanak. Tidak ada yang akan menyesal. Kau tidak, aku juga tidak, apa pun yang akan terjadi. Pertempuran ini hanya akan berakhir setelah aku atau kau mati di arena ini.” Lawan Wijang yang marah itu membentak dengan garangnya, “Aku akan membantaimu sampai lumat.” “Hukuman bagi mereka yang berniat membunuh Pangeran Benawa adalah hukuman mati, karena seandainya Pangeran Benawa sendiri yang melakukannya, akibatnya akan sama saja bagimu.” “Tutup mulutmu, tikus kecil.” Wijang justru tertawa. Katanya, “Aku merasakan getar kecemasan di dalam kata-katamu.” “Persetan kau.” Dengan garangnya orang itu pun segera meloncat menyerang Wijang. Tetapi Wijang sudah siap menghadapinya. Karena itu ketika orang itu meloncat sambil menjulurkan senjatanya. Namun Wijang sempat mengelak. Sambil merendah pisaunya telah terayun menyambar lengan lawannya. Lengan itu pun telah berdarah pula. Setiap titik darah membuat kemarahan orang itu semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi setiap titik darah yang menetes dari lukanya telah menyusut tenaga dan kekuatannya. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh orang itu. Tangan dan kaki Wijang terlalu cepat untuk diimbanginya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berusaha menangkap Pangeran Benawa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuannya. Ki Marta Brewok yang menghadapi dua orang lawan telah membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Orang yang berjambang lebat itu mampu bergerak demikian cepatnya. Kedua orang lawannya tidak tahu, senjata apa yang dipergunakannya, tetapi sentuhan tangannya mampu melukai kulit mereka. Seakan-akan hanya dengan telapak tangannya, orang itu dapat menangkis ayunan senjata lawan-lawannya. Namun keduanya yakin, ada semacam lapisan baja yang dikenakan oleh orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu pada telapak tangannya serta ujung-ujung yang runcing pada jari-jarinya. Kedua orang lawan Ki Marta Brewok memang menjadi bingung. Setelah dengan demikian cepat dan mudahnya mereka membunuh pengawal yang mengaku Pangeran Benawa itu, meskipun ujud pengawal itu demikian garangnya, mereka kemudian menghadapi lawan yang seakan-akan dilindungi oleh oleh dinding baja di seputarnya. Kedua orang itu sama sekali tidak pernah berhasil menyentuh kulit lawannya itu. Jika senjata mereka terjulur lurus atau terayun mendatar, maka senjata mereka itu seakan-akan telah membentur sekat yang tidak tertembus. Tetapi sebaliknya, jari-jari tangan orang itu beberapa kali berhasil menyentuh tubuhnya. Sedangkan setiap sentuhan, meninggalkan luka yang menganga. Keseimbangan pertempuran segera menjadi jelas. Lawan Paksi dan Wijang sudah terdesak semakin jauh. Sementara itu, lawan Ki Marta Brewok pun menjadi semakin tidak berarti. Betapapun mereka berusaha dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan, namun perlawanan mereka sudah tidak berarti apa-apa lagi. Keempat orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan. Wicitra dan kedua orang tuanya telah bergeser menepi. Ia dapat melihat apa yang bakal terjadi. Ia melihat keempat orang yang hampir saja membunuhnya itu sudah tidak berdaya. Kegirangan terasa melonjak di dadanya. Ia merasa terlepas dari bahaya maut yang hampir saja mencekiknya. Namun yang kemudian dipertanyakan, bagaimana sikap ketiga orang itu. Wicitra telah menghinakannya. Telah mengusirnya dan sama sekali tidak menghargai kata-katanya. Tetapi menilik sikap mereka, agaknya mereka tidak akan sebengis keempat orang yang hampir saja membantainya itu. Dengan kerut di dahi, Wicitra melihat bagaimana Ki Marta Brewok dengan tangkasnya bertempur. Wicitra menjadi semakin malu kepada diri sendiri. Ia merasa seakan-akan dirinya telah menguasai semua ilmu di muka bumi sehingga ia telah menjadi orang yang tidak terkalahkan. Namun sekarang ia melihat kenyataan, betapa kecilnya di hadapan orang-orang berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi yang rendah hati. Meskipun Wicitra sudah dapat menduga, akhir dari pertempuran itu, namun ia pun terkejut juga ketika seorang lawan Ki Marta Brewok itu berteriak nyaring. Tubuhnya terlempar dari arena dengan darah yang mengalir dari luka-lukanya. Sejenak kemudian orang-orang itu pun telah terbanting jatuh. Menggeliat, namun kemudian tidak bergerak sama sekali. Belum lagi ketegangan di jantungnya mengendor, maka Wicitra itu pun melihat bagaimana lawan yang seorang lagi telah terlempar pula dengan kerasnya. Kepalanya membentur sebatang pohon yang cukup besar. Benturan yang keras sekali, sehingga seorang itu pun kemudian terjatuh dengan tubuh yang lunglai. Nafasnya menjadi sendat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Wicitra berdiri termangu-mangu. Dengan demikian, maka akhir dari kedua orang lawan anak-anak muda itu pun menjadi semakin jelas pula. Lawan Wijang yang menjadi putus asa telah menyerangnya sejadi-jadinya. Namun ketika pisau belati Wijang bergerak menyilang, maka ujung pisau itu pun telah menggores dadanya. Cukup dalam, sehingga orang itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian satu loncatan panjang telah mengakhiri pertempuran itu. Ujung pisau belati Wijang yang lain kemudian telah terhujam di dada orang itu. Sementara itu, hampir bersamaan waktunya, Paksi pun telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika lawannya berusaha menusuk lambungnya, Paksi sempat mengelak. Bahkan kemudian tongkatnya pun telah terayun tepat mengenai tengkuk lawannya yang kehilangan sasaran itu. Sejenak kemudian halaman itu menjadi sepi. Paksi berdiri dengan kaki renggang mengamati lawannya yang sudah tidak bernyawa. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Di sebelah yang lain, dua sosok tubuh pun terbaring diam. Di halaman rumah Wicitra itu terdapat lima sosok mayat dengan luka-luka di tubuh mereka. Ki Marta Brewok lah yang kemudian melangkah mendekati Wicitra sambil berkata, “Nah, sekarang kau baru percaya, bahwa orang-orang itu sangat berbahaya bagimu.” Wicitra mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Ya, Ki Sanak. Aku percaya. Aku mohon ampun atas sikapku terhadap Ki Sanak.” Sementara itu, ayah Wicitra itu pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ki Sanak telah menyelamatkan nyawa anakku.” “Satu pelajaran yang sangat berharga bagi anakmu.” “Kau harus bersyukur kepada Yang Maha Agung, Wicitra. Kau pun harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ki Sanak bertiga ini.” Sekali lagi Wicitra mengangguk hormat sekali. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Sanak. Yang Maha Agung sajalah yang dapat membalas kebaikan budi Ki Sanak bertiga.” “Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok, “setelah terjadi peristiwa ini, apa yang akan kau lakukan?” Wicitra termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku akan melakukan sebagaimana Ki Sanak katakan. Aku akan meninggalkan tempat ini.” “Bagaimana dengan rencanamu menjual tanah dan rumah ini serta mengusir ayah dan ibumu?” Wicitra terkejut mendengar pertanyaan itu. Untuk beberapa saat ia justru terbungkam. Ternyata Ki Marta Brewok tidak memaksanya untuk menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada ayah Wicitra, “Bagaimana dengan lima sosok mayat itu? Apakah kita dapat minta tolong orang-orang padukuhan ini untuk menguburnya?” “Mereka takut keluar rumah, Ki Sanak. Apalagi setelah terjadi peristiwa ini.” “Kau panggil mereka dan katakan bahwa keadaan sudah aman. Tidak ada lagi orang-orang yang mencari Pangeran Benawa. Justru mereka akan diminta tolong untuk menguburkan mereka.” Ayah Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku akan mencobanya.” Ternyata ayah Wicitra itu berhasil meyakinkan tetangga-tetangganya, bahwa bahaya yang mereka takuti untuk sementara telah tidak ada lagi, sehingga beberapa orang telah keluar dari rumahnya dan pergi ke halaman rumah Wicitra. Mereka memang agak ketakutan ketika mereka melihat Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang berpakaian kusut. Tetapi ayah Wicitra memberitahukan kepada mereka, bahwa ketiga orang itulah yang telah membinasakan orang-orang garang yang mencari Pangeran Benawa itu. “Kami adalah para pengikut Harya Wisaka,” berkata Ki Marta Brewok kepada orang-orang yang berkerumun. “Kami sebenarnya juga mencari Pangeran Benawa sebagaimana keempat orang itu. Tetapi kami tahu, bahwa kami tidak dapat melibatkan kalian begitu saja dalam pencaharian ini. Karena itu, maka kami pun tidak akan pernah mengganggu kalian. Apa pun yang aku lakukan terhadap kalian, kalian tentu tidak akan dapat membantu kami.” “Terima kasih, Ki Sanak,” sahut seorang yang rambut dan kumisnya sudah memutih. Di sisa hari itu, orang-orang padukuhan itu disibukkan oleh lima sosok mayat yang harus mereka kuburkan. Namun mereka merasa tenang, bahwa di padukuhan itu terdapat tiga orang berilmu tinggi yang dapat melindungi mereka dari kemungkinan buruk. Hari itu, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang bermalam di rumah Wicitra. Ketika orang-orang yang sibuk menguburkan lima sosok mayat itu sudah pulang ke rumah masing-masing, sementara malam mulai turun, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah mandi pula, maka mereka pun duduk di pendapa rumah Wicitra bersama dengan Wicitra dan kedua orang tuanya. Setelah minum seteguk wedang jahe, maka Ki Marta Brewok pun mengulangi pertanyaannya, “Wicitra, aku masih ingin mendengar jawabmu, setelah peristiwa ini, apakah yang akan kau lakukan? Apakah sekedar meninggalkan tempat ini, atau kau mempunyai rencana yang lain?” “Aku belum memikirkannya, Ki Sanak, kecuali pergi meninggalkan tempat ini?” “Dalam keadaan yang gawat, apakah kau sadari, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibumu, yang sedianya akan kau usir dari rumah ini?” Wajah Wicitra menjadi tegang. Dipandanginya Ki Marta Brewok dengan tajamnya. Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncang jantungnya. Ia berusaha mengingat, apa yang akan dilakukan. Menjual tanah dan rumah itu. Mengusir ayah dan ibunya. Namun Wicitra itu pun kemudian sempat membayangkan, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibunya saat ia berada di dalam keadaan yang paling gawat. Meskipun ayah dan ibunya itu tahu, bahwa ia akan mengusirnya serta menjual tanah dan rumahnya, namun kedua orang tuanya itu masih berusaha melindunginya. Seperti seorang ibu yang memeluk anaknya erat-erat saat terjadi gempa, maka ibunya telah memeluknya saat nyawanya terancam. Bahkan ayah dan ibunya itu telah menyatakan kesediaannya untuk mati jika itu dapat menyelamatkan nyawanya. Sejenak Wicitra termangu-mangu. Di luar sadarnya dipandanginya ayah dan ibunya yang sudah tua itu. Rasa-rasanya di penglihatannya ayah dan ibunya menjadi lain. Ayah dan ibunya kelihatan begitu tua namun wajahnya yang cerah itu bagaikan bercahaya. Tiba-tiba Wicitra itu membayangkan apa yang terjadi dengan ayah dan ibunya itu jika keduanya terusir dari rumahnya. Apa yang terjadi pada keduanya jika keduanya harus hidup menumpang di rumah pamannya, sementara itu, sebelumnya ia mempunyai tanah, rumah, sawah dan ladang. Terasa jantung Wicitra bergetar. Orang tua yang diusirnya itu ternyata masih juga bersedia mati untuknya. Tiba-tiba saja Wicitra itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terdengar anak muda itu pun menangis terisak-isak seperti kanak-kanak yang menahan tangisnya karena takut dicambuk ayahnya. “Wicitra, kenapa?” Ibunya pun beringsut mendekatinya. “Bukankah segala sesuatunya sudah lampau. Bahaya yang hampir saja merenggut nyawa itu sudah lewat.” Wicitra mengangguk-angguk. Tetapi isaknya masih saja mengguncang tubuhnya. “Kenapa kau Wicitra. Kenapa kau, Ngger.” Tiba-tiba saja Wicitra itu memeluk ibunya. Tangisnya tidak lagi tertahan. Ia tidak saja terisak. Tetapi Wicitra itu benar-benar menangis. “Ibu, maafkan aku. Ayah,” tangisnya. “Kenapa, kau kenapa?” Ibunya yang cemas telah mengguncang-guncang tubuhnya. “Ayah, Ibu. Aku mohon maaf. Hampir saja aku telah menyia-nyiakan Ayah dan Ibu. Aku telah menjadi anak durhaka. Hampir saja aku mengusir Ayah dan Ibu dari rumah ini.” “Sudahlah, Wicitra. Bukankah semua itu belum terjadi?” “Tetapi semuanya itu akan terjadi seandainya tidak terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan aku pun tidak memikirkannya, jika Ki Sanak itu tidak bertanya kepadaku. Ayah, Ibu, aku mohon maaf. Aku telah khilaf. Aku pun harus minta maaf kepada banyak orang karena kesombonganku selama ini, seolah-olah aku adalah orang yang terpenting di dunia ini. Seolah-olah putaran kehidupan ini berporos padaku.” “Aku bersyukur, Wicitra,” desis ayahnya. “Ternyata peristiwa ini ada juga nilainya bagimu. Nilai yang baik. Kau juga harus minta maaf seribu kali kepada ketiga orang yang telah menyelamatkanmu. Kau telah berbuat kasar kepada mereka, namun justru merekalah yang telah membangunkanmu dari mimpi burukmu.” Wicitra mengangguk-angguk. Tangisnya sudah mereda. Ketika ia sudah dapat mengucapkan permohonan maaf kepada ayah dan ibunya, maka rasa-rasanya bebannya sudah jauh berkurang. Kepada Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang, Wicitra itu pun berkata, “Ki Sanak bertiga. Aku benar-benar menyesal atas sikapku. Bukan saja terhadap kalian bertiga, tetapi juga terhadap semua orang. Selama ini aku telah terbius oleh keberhasilanku. Ketika aku pulang ke padukuhan ini, aku merasa bahwa disini aku adalah orang yang paling penting. Orang yang paling berarti, sehingga aku tidak lagi mampu mengekang perasaanku.” “Kau masih mempunyai banyak waktu untuk meluruskan jalanmu, anak muda.” Wicitra mengangguk-angguk. “Tetapi kau harus setia kepada pengakuanmu ini, Wicitra. Maksudku, kau tidak akan pernah mengulanginya lagi. Juga sikapmu terhadap lingkunganmu, terutama kepada ayah dan ibumu. Mereka adalah sosok yang menjadi lantaran kelahiranmu. Karena itu, kau tidak dapat memisahkan diri dari kehadiran mereka.” “Aku akan selalu mengingatnya, Ki Sanak. Aku akan selalu mengingat apa yang terjadi. Aku tidak akan lagi mengganggu ayah dan ibu tentang tanah, rumah, sawah dan pategalan.” “Mudah-mudahan kau selalu mengingatnya,” desis Ki Marta Brewok. Pembicaraan mereka terputus ketika satu dua orang tetangga datang untuk sekedar ikut berbincang di pendapa. Mereka membicarakan ketakutan yang melanda padukuhan itu sejak keempat orang itu mencari Pangeran Benawa di padukuhan mereka. Bahkan orang itu sudah mengancam untuk membawa sepuluh orang penghuni padukuhan itu apabila mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Kepada orang-orang itu Ki Marta Brewok selalu mengatakan bahwa ia dan kedua orang anak muda yang datang bersamanya itu adalah para pengikut Harya Wisaka. Dengan demikian, maka ceritera yang berkembang di padukuhan itu kemudian adalah, bahwa dua kelompok pengikut Harya Wisaka telah saling berbenturan. Empat orang di antaranya telah terbunuh. Beberapa orang yang datang ke rumah orang tua Wicitra itu berbincang sampai lewat tengah malam. Ibu Wicitra menjadi sibuk menyediakan minuman dan bahkan makan menjelang tengah malam. Baru menjelang dini, tetangga-tetangga dekat orang tua Wicitra itu minta diri. Pagi-pagi sekali, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah bangun. Mereka segera pergi ke pakiwan dan berbenah diri. Sebelum fajar mereka telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka. “Kemana?” bertanya ayah Wicitra. “Kami tidak dapat mengatakannya, karena kami akan pergi ke tempat yang kami sendiri tidak tahu,” jawab Ki Marta Brewok. “Mencari Pangeran Benawa?” bertanya Wicitra. “Ya. Kami memang harus mencari Pangeran Benawa. Bedanya dengan keempat orang itu, kami telah mengenal Pangeran Benawa sehingga tidak akan dapat dikelabuhi lagi.” “Jadi kalian sudah mengenal Pangeran Benawa?” “Aku adalah abdi di istana Pajang,” jawab Ki Marta Brewok. “Karena itu, aku dapat mengenal Pangeran Benawa dengan baik.” Wicitra mengangguk-angguk. Ia merasa dirinya semakin kecil. Tetapi untunglah bahwa ketiga orang itu mempunyai sifat dan watak yang lain sekali dengan keempat orang yang telah terbunuh itu meskipun mereka mengemban tugas yang sama. Namun sebelum Ki Marta Brewok meninggalkan rumah Wicitra ia masih juga bertanya, “Apakah kau akan segera meninggalkan rumah ini?” “Ya,” Wicitra mengangguk-angguk, “hari ini juga aku akan meninggalkan rumah ini. Siapa tahu masih ada kelompok-kelompok lain yang mencari Pangeran Benawa. Seandainya mereka tidak menyangka aku Pangeran Benawa, mereka mungkin saja memaksa aku untuk menemukannya, sementara Pangeran Benawa tidak ada disini.” Demikianlah, maka Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah minta diri kepada seisi rumah itu. Kepada ayah dan ibu Wicitra dan kepada Wicitra yang pada hari itu juga akan meninggalkan rumahnya. Namun Wicitra telah berubah karenanya. Wicitra tidak lagi akan memaksa ayah dan ibunya menjual tanah, rumah, sawah dan pategalannya. Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah berada di sebuah bulak yang panjang. Embun masih nampak menggantung di ujung dedaunan yang basah. Namun langit nampak cerah. Tidak ada selembar awan pun yang nampak di wajah langit. Dalam pada itu, burung-burung liar pun telah terbangun pula di sarangnya. Kicaunya membuat pagi menjadi semakin semarak. Sementara langit menjadi merah oleh cahaya matahari yang mulai menguak cakrawala. Ketiga orang yang berjalan di dinginnya pagi itu tidak banyak berbicara. Paksi yang berjalan di paling depan, sekali-sekali menghentakkan tongkatnya di tanah yang masih basah. Di ujung rerumputan, butir-butir embun masih nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Paksi memang tidak banyak berbicara. Ia bahkan mulai memikirkan dirinya sendiri. Paksi itu telah melihat, bagaimana seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya sehingga siap untuk menyerahkan nyawanya. “Apakah ayahku juga dapat berbuat seperti itu?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tersembul di hatinya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya agaknya memang agak lain dari ayah Wicitra. “Apakah ayah juga bersedia menyerahkan nyawanya bagiku?” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya justru telah memerintahkannya untuk melakukan satu pekerjaan yang tidak masuk akal. Pada umurnya yang ketujuh-belas, ayahnya telah memerintahkannya memasuki satu dunia yang sangat garang tanpa bekal yang memadai. “Jika saja aku tidak bertemu dengan beberapa orang yang baik hati,” berkata Paksi di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak bertemu dengan guru. Tidak bertemu dengan Pangeran Benawa sendiri. Tetapi langsung bertemu dengan keempat orang yang mencari Pangeran Benawa dan diperlakukan seperti Wicitra, maka ayahku tidak akan berusaha melindungi aku sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Bahkan ayah tentu akan menganggap aku seorang yang sudah sepantasnya mati karena hidupku sama sekali tidak berarti bagi seorang ayah.” Terngiang kata-kata yang menusuk hatinya, bahwa ayah Paksi itu tidak menghendaki Paksi pulang tanpa membawa cincin yang dicarinya itu. “Apakah ayah menganggap cincin itu lebih berharga dari anaknya?” pertanyaan itu timbul pula di hati Paksi. Namun Paksi sama sekali tidak tahu jawabnya. “Justru karena itu aku harus pulang,” berkata Paksi di dalam hatinya. Ki Marta Brewok yang berjalan di belakang Paksi juga tidak banyak berbicara. Sementara itu Wijang berjalan di paling belakang. Diamatinya lingkungannya yang hijau. Sawah, padukuhan-padukuhan, namun juga hutan yang lebat di kaki gunung. Ketika Paksi berpaling, maka dilihatnya Ki Marta Brewok berjalan beberapa langkah di belakangnya. Baru beberapa langkah lagi Wijang berjalan sambil menebarkan pandangan matanya. “Marilah. Mumpung masih pagi,” ajak Paksi. Ki Marta Brewok mempercepat langkahnya. Tetapi Wijang menyahut, “Kenapa tergesa-gesa.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Paksi yang kemudian berjalan di sebelah Ki Marta Brewok itu ternyata tidak dapat menahan desakan perasaannya. Bagi Ki Marta Brewok bukan saja kawan seperjalanan. Tetapi ia adalah gurunya yang telah membentuknya menjadi seorang yang berilmu tinggi. “Guru,” berkata Paksi kemudian, “aku menjadi sangat gelisah.” “Kenapa?” “Seakan-akan aku tidak sedang berjalan pulang.” “Apa yang kau pikirkan?” “Apakah ayahku juga bersedia berkorban seperti ayah Wicitra itu, Guru?” Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Tentu, Paksi. Seorang ayah tentu akan selalu melindungi anak-anaknya sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Tentang berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan dan kemampuan. Tetapi naluri seorang ayah tentu akan berbuat yang terbaik bagi anaknya.” “Bagaimana pendapat Guru tentang ayahku yang telah memerintahkan kepadaku untuk mencari cincin itu?” LaguAyah dari Seventeen ini membuat hati haru sekaligus membuat hatiku yang sedang rindu pada ayah semakin rindu. Iyalah bocorannya nih admin jejak maya sedang rindu berat dengan sosok lelaki hebat dalam hidup ini, dia adalah ayah. Semoga ayahanda bahagia di alam sana aamiin ya Robbal'allamiin.. Sangat banyak lagu-lagu yang sengaja diciptakan oleh pengarang atau pencipta lagu khusus buat para

“Ya, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dalam ujudnya sebagai seorang ayah dan ibu yang baik.” “Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga gila.” Terdengar suara tertawa seorang perempuan. Namun kemudian orang yang tertawa itu bertanya, “Nah, apakah kau yakin bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak pergi ke Panjatan.” “Aku yakin.” “Jadi mereka akan pergi ke mana?” “Darimana aku tahu. Kita tidak terikat untuk menemukan mereka. Bukankah kita mencari Pangeran Benawa? Kita hanya menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Kita pergi ke Panjatan. Kita cari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Jika keduanya tidak ada disana, kita akan memaksa orang-orangnya untuk menunjukkan di mana mereka menyimpan Pangeran Benawa.” “Jangan tergesa-gesa. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kita tidak membuka permusuhan. Kecuali dalam keadaan terpaksa.” “Jadi apa yang harus kita lakukan?” “Jangan memaksa diri untuk menemukan jawabnya sekarang juga. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk berpikir.” “Lalu kita kemana?” “Ke Panjatan.” Kemudian mereka terdiam. Langkah mereka sudah menjadi semakin jauh. Ketika kemudian Paksi dan Wijang menjengukkan kepala mereka, mereka tinggal melihat punggungnya saja. Dua orang perempuan dengan mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan justru pada saat-saat mereka pergi mengunjungi sebuah perhelatan. Namun, meskipun dari belakang, keduanya langsung dapat menerka, bahwa keduanya adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Dua orang perempuan yang cantik namun yang sekaligus garang seperti serigala betina. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kemarin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengenakan pakaian rapi sebagaimana seorang suami isteri dari keluarga yang baik, maka sekarang Melaya Werdi dan Megar Permati juga mengenakan pakaian sebagaimana perempuan yang akan pergi ke perhelatan.” “Suasananya berubah,” berkata Paksi. “Mereka nampaknya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan lingkungan ini. Mereka tidak lagi mencari cincin itu disini. Tetapi mereka akan mencari Pangeran Benawa yang dapat berkeliaran sampai kemana-mana.” “Satu permulaan dari sebuah malapetaka,” desis Wijang “Sebuah tantangan.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka akan pergi ke Panjatan. Jika kau memperhitungkan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak kembali ke Panjatan, maka kedua perempuan iblis itu akan dapat menghancurkan padukuhan itu untuk mencari Pangeran Benawa.” “Bukankah mereka tidak ingin membuka permusuhan?” desis Paksi. “Masih ada kecualinya. Kecuali jika tidak dalam keadaan terpaksa.” “Tetapi aku kira, dua orang itu tidak akan melakukan kekerasan. Bukankah di Panjatan banyak sekali pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku kira Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati tidak sedang mabuk sehingga mereka akan membuka benturan kekerasan. Menilik cara mereka berpakaian, mereka memang tidak sedang mencari perkara.” Keduanya pun terdiam. Namun kemudian Wijang berkata, “Marilah kita lihat orang-orang yang terpelanting itu.” Paksi dan Wijang pun kemudian telah pergi ke kedai di ujung dari jajaran kedai di depan pasar. Mereka melihat dua orang yang nampak kesakitan duduk di dalam kedai. Beberapa orang masih berkerumun di luar kedai itu. “Sudahlah, pergilah,” teriak pemilik kedai itu. “Jika kedua perempuan itu kembali, maka kalian akan mengalami sebagaimana dialami oleh kedua orang ini.” Beberapa orang memang segera pergi. Paksi dan Wijang pun kemudian mencoba bertanya kepada mereka apa yang telah terjadi. “Salah mereka sendiri,” berkata seorang yang berkumis tipis. “Keduanya mencoba mengganggu kedua orang perempuan itu. Bahkan mereka mencoba untuk menyentuhnya.” “Lalu, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu?” bertanya Wijang. “Entahlah, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu. Yang aku lihat, keduanya telah terlempar dan terbanting jatuh. Nampaknya yang seorang agak parah. Mudah-mudahan punggungnya tidak patah.” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Wijang itu pun berdesis, “Terima kasih. Aku lebih baik pergi saja. Lebih baik untuk selamanya tidak bertemu dengan perempuan segarang itu.” Wijang pun kemudian telah mengajak Paksi meninggalkan tempat itu. Sementara masih ada satu dua orang yang berdiri di luar kedai itu. Di dalam kedai itu, dua orang masih saja nampak kesakitan duduk sambil menyeringai. “Kita kemana sekarang?” bertanya Paksi. “Rasa-rasanya aku juga ingin pergi ke Panjatan,” jawab Wijang. “Sekarang?” “Tentu tidak. Kita akan dapat bertemu dengan Nyi Melaya dan Nyi Megar Merpati. Sebaiknya kita masih harus menghindari benturan kekerasan dengan mereka. Juga dengan pemimpin-pemimpin perguruan yang lain.” “Jadi?” bertanya Paksi. “Nanti siang kita pergi ke Panjatan.” “Jadi kemana kita selama menunggu siang?” “Berkeliaran atau mencari tempat untuk berbaring sambil merenungi nasib.” Paksi menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa Wijang akan mengunjungi Panjatan, setelah Melaya Werdi dan Megar Permati meninggalkan padukuhan itu. Dengan demikian, maka keduanya pun telah pergi ke sebuah belik kecil di pinggir sebuah sungai. “Kita sempat mencuci pakaian.” Di tempat yang nampaknya memang sepi itu, keduanya menyempatkan diri untuk mencuci baju dan kain panjang mereka. Kemudian menjemurnya di atas sebuah batu besar. Sinar matahari yang panas telah menghisap air yang melekat pada pakaian itu sehingga dengan cepat menjadi kering. Baru lewat tengah hari keduanya bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Panjatan. Keduanya berharap bahwa Melaya Werdi dan Megar Merpati telah meninggalkan padukuhan itu. “Kita tidak akan membuat keributan, kecuali jika terpaksa. Mungkin kita bertemu dengan kedua perempuan itu, tetapi mungkin para pengikut Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Atau bahkan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sendiri yang ada di padukuhan itu,” berkata Wijang. Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Demikianlah, maka keduanya pun melangkah terus menuju ke Panjatan. Meskipun jantung mereka menjadi berdebar-debar, tetapi mereka berketetapan hati untuk pergi ke padukuhan itu. Debar di jantung mereka itu telah membuat mereka lebih banyak diam. Apalagi ketika mereka sudah melihat pintu gerbang padukuhan. Wijang memandang padukuhan itu dari ujung sampai ke ujung sambil berdesis, “Hati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam padukuhan itu. Mungkin Melaya Werdi dan Megar Permati. Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” Paksi mengangguk-angguk, dipeganginya tongkatnya erat-erat seakan-akan seorang akan merebut dari tangannya. Ketika mereka sampai ke pintu gerbang padukuhan, mereka berhenti sejenak untuk mengamati suasana. Tetapi rasa-rasanya suasana di padukuhan itu tetap tenang. Tidak terjadi pergolakan apa pun yang dapat menggoncang ketentraman padukuhan itu. Mereka masih mendengar suara orang menumbuk padi. Mereka masih mendengar teriak anak-anak yang sedang bermain meskipun matahari mulai melayang di belahan langit sebelah barat. Ampat orang anak tengah bermain benthik di tengah-tengah jalan padukuhan. Wijang dan Paksi memang merasa ragu. Namun kemudian mereka pun melangkah memasuki padukuhan itu. Anak-anak yang bermain benthik itu terhenti sejenak, mereka pun menepi, memberi jalan kepada Wijang dan Paksi. Demikian Wijang dan Paksi lewat, maka anak-anak itu segera mulai bermain lagi. Tidak ada kesan apa pun kepada keempat anak itu terhadap orang-orang yang dianggap asing di padukuhan itu Ketika mereka melangkah semakin dalam, maka mereka berpapasan dengan laki-laki muda yang membawa sekeranjang rumput di atas kepalanya. Tetapi laki-laki itu pun tidak menghiraukan Wijang dan Paksi yang termangu-mangu. “Apa sebenarnya yang ada di padukuhan itu?” desis Paksi. “Tanggapan orang-orang padukuhan ini terhadap orang yang mereka anggap asing telah berubah sama sekali,” sahut Wijang. “Ya. Mereka tidak segarang saat kita memasuki padukuhan ini untuk pertama kali.” “Apakah padukuhan ini memang berubah, atau kita yang berubah,” gumam Wijang kemudian. Paksi mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut. Sebenarnyalah ketika keduanya berjalan di sepanjang jalan padukuhan, maka orang-orang yang berpapasan sama sekali tidak menghiraukan mereka. Sama seperti padukuhan-padukuhan yang lain. Tidak ada kecurigaan. Tidak ada sikap permusuhan. “Aneh,” desis Paksi. Namun Wijang pun kemudian berdesis, “Aku dapat menduga sebabnya. Hanya menduga. Aku tidak tahu, apakah dugaanku ini benar atau salah.” “Apa?” bertanya Paksi. “Orang-orang padukuhan ini menjadi garang jika Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada disini. Tetapi jika keduanya pergi, maka sikap mereka pun kembali ke dalam kewajaran sikap dan kepribadian mereka masing-masing. Mungkin masih ada yang garang, tetapi pada umumnya mereka akan melepaskan segala kecurigaan karena mereka tidak sedang melindungi keselamatan dua orang yang mereka anggap sangat penting,” berkata Wijang dengan ragu. Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak ada di padukuhan ini sekarang.” Untuk beberapa lama keduanya berjalan di jalan di sepanjang jalan padukuhan. Mereka memang tidak merasakan suasana yang lain dari suasana di kebanyakan padukuhan. Dengan demikian mereka pun berkesimpulan bahwa kehadiran Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati di padukuhan itu juga tidak menimbulkan gejolak. Ketika keduanya bertemu dengan tiga orang remaja yang memanggul sebatang bambu, maka Wijang pun bertanya, “Adi, apakah kau melihat kedua orang bibiku yang tadi berkunjung kemari?” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak, sementara Wijang menjelaskan, “Bibiku merencanakan untuk mengunjungi padukuhan ini. Apakah kalian melihatnya?” “Dua orang perempuan dengan pakaian bagus,” bertanya salah seorang dari ketiga orang remaja itu. “Ya,” Paksi menyahut dengan serta-merta. “Aku melihat mereka tadi.” “Dimana?” “Nampaknya mereka telah pergi.” Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih.” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak. Sementara Wijang mengusap kepala salah seorang dari mereka sambil bertanya, “Untuk apa bambu itu?” “Kami sedang membuat egrang.” “O, hati-hati bermain egrang. Jika ujung jari kakimu terinjak, maka kukunya akan dapat terlepas.” “Ah, tidak pernah ada di antara kami yang menginjak kaki kawannya,” jawab seorang di antara mereka. Wijang tertawa. Katanya, “Mudah-mudahan memang tidak akan mudah terjadi.” Ketiga orang remaja itu termangu-mangu. Sementara Wijang pun berkata, “Kami minta diri. Kami sedang mencari bibi kami.” Ketiganya mengangguk kecil. Tetapi mereka tidak menjawab. Wijang dan Paksi pun kemudian meninggalkan padukuhan itu. Mereka berkesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang sedang tidak berada di padukuhan itu. “Sekarang, kita akan pergi kemana?” bertanya Paksi. “Bukankah kita tidak mempunyai tujuan? Kita berjalan saja ke selatan, menuruni kaki Gunung Merapi. Mungkin kita akan sempat melihat-lihat keadaan Alas Mentaok. Satu daerah yang luas yang dijanjikan akan diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan oleh ayahanda Sultan.” “Menarik sekali,” Paksi mengangguk-angguk. “Mendahului Ki Ageng Pemanahan, kita akan melihat-lihat isi dari Alas Mentaok. Pada suatu saat, Ki Gede Pemanahan dan barangkali juga Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, akan membuka hutan yang masih gelap itu.” “Satu kerja yang sangat berat,” desis Paksi. “Ki Penjawi mendapat bagian yang lebih baik,” desis Wijang. Paksi mengangguk-angguk, sementara Wijang berkata, “Pati sudah lebih dahulu menjadi ramai.” “Kapan kita melihat Pati?” bertanya Paksi. Wijang menarik nafas panjang. Katanya, “Aku tidak ingin pergi ke Pati. Ada beberapa orang Pajang yang ikut Ki Penjawi ke Pati. Ada di antara mereka yang akan dengan mudah mengenali aku, meskipun orang-orang itu tidak berniat buruk, tetapi aku akan kehilangan sesuatu dengan pengenalan itu.” “Seperti Ki Rangga Suraniti yang akan dengan mudah mengenalmu?” “Ya. Untunglah bahwa aku tidak dengan sengaja menemuinya. Ternyata ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus pada Ki Rangga Suraniti. Salah seorang prajurit pilihan yang mendapat banyak kepercayaan itu.” “Wijang,” berkata Paksi dengan tiba-tiba, “apakah kita dapat menemui panglima pasukan Pajang di Jati Anom dan memberikan keterangan tentang Ki Rangga Suraniti?” “Mereka tidak akan dengan mudah mempercayai kita. Sementara itu, aku tidak akan dapat melanjutkan pengembaraan ini. Aku akan ditangkap dan dikembalikan ke istana.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah pernah kau pergi ke Kembang Arum?” Wijang termangu-mangu sejenak. Ia pernah mendengar ceritera Paksi tentang seorang gadis, yang menjadi anak angkat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Dengan nada rendah Wijang itu bertanya, “Apakah kau berniat untuk menemui gadis itu sekaligus menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” Paksi tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku tidak ingin menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Ada kemungkinan bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah pergi ke Kembang Arum untuk menemui anak gadisnya itu?” Wijang mengerutkan dahinya. Ia mengingat-ingat ceritera Paksi tentang gadis yang pernah ditolongnya itu. Dengan ragu ia bertanya, “Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tahu bahwa anak gadisnya telah berada di Kembang Arum bersama pemomongnya yang sebenarnya adalah ibunya sendiri itu?” Paksi pun mengingat-ingat pula. Katanya, “Mungkin Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum mengetahuinya. Gadis itu meninggalkan rumahnya setelah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pergi.” “Apakah kau akan mencoba melihatnya? Jika keduanya ada di Kembang Arum, niat kita akan kita batalkan.” “Bagaimana caranya kita dapat mengetahui bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ada di Kembang Arum atau tidak?” “Jika perlu kita akan mengintai rumah gadis itu sehari semalam. Jika keduanya ada di rumah itu, maka mereka atau salah seorang dari mereka tentu akan pernah keluar dan turun ke halaman selama satu hari satu malam itu.” Paksi tertawa. Namun sebenarnya ia memang ingin pergi ke Kembang Arum. Menurut perhitungannya, maka Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan pulang dahulu ke rumahnya. Baru ketika ia mengetahui bahwa anaknya tidak ada, maka ia akan mencarinya. Mungkin ke Kembang Arum. “Nah, kita ambil saja keputusan. Kita pergi ke Kembang Arum,” berkata Wijang kemudian. “Baiklah,” sahut Paksi kemudian, “aku menurut saja.” Tiba-tiba saja langkah Wijang terhenti, sehingga Paksi pun harus berhenti pula. Dengan nada tinggi Wijang berkata, “Kau harus menjawab. Setuju atau tidak setuju. Bukan hanya sekedar menurut. Kau harus ikut bertanggung jawab atas keputusan ini.” “Baik, baik, aku setuju sekali.” “Nah, dengan demikian, jika terjadi sesuatu atas diri kita, maka kau tidak dapat membebankan tanggung jawabnya kepadaku sendiri.” “Marilah,” berkata Paksi, “tidak usah merajuk seperti itu.” “Bukan sekedar merajuk. Tetapi ada kemungkinan kau ditangkap oleh Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Lebih pahit lagi jika kau ditangkap oleh Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati yang sedang berusaha mengikuti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.” “Baik. Baik. Kita akan mempertanggung-jawabkan bersama.” “Nah, kau tidak akan menyalahkan aku jika kau besok berada di kerangkeng dalam sarang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati.” “Nama itu mirip dengan nama pemomong yang sebenarnya adalah ibu Kemuning itu sendiri.” “Siapa namanya?” “Nyi Permati.” “O,” Wijang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ada ribuan orang yang mempunyai persamaan nama.” Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian ia berdesis, “Untunglah bahwa Bahu Langlang tentu akan dilumatkannya menjadi debu.” Wijang pun berdesis, “Itu namanya nyawa Bahu Langlang cukup liat.” Paksi pun kemudian terdiam. Mereka pun kemudian melangkah semakin cepat menelusuri jalan yang lengang. Hanya ada satu dua orang sajalah yang berjalan cepat ke arah yang berlawanan. Wijang dan Paksi pun kemudian telah berketetapan hati untuk pergi ke Kembang Arum. Mereka berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan Paksi bersama Kemuning dan ibunya. Terik matahari yang menyengat membuat mereka menjadi haus. Meskipun di depan beberapa regol halaman rumah di padukuhan yang mereka lewati terdapat gentong berisi air bersih serta sebuah siwur yang tergantung di dinding halaman, namun keduanya lebih senang untuk singgah barang sebentar di sebuah kedai. “Aku tidak saja haus,” berkata Wijang, “tetapi aku juga lapar.” “Kita singgah di sebuah kedai di dekat sebuah pasar. Mungkin pasar itu telah menjadi lengang. Tetapi mudah-mudahan masih ada kedai yang membuka pintunya.” Sebenarnyalah keduanya masih menemukan kedai yang membuka pintunya. Bahkan masih ada dua tiga kedai, sehingga mereka dapat memilih tempat yang terbaik. Sesaat kemudian, mereka pun telah duduk di dalam kedai. Ada dua tiga orang yang telah duduk di dalamnya. “Kita dengarkan, apa yang mereka bicarakan,” bisik Wijang. Paksi mengangguk. Mereka kemudian memesan makanan dan minuman. Sementara itu mereka berusaha untuk mendengarkan pembicaraan orang-orang yang telah lebih dahulu berada di kedai itu. Mungkin ada hal-hal yang menarik perhatian mereka. Tetapi yang mereka bicarakan adalah persoalan mereka sendiri. Barang dagangan mereka yang agak sulit untuk dipisahkan pada saat-saat terakhir karena persaingan menjadi semakin ketat. Karena itu, maka Wijang dan Paksi pun tidak menghiraukan pembicaraan mereka lagi. Apalagi ketika minuman dan makanan yang mereka pesan telah dihidangkan. Namun selagi mereka makan, perhatian mereka telah tertarik pada seorang laki-laki muda yang berhenti di depan kedai itu. Tiga orang laki-laki menyertainya. Nampaknya ketiganya adalah para pengiringnya. Menilik sikapnya, maka laki-laki muda itu adalah seorang yang mempunyai pengaruh di lingkungannya. Apalagi ketika penilik kedai itu dengan tergesa-gesa menyongsongnya. Sambil membungkuk hormat, pemilik kedai itu mempersilahkan laki-laki muda itu untuk masuk ke dalam kedainya. Tetapi laki-laki muda itu kemudian bertanya, “Apakah kedua perempuan itu tidak ada di kedai ini?” Pemilik kedai itu termangu-mangu. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Kedua perempuan yang manakah yang anak muda maksudkan?” Laki-laki muda itu tidak menyahut. Tetapi diamatinya bagian dalam kedai itu. Agaknya yang dicarinya memang tidak ada disitu. “Lihat di kedai yang lain,” berkata laki-laki muda itu kepada pengiringnya. Dua di antara ketiga pengiringnya itu pun segera melangkah meninggalkan laki-laki muda itu, sementara seorang di antaranya berdiri termangu-mangu di sisinya. Pemilik kedai itu sekali lagi mempersilahkannya, “Marilah anak muda. Silahkan duduk.” “Diam,” laki-laki itu tiba-tiba membentak. Pemilik kedai itu terkejut. Wijang dan Paksi pun terkejut pula. Laki-laki itu menjadi marah tanpa sebab. Ketika Wijang dan Paksi sempat berpaling, maka dilihatnya orang-orang yang sudah lebih dulu di kedai itu pun nampak menjadi gelisah. “Kenapa mereka menjadi seperti melihat hantu?” desis Paksi. “Sst,” Wijang memberi isyarat agar Paksi tidak ribut. Paksi terdiam. Tetapi ia juga menjadi gelisah, meskipun alasannya berbeda dengan orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu. Beberapa saat kemudian kedua orang pengiringnya yang melihat-lihat kedai yang lain itu pun kembali. Seorang di antara mereka berkata, “Mereka ada di kedai sebelah.” Laki-laki muda itu tidak mengucapkan sepatah jawabpun. Tetapi dengan serta-merta ia melangkah ke kedai sebelah. Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Demikian laki-laki muda pengiringnya itu pergi, maka ia pun melangkah kembali masuk ke dalam kedainya. “Siapakah mereka itu?” tiba-tiba Paksi pun bertanya. Pemilik kedai itu mendekatinya sambil berdesis, “Ki Sanak orang asing disini?” “Kami hanya kebetulan saja lewat disini,” jawab Paksi. Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Anak muda itu adalah anak Ki Demang Sekar Turi. Pasar ini terletak di lingkungan Kademangan Pasar Turi.” “O,” Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bergumam seolah-olah ditujukan pada diri sendiri, “Nampaknya ia seorang yang sangat dihormati disini.” “Ya. Ia memang sangat dihormati. Kecuali ayahnya seorang demang yang sangat berpengaruh, anak muda itu sendiri mempunyai kebiasaan yang membuat orang lain harus menghormatinya.” “Apakah anak muda itu telah berhasil membuat kademangan ini besar dan sejahtera?” Paksi bertanya. Wijang yang lebih tua dari Paksi sempat menggamitnya. Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur dilontarkan. Pemilik kedai itu sempat memandang orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedainya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, “Ki Demang adalah seorang yang besar.” Pemilik kedai itu pun melangkah meninggalkan Paksi yang agaknya masih ingin bertanya. Tetapi Wijang menggamitnya sambil berdesis, “Sudah.” Paksi memang berhenti bertanya meskipun gejolak dadanya masih membayang di kerut keningnya. Sejenak suasana di kedai itu menjadi lengang. Namun seorang di antara orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di kedai itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati Paksi dan kemudian bahwa duduk di sebelahnya. “Laki-laki itu ditakuti disini,” desis orang itu. “Kenapa?” bertanya Paksi yang semakin tertarik pada laki-laki muda itu. Wijang menarik nafas panjang. Ia tidak berniat mengetahui lebih banyak tentang laki-laki muda itu untuk menjaga perasaan Paksi yang masih muda itu. Tetapi orang itu justru telah bicara lebih jauh tentang laki-laki itu. “Justru karena ayahnya seorang demang yang mempunyai wibawa yang besar, maka anak itu merasa dapat berbuat apa saja. Yang mencemaskan penghuni kademangan ini adalah kesenangannya terhadap gadis-gadis. Bahkan perempuan-perempuan yang lebih tua dari laki-laki itu sendiri, sering diganggunya. Ia tidak peduli apakah perempuan itu sudah bersuami atau belum.” Dahi Paksi berkerut semakin dalam. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Selama itu tidak ada orang pernah menegurnya? Ki Jagabaya atau Ki Demang itu sendiri?” “Anak itu manja. Aku sendiri bukan penghuni kademangan ini. Karena itu, aku dapat berbicara lebih bebas tentang laki-laki muda itu. Tetapi sebenarnya pemilik kedai itu pun ingin berbicara sebagaimana aku katakan ini. Tetapi karena ia penghuni kademangan ini, maka ia lebih senang berdiam diri.” Orang itu terdiam sejenak. Ketika pemilik kedai itu memandang orang yang sedang berceritera kepada Paksi itu, orang itu pun tersenyum sambil bertanya, “Bukankah begitu?” Pemilik kedai itu berpaling sambil berdesis, “Berceritera atau tidak, itu urusanmu.” Orang yang duduk di sebelah Paksi itu pun berceritera lebih lanjut, “Tadi ada dua orang perempuan yang masuk ke dalam kedai sebelah. Dua orang perempuan cantik dengan pakaian yang rapi dan menarik. Aku tidak tahu, siapakah mereka, karena agaknya baru kali ini ia singgah disini. Nah agaknya anak Ki Demang ini atau pengiring-pengiringnya yang sering mencari muka, melihatnya. Jika tidak ada orang yang menyelamatkan, kedua perempuan itu akan bernasib malang. Sementara itu orang sekademangan ini tidak ada yang berani menentang kehendaknya.” Paksi dan Wijang terkejut mendengar ceritera itu, sehingga dengan serta-merta di luar sadarnya Wijang bertanya, “Dua orang yang berpakaian rapi seperti orang yang hendak pergi ke perhelatan perkawinan sahabatnya.” “Ya.” Wijang memandang Paksi dengan tegang. Agaknya Paksi pun mengerti bahwa kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. “Jika itu benar, maka nasib laki-laki muda itu sudah dapat diramalkan,” berkata Wijang dalam hatinya. Orang yang berceritera itulah kemudian yang kemudian bertanya, “Kau mengenal kedua perempuan itu?” Dengan cepat Wijang menjawab, “Tidak. Aku tidak mengenalnya. Kami hanya melihat sepintas. Kami juga merasa heran, bahwa dengan pakaian seperti itu, keduanya pergi ke pasar.” “Cara mereka berpakaian dan merias diri memang sangat menarik perhatian. Ada beberapa kesan yang timbul. Bahkan ada kesan yang agak buram. Agaknya keduanya sengaja menarik perhatian.” Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Wijang pun berkata, “Mungkin keduanya memang orang-orang dari lingkungan orang berada atau berkedudukan sehingga mereka terbiasa mengenakan pakaian dan rias yang demikian.” “Jika hal itu benar, maka kasihan mereka. Mereka akan mengalami perlakuan yang paling buruk dari anak Ki Demang itu.” “Tetapi apakah anak itu tidak memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Jika kedua perempuan itu keluarga seorang senopati prajurit, bukankah itu berarti anak Ki Demang itu membunuh dirinya betapapun besar pengaruh Ki Demang di padukuhan ini. Anak Ki Demang itu akan dapat ditangkap. Jika ia melawan atau ayahnya berusaha melindunginya, maka para prajurit itu akan dapat mempergunakan alat-alat kekuasaan mereka.” Orang yang berceritera itu menggeleng. Katanya, “Anak Ki Demang itu tidak akan sempat berpikir sampai sekian. Tetapi jika hal itu terjadi, agaknya ada baiknya juga untuk sedikit memberi pelajaran kepada anak Ki Demang itu. Bahkan ayahnya sekaligus.” Namun di luar sadarnya Paksi berkata, “Sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran pula.” “He?” orang yang berceritera itu bertanya. “Maksudmu?” Paksi terkejut sendiri. Namun ia pun kemudian menyahut, “Maksudku, pada suatu saat orang yang demikian itu akan mendapat hukumannya.” “Ya, pada suatu saat. Tetapi pada suatu saat itu kapan?” desis orang yang berceritera itu. Paksi tidak menjawab. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar. “Jika keduanya itu benar Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati, maka sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran,” berkata Paksi dalam hatinya. Tetapi Paksi tidak berkata apa-apa lagi. Demikian pula Wijang. Keduanya pun kemudian memusatkan perhatian mereka terhadap minuman dan makanan mereka. Orang yang berceritera itu pun kemudian bangkit berdiri demikian kawan-kawan mereka berdiri. Katanya, “Silahkan. Aku sudah selesai. Kami akan pulang.” Setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka orang itu bersama-sama dengan kawan-kawannya melangkah menuju ke pintu kedai itu. Tetapi langkah mereka tertegun. Agaknya di kedai sebelah telah terjadi keributan. Orang yang telah berceritera kepada Paksi itu berpaling sambil berdesis, “Nah, perjalanan nasib buruk kedua perempuan itu sudah dimulai.” Tetapi di luar sadarnya pula Paksi menyahut, “Atau yang terjadi justru sebaliknya. Anak itu akan mendapat sedikit pelajaran dari kedua orang perempuan itu.” Orang itu termangu-mangu. Namun kawan-kawannya pun menggamitnya. Seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak berurusan dengan peristiwa apa pun yang terjadi disini.” Demikianlah, maka orang-orang itu pun melangkah keluar pintu kedai dan segera turun ke halaman. Sementara itu, Wijang pun segera memberi isyarat kepada Paksi untuk keluar pula dari kedai itu dan melihat apa yang telah terjadi. Setelah membayar makanan dan minumannya, maka Wijang dan Paksi pun segera melangkah keluar pula. Demikian mereka keluar dari pintu kedai, maka mereka melihat perkelahian yang terjadi di depan kedai sebelah. Dua orang perempuan melawan ampat orang laki-laki yang garang. Seorang di antara mereka adalah anak Ki Demang itu. Tetapi pertempuran itu nampak tidak seimbang. Ampat laki-laki yang garang itu tidak berdaya menghadapi dua orang perempuan yang berpakaian bagus sebagaimana perempuan-perempuan dari lingkungan orang-orang berada. Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak Ki Demang itu memang mendapat pelajaran. Tetapi bukan sekedar saja. Ia benar-benar berada dalam kesulitan. Bersama dengan pengiringnya ia berusaha mempertahankan diri. Tetapi perempuan yang dilawannya itu mampu berkelahi dengan garangnya. Jauh berbeda dengan ujudnya. Dalam pada itu, beberapa orang penghuni kademangan yang melihat anak demangnya dihajar habis-habisan menyaksikan dengan dengan dada yang tegang. Semula mereka menganggap bahwa peristiwa itu akan sedikit memberikan peringatan kepadanya. Tetapi lambat laun mereka menjadi cemas, bahwa anak Ki Demang itu akan benar-benar dihancurkan oleh perempuan-perempuan yang asing bagi kademangan itu. Karena itu, seorang di antara mereka telah berlari ke serambi samping. Sejenak kemudian, maka terdengar bunyi kentongan dengan irama titir. Suasananya pun segera berubah menjadi kacau. Pasar di depan kedai itu memang sudah menjadi sepi. Tetapi orang-orang yang masih tersisa menjadi bingung. Mereka yang sedang mengemasi barang-barang dagangan mereka yang tersisa menjadi gelisah dan bahkan ketakutan. Tetapi mereka yang memiliki keberanian justru mempercepat kerja mereka. Ternyata dari sudut pasar, suara kentongan itu telah disahut pula. Seorang petugas yang menjaga ketertiban pasar telah ikut memukul kentongan dengan irama titir pula. Sementara itu dua orang petugas pasar yang lain, yang ditunjuk oleh Ki Demang tidak dapat tinggal diam melihat kesulitan yang dialami oleh anak muda itu, tetapi mereka tidak mau dianggap bersalah karena mereka tidak berbuat apa-apa ketika terjadi perkelahian di depan pasar. Sedang yang berkelahi dan kemudian mengalami kesulitan adalah anak Ki Demang yang mengangkat mereka bekerja di pasar itu. Dua orang petugas keamanan di pasar itu pun segera menggabungkan diri betapapun jantung mereka bergetar sejak mereka mendekati arena. Tetapi kedua orang di pasar itu tidak berarti apa-apa bagi kedua orang perempuan yang garang itu. Seperti diduga oleh Wijang dan Paksi, kedua orang perempuan itu adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Anak Ki Demang itu benar-benar tidak berdaya. Darah sudah mengalir dari sela-sela bibirnya. Matanya nampak menjadi biru. Tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan. “Seorang yang telah menyentuh tubuhku dengan tangannya tanpa aku kehendaki, maka tangan itu harus dipotong,” berkata Megar Permati. Namun Melaya Werdi bertanya, “Apakah kau tidak memerlukan anak itu?” “Buat apa anak lerut seperti itu? Aku tidak hanya akan memotong tangannya, tetapi aku juga akan memotong lehernya. Ia terlalu berani menyentuh tubuhku di atas batas leherku.” Seorang pengawal anak Ki Demang yang bertempur bersama anak Ki Demang itu melawan Megar Permati sama sekali sudah tidak berdaya. Sementara itu, petugas pasar yang datang membantunya itu telah terpelanting dan membentur dinding kedai. Anak demang itu benar-benar menjadi ketakutan. Namun dalam pada itu, suara kentongan dengan irama titir itu telah memanggil beberapa orang padukuhan. Bahkan beberapa orang bebahu. Mereka dengan serta-merta telah mengepung Melaya Werdi dan Megar Permati. Seorang bebahu dengan serta-merta berteriak, “Hentikan. Anak muda itu adalah anak Ki Demang.” Anak muda itu terbaring tidak berdaya. Di dekatnya Megar Permati berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan kakinya ia menyentuh tubuh anak Ki Demang itu sambil berkata dalam nada tinggi, “O, jadi ini anak Ki Demang. Dimana Ki Demang itu sekarang?” Suasana menjadi semakin tegang. Nyi Melaya Werdi pun sudah tidak berkelahi pula. Dua orang pengawal anak Ki Demang yang berkelahi melawannya ditambah dengan seorang petugas pasar, telah terbaring diam. Agaknya mereka menjadi pingsan. Nyi Melaya Werdi pun melangkah mendekati adiknya sambil berkata, “Marilah. Kita tinggalkan tempat ini.” “Tidak. Aku tidak akan membiarkan anak ini mengganggu perempuan lagi. Jika perempuan-perempuan itu tidak berdaya, maka mereka akan menjadi korbannya.” Nyi Melaya Werdi memandang beberapa orang yang datang berlari-lari dari padukuhan di sekitar pasar. Bahkan dari padukuhan yang lain, suara kentongan telah merambat dengan cepat. Namun seorang bebahu telah berkata lantang, “Jangan ganggu lagi anak Ki Demang.” “Kau tidak melihat apa yang dilakukannya,” bentak Megar Permati. “Apa pun yang dilakukannya, tetapi kau tidak boleh memperlakukannya seperti itu.” “Jadi, karena ia anak demang, maka ia dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap perempuan? Apakah ia juga memperlakukan perempuan-perempuan di kademangan ini seperti itu?” Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnya seperti orang lain di kademangan itu, ia pun menjadi muak terhadap tingkah laku anak Ki Demang itu. Tetapi seperti orang lain, bebahu itu tidak berani berbuat sesuatu. Dalam pada itu, selagi ketegangan menjadi semakin memuncak, terdengar derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika orang-orang yang berkerumun itu berpaling, maka mereka telah melihat Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang bebahu mendatangi tempat itu. Orang-orang pun segera menyibak. Sejenak kemudian keempat orang itu pun telah berloncatan dari punggung kudanya. “Apa yang terjadi?” bertanya Ki Demang. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap, berdada bidang dan berkumis lebat di atas bibirnya yang tebal. Ki Jagabaya dengan serta-merta telah melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Tetapi semua orang yang berdiri di sekitarnya terkejut bukan buatan. Di hadapan Ki Demang yang garang, perempuan yang telah menghajar anak Ki Demang itu berteriak sambil meletakkan kakinya di dada anak muda yang sudah tidak berdaya itu. “Iblis betina,” teriak Ki Demang, “siapa kau?” “Kaukah demang itu?” bertanya Megar Permati. “Nah, kau ternyata dapat mengenali aku. Anak itu anakku. Sikapmu itu sangat menyakitkan hatiku.” “Kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan ayah dari anak yang gila ini. Ia telah mencoba menggangguku. Dikiranya aku perempuan jalanan yang dapat diperlakukan sekehendak hatinya. Atau anakmu memang terbiasa memperlakukan perempuan-perempuan seperti itu? Memaksakan kehendaknya, sementara jantungnya dicengkam oleh nafsu?” “Cukup. Apakah kau sadari bahwa tingkah lakumu itu akan dapat membunuhmu?” “Kau mau apa, demang gila? Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku seperti menakut-nakuti rakyatmu?” Ki Demang itu pun kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jagabaya, para bebahu dan orang-orang padukuhan yang telah lebih dahulu datang ke tempat itu untuk mengepung kedua orang perempuan itu. Sementara itu Melaya Werdi menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Jadi kita harus membunuh?” “Merekalah yang menentukan, apakah kita akan membunuh atau tidak.” Ki Demang yang marah itu ternyata tidak sempat menilai kedua orang perempuan itu. Karena itu, maka ia pun berkata lantang, “Tangkap perempuan itu. Mereka harus mendapat hukuman atas penghinaan mereka terhadap kademangan ini.” “Bagus,” teriak Megar Permati, “aku juga menunda niatku membunuh anakmu. Biarlah ia melihat bagaimana orang-orang kademangannya mati karena tingkah lakunya.” Namun Melaya Werdi lah yang kemudian berkata lantang, “Ki Sanak. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Siapa yang tidak ingin mati, jangan dekati kami berdua. Sekali kami meloncat, maka kematian-kematian akan datang beruntun. Karena itu, aku minta kalian sempat membuat pertimbangan demi keselamatan kalian masing-masing.” “Diam kau perempuan iblis,” teriak Ki Demang. “Jangan mencoba dengan licik menyelamatkan dirimu.” “Jangan hanya berteriak-teriak. Ayo, siapa yang akan mati lebih dahulu.” Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu pun segera berloncatan maju. Beberapa orang yang mengepung mereka pun telah bergerak pula. Meskipun ada kecemasan di hati mereka, tetapi bersama banyak orang mereka menjadi berani. Ketakutan mereka kepada Ki Demang lebih mencengkam daripada kecemasan mereka menghadapi kedua orang perempuan itu..... “Apa yang dapat dilakukan oleh dua orang perempuan,” berkata orang-orang itu di dalam hatinya. Seperti yang dikatakan, Megar Permati tidak segera membunuh anak Ki Demang itu. Didorongnya anak muda itu dengan kakinya, sehingga berguling beberapa kali. Sementara itu, Ki Demang telah menyerangnya dengan keris di tangannya. Sebilah keris yang ukurannya lebih besar dari keris kebanyakan. Pamornya nampak berkilat-kilat tertimpa sinar matahari. Bersamaan dengan itu, seorang bebahu telah berlari menolong anak Ki Demang. Diangkatnya anak muda itu, dan dibawanya menepi. Sedangkan beberapa orang yang lain telah membantu Ki Demang menyerang perempuan yang telah menyakiti anak Ki Demang itu, bahkan dengan beraninya menghina Ki Demang itu sendiri. Sementara itu, Ki Jagabaya dengan beberapa orang yang lain telah langsung mengepung dan menyerang Nyi Melaya Werdi. Nyi Melaya Werdi sengaja mengambil jarak dari adik perempuannya, agar mereka dapat bertempur lebih leluasa. Nyi Melaya Werdi menghadapi lawan-lawannya dengan tangkasnya. Disingkapkannya kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya Nyi Melaya Werdi mengenakan celana hitam sampai di bawah lututnya sebagaimana Nyi Megar Permati. Namun ternyata Nyi Megar Permati nampak lebih garang dari kakak perempuannya. Kakinya berloncatan dengan cepatnya sehingga seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sementara itu beberapa ujung senjata beruntun datang menyerangnya. Betapapun tinggi ilmu Megar Permati, menghadapi banyak orang tanpa senjata di tangan telah membuatnya terdesak surut. Sementara itu kemarahannya telah menyala sampai ke ubun-ubunnya. Ki Demang memang menjadi sangat heran melihat perempuan cantik itu. Ternyata ia berilmu sangat tinggi. Meskipun Ki Demang dan beberapa orang bebahu serta orang-orang kademangan yang membantunya berhasil mendesak perempuan itu surut, tetapi Ki Demang menyadari, bahwa perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya. Ketika kemarahan Megar Permati menjadi tidak terkendali, maka perempuan itu telah mengibaskan selendangnya. Selendangnya yang di kedua ujungnya dihiasi pernik-pernik mas dan perak. Tetapi mas dan perak itu bukan sekedar perhiasan yang membuat selendangnya menjadi sangat mahal, tetapi mas dan perak itu menjadi sangat berbahaya jika Megar Permati mempergunakan selendangnya itu sebagai senjata. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, selendang Megar Permati telah mulai menyebarkan malapetaka. Seorang bebahu yang bertempur bersama Ki Demang telah terlempar dari arena, jatuh berguling di tanah. Sambil menggeliat berputar-putar bebahu itu mengaduh kesakitan. Pundaknya telah terkoyak oleh senjata Megar Permati. Lukanya yang menganga telah mencucurkan darah yang hangat. Dalam pada itu, terdengar suara Nyi Melaya Werdi yang melengking menggetarkan jantung, “Ternyata kalian tidak tahu apa yang dapat terjadi atas diri kalian. Jika kalian tidak menarik diri, maka kematian demi kematian akan mencengkam kalian. Jika darah di dalam tubuh ini sudah terlanjur mendidih, maka tidak akan ada jalan kembali. Hanya nama kalian sajalah yang masih akan dikenang oleh orang-orang kademangan ini.” Tetapi seorang bebahu telah berteriak marah, “Menyerahlah. Kalian hanya berdua. Kalian telah dikepung sehingga kalian tidak akan dapat melarikan diri.” “Kau akan menyesal dengan sikapmu. Tetapi aku masih memberi kesempatan,” berkata Melaya Werdi. Tetapi Megar Permati justru berteriak, “Tidak ada belas kasihan lagi, Kakangmbok.” “Beri mereka kesempatan sekali lagi jika mereka masih ingin berumur panjang.” “Aku ingin menunjukkan kepada anak demang itu, bahwa akibat dari perbuatannya adalah mengerikan.” Namun Nyi Melaya Werdi masih berkata lantang, “Nah, kau dengar. Cepat, pergi dari sini.” Tetapi Ki Demang berteriak pula, “Kami akan menggantung kalian di halaman banjar kademangan karena kalian telah menghina kami dan seisi kademangan ini.” Nyi Melaya Werdi masih menyahut, “Jadi kau tetap akan bertempur demi anakmu yang gila itu?” “Persetan dengan igauanmu.” Ternyata jawaban Ki Demang itu merupakan aba-aba bagi Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati. Kesempatan yang diberikan oleh Melaya Werdi itu telah disia-siakan, sehingga sejenak kemudian, maka darah pun menjadi semakin banyak tertumpah. Seorang lagi di antara mereka yang bertempur melawan Megar Permati telah terlempar keluar arena. Lambungnyalah yang terkoyak. Ternyata ia tidak sempat mengaduh. Ki Demang dan orang-orang yang bertempur bersamanya tidak sempat memperhatikan orang itu. Selendang Megar Permati telah mematuk seorang lagi. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Orang itu terpelanting jatuh menimpa bebatur kedai sehingga kepalanya retak selain dadanya bagaikan meledak. Beberapa tulang iganya patah. Demikian parah keadaannya, sehingga ia pun telah meninggal seketika. Ternyata Megar Permati benar-benar tidak mengekang diri lagi. Sementara itu semakin banyak orang yang datang karena kentongan masih saja meneriakkan irama titir. Beberapa orang laki-laki yang berani telah ikut serta mengepung kedua orang perempuan itu. Orang-orang yang semula membenci anak Ki Demang itu, ternyata tersinggung juga melihat dua orang perempuan yang telah mengacaukan kademangan mereka. Namun orang-orang kademangan yang tidak mempunyai pengalaman yang luas itu menjadi sangat gelisah melihat kegarangan lawan. Nyi Melaya Werdi yang telah memberikan kesempatan terakhir itu pun menjadi marah pula. Seperti adiknya, maka sejenak kemudian selendangnya pun telah memungut korban. Satu-satu lawannya terlempar keluar arena. Tidak sekedar terluka. Tetapi mereka telah terbunuh. Dengan demikian, maka orang-orang yang mengepung kedua orang perempuan itu mulai menjadi gentar. Hanya orang-orang yang mempunyai keberanian yang tinggi sajalah yang masih berani menyerang Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Sementara itu, keduanya benar-benar telah menyebarkan maut. Akhirnya kepungan itu pun menjadi semakin longgar. Orang-orang mulai berpikir, bahwa sulit bagi mereka untuk menundukkan kedua orang perempuan itu. Sementara itu, senjata Melaya Werdi dan Megar Permati bagaikan ular yang memburu dan mematuk lawannya tanpa ampun. Sikap Ki Demang pun mulai goyah. Sementara itu Megar Permati pun berteriak, “Terakhir, aku akan membunuh anak Demang edan itu dengan caraku. Tetapi jika ayahnya ingin ikut mati, aku sama sekali tidak berkeberatan. Kademangan ini akan segera mendapat seorang demang baru yang lebih baik, yang anaknya tidak gila seperti anak muda itu.” Ki Demang memang menjadi sangat cemas. Tetapi ia tidak akan membiarkan anaknya dibunuh. Karena itu, selagi masih banyak orang yang memiliki sisa-sisa keberanian, Ki Demang itu pun berteriak, “Bawa anak itu pergi.” Dua orang bebahu telah berusaha mengangkat anak Ki Demang yang sudah tidak berdaya itu dibantu oleh beberapa orang. Tetapi langkah mereka terhenti. Megar Permati telah meloncat menembus kepungan dengan melemparkan dua orang di antara mereka yang mencoba untuk menghalanginya. “Jangan bawa pergi anak itu. Aku memerlukannya. Ia akan mati seperti orang-orang yang mencoba membelanya, termasuk ayahnya. Letakkan anak itu.” Orang-orang yang mengangkat anak Ki Demang itu mencoba berlari. Tetapi selendang Megar Permati telah mematuk dua orang di antara mereka di punggung, sehingga tulang punggung mereka serasa berpatahan. Sementara itu, orang-orang lain tidak mampu mencegahnya. Apalagi kemudian, selendang itu telah berputaran melindungi tubuh Megar Permati dari ujung senjata di seputarnya. Seorang yang mencoba melemparkan tombaknya, ternyata runtuh oleh sentuhan selendang itu sebelum sempat melukai kulitnya. Dalam pada itu, Wijang dan Paksi memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Semula ia bergeser menjauh dan bahkan berusaha bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi ketika mereka melihat Melaya Werdi dan Megar Permati menyebar kematian dengan semena-mena, jantung mereka pun berdentang semakin cepat. Meskipun mereka sudah mengira bahwa malapetaka bakal terjadi atas anak Ki Demang, tetapi yang terjadi itu ternyata jauh lebih mengerikan lagi. Apalagi Megar Permati masih juga berniat untuk membunuh anak Ki Demang itu dengan caranya. “Pelajaran itu sudah lebih dari cukup,” berkata Wijang di luar sadarnya. Paksi yang berdiri di dekatnya berdesis, “Tingkah laku mereka sudah keterlaluan.” “Kita harus menghentikannya. Keduanya akan menyebarkan kematian jauh lebih banyak lagi. Justru mereka yang tidak bersalah. Orang-orang itu berdiri di antara mulut buaya dan mulut harimau. Jika mereka tidak mau membantu Ki Demang, maka nasib mereka pun akan dapat menjadi sangat buruk, bahkan bersama keluarga mereka.” “Apa yang akan kita lakukan?” “Apaboleh buat. Kita tidak dapat bersembunyi terus sementara kedua orang perempuan itu membunuh tanpa kendali.” Paksi mengangguk. Meskipun masih ada sedikit keraguan, apakah ia mampu menghadapi perempuan-perempuan garang itu. Namun akhirnya ia telah membulatkan tekadnya. Ia tidak dapat berdiam diri melihat pembunuhan yang semena-mena. Sejenak kemudian, Wijang pun telah memberi isyarat, sehingga keduanya pun telah melangkah dengan cepat, mendekati arena pertempuran yang tidak seimbang itu. “Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati,” Wijang pun menyebut nama mereka untuk menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang berlangsung itu. Sebenarnyalah Melaya Werdi dan Megar Permati terkejut mendengar namanya disebut. Karena itu, maka mereka pun telah meloncat mengambil jarak dari orang-orang yang sedang dibantainya. “Siapa kau?” bertanya Melaya Werdi ketika mereka melihat dua orang anak muda mendekatinya. Wijanglah yang menjawab, “Beruntunglah aku dapat bertemu dengan kalian disini. Kami adalah utusan khusus Harya Wisaka untuk mencari kalian, karena kalian tidak ada di sarang kalian. Kami mendapat tugas untuk membawa Pangeran Benawa kembali ke istana.” Kedua orang perempuan itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, orang-orang kademangan yang merasa tidak berdaya itu berdiri bagaikan membeku di tempat mereka. “Aku tidak mengerti maksudmu,” desis Nyi Melaya Werdi. “Harya Wisaka telah mendapat pengakuan dari murid-muridmu yang tertawan ketika terjadi pertempuran di kaki Gunung Merapi itu. Kalian berdua telah menyimpan Pangeran Benawa di dalam sarangmu. Tetapi ternyata kalian sampai hari ini belum kembali ke sarangmu dan bahkan dengan semena-mena telah membunuh orang-orang tidak berdaya disini.” “Persetan dengan Harya Wisaka,” geram Melaya Werdi. “Aku tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Jangan ingkar. Murid-muridmu yang tertawan di antara beberapa orang tawanan yang lain telah mengaku, bahwa Pangeran Benawa ada di tanganmu.” “Iblis kau. Kau telah mengganggu permainanku,” geram Megar Permati. “Pergilah dan katakan kepada Harya Wisaka, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.” “Megar Permati,” sahut Wijang, “kau jangan ingkar. Pasukan segelar sepapan telah siap untuk melumatkan sarangmu di Goa Lampin yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berterus-terang, dimana Pangeran Benawa kalian sembunyikan. Jika kalian mau menyerahkan Pangeran Benawa, maka sarangmu tidak akan menjadi karang abang.” “Jangan mengigau kau anak ingusan,” jawab Megar Permati. “Sekarang pergilah. Biarlah aku mendapat kepuasan dengan permainanku ini.” “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kau tidak segera kembali, maka aku akan mendapat hukuman dari Harya Wisaka. Tetapi lebih buruk dari itu, Goa Lampin akan lenyap untuk selama-lamanya.” “Cukup,” bentak Melaya Werdi. “Sebenarnya sayang sekali untuk membunuh kalian berdua. Tetapi jika kalian berdua tidak mau kami jinakkan, maka kalian akan kami bunuh bersama dengan orang-orang kademangan ini.” Wijang pun sempat berdesis perlahan, “Hati-hatilah terhadap matanya, Paksi.” “Ya,” sahut Paksi singkat. Ia sadar sepenuhnya bahwa kedua perempuan itu memiliki kekuatan sihir yang dapat mencengkam penalaran seseorang, sehingga seseorang akan kehilangan kepribadiannya. Dalam pada itu, Ki Demang, para bebahu dan orang orang kademangan itu kembali berpengharapan. Kedua orang anak muda itu nampaknya telah mengenal kedua orang perempuan yang garang dan menakutkan itu. Jika mereka bukan orang-orang berilmu, maka mereka tidak akan berani menentang kedua orang perempuan itu. Wijang dan Paksi pun melangkah semakin dekat. Dengan lantang Wijang pun berkata, “Melaya Werdi, kau tidak mempunyai pilihan lain. Serahkan Pangeran Benawa kepada kami.” “Anak-anak setan. Apakah kalian sadari apa yang sedang kalian lakukan? Mungkin Harya Wisaka memberikan perintah itu kepadamu tanpa menjelaskan siapakah kami berdua.” “Kami mengetahui kalian berdua dengan sebaik-baiknya. Kami pun sudah melihat apa yang kalian lakukan terhadap orang-orang kademangan ini. Justru karena itu, maka kami telah dengan tergesa-gesa menemui kalian.” “Jika demikian, baiklah. Kami akan berurusan dahulu dengan kalian berdua. Baru kemudian kami akan menyelesaikan permainan kami,” berkata Melaya Werdi. Sedangkan Megar Permati pun kemudian berkata kepada Ki Demang, “Ki Demang, jangan mencoba membawa anakmu pergi selama aku mengurus kedua orang anak yang keras kepala ini. Jika kau bawa anakmu pergi, maka nanti aku akan mencarinya. Kademanganmu akan menjadi rusak. Aku akan membakar banyak rumah dan membunuh banyak orang termasuk perempuan dan kanak-kanak. Kaulah yang harus bertanggung jawab terhadap kematian dan kerusakan atas kademangan itu.” Jantung Ki Demang berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya harus dilakukannya. Sementara itu, orang-orang yang mengangkat anaknya telah meletakkannya kembali di tanah sejak dua orang di antara mereka terpelanting jatuh karena punggungnya telah dipatuk oleh senjata Megar Permati. Sementara itu Wijang dan Paksi pun telah mengambil jarak. Meskipun Megar Permati lebih garang dari Melaya Werdi, tetapi Wijang meyakini bahwa Melaya Werdi mempunyai ilmu yang lebih matang. Karena itu, maka Wijang pun telah menempatkan dirinya untuk menghadapi Melaya Werdi. Ternyata Wijang telah memasang perisai di pergelangan tangannya. Sementara itu, kedua tangannya telah menggenggam pisau belatinya pula, justru karena yang dihadapinya adalah Melaya Werdi yang telah mengurai selendangnya. Sedangkan Paksi pun telah bersiap pula menghadapi Megar Permati yang garang. Namun Paksi pun menyadari, bahwa ilmu perempuan yang garang itu tidak sematang ilmu kakak perempuannya. Dengan hati-hati Paksi mempersiapkan diri. Ki Marta Brewok telah banyak memberikan petunjuk kepadanya untuk menghadapi segala macam senjata. Bahkan Paksi pun sudah bersiap untuk menghadapi tatapan mata pemimpin dari Perguruan Goa Lampin itu. Tatapan mata yang dapat mempengaruhi daya nalar dan budi seseorang. Menghadapi orang-orang yang mengaku pengikut Harya Wisaka itu, Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati nampak lebih berhati-hati. Kedua orang pengikut Harya Wisaka itu tentu tidak sekedar mampu berteriak-teriak sebagaimana orang-orang kademangan itu. Sejenak kemudian, maka selendang kedua orang perempuan itu pun mulai berayun. Wijang yang menggenggam dua pisau belatinya serta mengenakan penutup pergelangan tangannya yang juga merupakan perisai itu, bergeser beberapa langkah. Wijang pun sadar, bahwa lawannya adalah seorang perempuan berilmu tinggi. Ketika kemudian Melaya Werdi mengibaskan selendangnya, Wijang pun bergeser surut selangkah. Sambaran angin menunjukkan kepada lawannya, betapa tinggi ilmunya sehingga lawannya yang masih muda itu harus berpikir dua tiga kali untuk bertempur melawannya. “Apakah kau tetap ingin melaksanakan perintah Harya Wisaka untuk memaksa kami menyerahkan Pangeran Benawa yang memang tidak berada di tangan kami?” “Kami tidak mempunyai pilihan lain,” jawab Wijang. “Bersiaplah. Kau tidak akan mampu bertahan sepenginang.” Wijang tidak menjawab. Tetapi ia pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Senjata lawannya adalah senjata yang sangat berbahaya. Apalagi di tangan Melaya Werdi yang berilmu sangat tinggi itu. Sejenak kemudian, maka selendang Melaya Werdi itu sudah berputar. Semakin lama semakin cepat. Ayunannya yang deras menyambar ke arah tubuh Wijang. Tetapi tubuh Wijang itu telah melayang menghindarinya. Serangan-serangan selanjutnya pun datang beruntun. Namun kedua pisau belati Wijang itu pun berputaran pula. Benturan-benturan segera terjadi. Setiap kali ujung selendang Melaya Werdi itu telah menyentuh pergelangan tangan Wijang yang dilindungi oleh lembaran kulit yang lebar yang melingkari pergelangannya itu. Setiap kali Melaya Werdi mengerutkan dahinya. Ujung selendangnya itu terasa bagaikan menyentuh lapisan baja yang tidak tertembus oleh senjatanya itu. Dengan demikian, maka Nyi Melaya Werdi pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Selendangnya berputaran semakin cepat. Setiap kali ujung selendang itu telah menyambar dengan derasnya. Namun kemudian mematuk dengan garangnya. Tetapi setiap kali, lawannya mampu menghindar, menangkis dan bahkan sekali-sekali terasa selendang itu bagaikan terkait oleh ujung-ujung sepasang belati anak muda itu. Nyi Melaya Werdi memang menjadi cemas. Belati itu memang bukan belati kebanyakan. Ketajaman penglihatan Melaya Werdi sempat melihat peletik-peletik pamor pada pisau belati itu. “Nampaknya memang seperti sebilah keris,” berkata Melaya Werdi di dalam hatinya, “tetapi hulunya sajalah yang sengaja dibuat sederhana seperti hulu pisau belati.” Dengan demikian, maka Melaya Werdi harus semakin berhati-hati. Ia tidak ingin selendangnya menjadi cacat oleh ujung belati lawannya yang mendebarkan itu. Dalam pada itu, kecepatan gerak Wijang bukan saja mampu menghindari serta menangkis setiap serangan Melaya Werdi. Namun serangan-serangannya justru mampu mengejutkan perempuan yang berilmu tinggi itu. Dalam pada itu, Megar Permati pun telah bertempur dengan garangnya. Namun setiap kali ujung selendangnya telah membentur tongkat lawannya. Tongkat yang ujudnya tidak lebih dari sepotong kayu yang seakan-akan begitu saja dipatahkannya dari pagar di pinggir jalan. Namun ternyata tongkat itu mampu menggetarkan tangannya jika selendangnya membenturnya. Dengan demikian, maka Megar Permati pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Paksi yang sejak semula sudah mengetahui bahwa Megar Permati memiliki ilmu yang tinggi, bertempur dengan sangat berhati-hati. Paksi sendiri menyadari, bahwa pengalamannya masih terlalu sempit dibanding dengan pengalaman Megar Permati. Namun keyakinannya tentang ilmu yang didasari oleh gurunya dan yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan oleh Ki Marta Brewok, membuat Paksi mampu bertempur dengan mapan. Tongkatnya berputaran dengan cepat. Bukan saja sekedar menangkis serangan-serangan lawannya. Tetapi sekali-sekali Paksi pun mampu menyerang pula. Bahkan sekali-sekali Megar Permati terpaksa meloncat surut untuk mengambil jarak dari ujung tongkat Paksi yang seakan-akan memburunya itu. Dalam pada itu, Ki Demang dan orang-orangnya menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka sama sekali tidak mengenal dua orang anak muda yang tiba-tiba datang dan bahkan telah mengambil alih pertempuran, melawan kedua orang perempuan yang garang itu. Sementara itu pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Megar Permati tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya langsung mengarah ke tempat-tempat yang paling berbahaya pada tubuh Paksi. Namun Paksi pun dengan tangkasnya mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama Paksi pun menjadi semakin percaya diri. Betapapun tinggi kemampuan Megar Permati serta betapapun luasnya pengalamannya, namun masih dalam jangkauan batas kemampuan Paksi meskipun Paksi harus mengerahkan segenap kemampuannya. Ki Demang dan orang-orang kademangan yang datang ke tempat itu, tidak lagi mampu menilai pertempuran itu. Pertempuran yang seakan-akan tidak lebih dari kelebat bayangan yang berterbangan berputar-putar. Dalam pada itu, seorang bebahu yang menyadari keadaan sempat berbisik di telinga Ki Demang, “Kita dapat meninggalkan tempat ini. Biarlah mereka menyelesaikan pertempuran itu.” Ki Demang berpikir sejenak. Hampir saja ia menyetujui pendapat itu. Namun ternyata ada sesuatu yang menghambatnya. “Aku tidak dapat meninggalkan kedua orang anak muda itu begitu saja,” berkata Ki Demang. “Mereka telah memberikan harapan kepada kita untuk hidup. Dalam keadaan yang memaksa, kita harus membantunya, apa pun yang terjadi.” “Tetapi pertempuran itu benar-benar tidak dapat kita mengerti.” “Bagaimanapun juga, kita dapat mengganggu pemusatan nalar budi kedua orang perempuan itu. Mungkin kita masih harus memberikan korban lagi. Tetapi itu tentu lebih baik daripada kita meninggalkan arena ini. Jika kedua perempuan itu memenangkan pertempuran, maka mereka akan dapat menghancurkan seluruh kademangan. Mereka dapat membunuh lebih banyak lagi. Bahkan perempuan dan anak-anak.” Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Perasaannya yang paling dalam merasakan perubahan sikap Ki Demang. Ternyata Ki Demang itu tidak lagi memikirkan dirinya sendiri atau keluarganya. Ia masih memikirkan kedua orang anak muda yang telah membantunya meskipun keduanya mempunyai alasan tersendiri. Ki Demang memang tidak beranjak dari tempatnya. Orang-orang kademangan itu pun telah menahan diri pula untuk tidak lari dari arena. Namun Ki Demang itu pun kemudian berkata, “Cari air. Usahakan menolong anakku. Tetapi kau tidak usah membawanya pergi.” Bebahu itu pun kemudian telah memerintahkan seseorang untuk mencari air bagi anak Ki Demang yang ada dalam keadaan parah. Sementara itu, Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati masih bertempur dengan sengitnya. Bahkan semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka telah berada pada puncak kemampuan mereka masing-masing. Selendang Melaya Werdi dan Megar Permati berputaran semakin cepat. Bahkan kemudian selendang itu bagaikan kabut yang mengepul di sekitar tubuh Melaya Werdi dan Megar Permati. Namun Wijang dan Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Tongkat Paksi pun berputaran pula. Bahkan beberapa kali Paksi sengaja membenturkan tongkatnya, menghantam kabut yang menyelimuti tubuh Megar Permati. Ternyata tenaga dalam Paksi setiap kali mampu menggetarkan dada Megar Permati. Benturan yang terjadi, rasa-rasanya telah menggetarkan bukan saja tangan Megar Permati. Tetapi merambat menyusup di antara urat-uratnya sampai ke jantung. Sementara itu Melaya Werdi pun mulai gelisah. Sekali-sekali masih terasa ujung-ujung pisau belati lawannya, seakan-akan telah terkait pada anyaman selendangnya. Bahkan pada perhiasan mas dan perak di ujung-ujung selendangnya. Dalam puncak kekuatan dan kemampuan masing-masing, maka ujung pisau itu akan dapat mengoyakkan selendang pusakanya itu. “Anak ini memang gila,” geram Melaya Werdi. Wijang ternyata mendengar geram itu. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya Melaya Werdi akan segera sampai pada ilmu puncaknya, yang hanya dilepaskan dalam keadaan yang paling gawat. Sementara itu, Megar Permati pun semakin lama semakin mengalami kesulitan pula melawan Paksi. Tongkat Paksi semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan Megar Permati itu terkejut dan melompat mengambil jarak ketika ujung tongkat Paksi itu sempat menyentuh lengan bajunya. “Anak iblis,” Megar Permati mengumpat marah ketika ia mengetahui bahwa lengan bajunya terkoyak. Paksi tidak segera memburunya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Dalam pada itu, Melaya Werdi benar-benar telah mengerahkan ilmu pamungkasnya. Selendangnya yang berputar tidak saja seakan-akan merupakan lingkaran kabut yang menyelubungi tubuhnya. Tetapi kabut itu semakin lama menjadi semakin kemerah-merahan. Udara yang bergetar karena putaran selendang itu pun menjadi hangat dan bahkan semakin lama semakin panas. Kabut itu tidak lagi nampak karena putaran selendangnya, tetapi selendang yang kemudian menjadi kemerah-merahan itu benar-benar telah berasap. Wijang menyadari keadaannya. Ilmu yang sangat berbahaya itu akan dapat menelannya dan bahkan membuatnya menjadi arang. Karena itu, maka Wijang pun telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Wijang pun telah mengetrapkan ilmunya pula. Sambil menggenggam pisau belatinya, Wijang menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Tubuh Wijang itu tiba-tiba seakan-akan telah mengembun. Asap yang dingin bagaikan mengepul dari lubang-lubang kulitnya. Seperti tertiup angin yang lembut, maka asap yang dingin itu mengalir perlahan-lahan, berputar mengelilingi tubuhnya. Melaya Werdi terkejut. Ia sudah menjelajahi dunia olah kanuragan yang penuh dengan belukar yang berduri runcing. Namun ia masih juga terkejut dan berdebar-debar melihat kemampuan anak muda itu. Udara panas yang dipancarkan dari putaran selendang Nyi Melaya Werdi itu seakan-akan telah terhisap membeku ke dalam asap yang mengelilingi tubuh Wijang. Bahkan Wijang kemudian tidak hanya berdiri membeku sambil menyilangkan tangannya. Beberapa saat kemudian, maka Wijang pun telah berloncatan menyerang lawannya, sementara asap putih itu masih saja selalu berada di seputarnya kemana pun ia bergeser. Dengan demikian, maka ilmu Nyi Melaya Werdi tidak mampu menghadapi asap yang dingin di seputar tubuh Wijang. Pertahanan yang membuat benturan yang lunak dengan ilmu Nyi Melaya Werdi itu benar-benar menyulitkan kedudukannya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi itu pun harus berloncatan surut untuk menghindari serangan-serangan sepasang pisau belati di tangan anak muda itu. Sementara itu, Megar Permati pun menjadi semakin terdesak oleh serangan-serangan Paksi. Beberapa kali Megar Permati harus meloncat surut, sementara Paksi masih saja terus mendesaknya. Namun tiba-tiba Megar Permati itu menghentikan putaran selendangnya. Bahkan perempuan itu pun kemudian berkata, “Tunggu, anak muda. Ternyata kau memiliki ilmu yang sangat tinggi.” Paksi yang sudah siap menyerang itu memang tertegun sejenak. Dipandanginya wajah Megar Permati sejenak. Wajah yang berkerut dan menegang. Namun wajah itu perlahan-lahan telah berubah. Namun Megar Permati itu justru mulai tersenyum. Paksi menjadi heran melihat perubahan itu. Bahkan jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua mata Megar Permati yang seakan-akan menjadi berkilat-kilat. “Apakah kau benar-benar menjadi marah, anak muda,” bertanya Megar Permati sambil tersenyum. Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk Paksi meremang. Ia tidak menjadi gentar melihat permainan selendang Megar Permati yang garang. Namun ketika ia melihat Megar Permati tersenyum maka debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. “Aku tidak bersungguh-sungguh, anak muda,” berkata Megar Permati dengan lembut. Paksi masih berdiri membeku di tempatnya. Dalam pada itu, selagi Paksi dicengkam oleh kegelisahan, terdengar Wijang yang masih bertempur dengan Melaya Werdi berteriak, “Hati-hati dengan matanya.” Paksi seperti terbangun dari mimpinya. Ia sempat melihat mata Megar Permati yang berkilat-kilat. Terasa getar tatapan mata itu mulai menyentuh hatinya. Namun peringatan Wijang itu sempat menggugah kesadarannya, bahwa tatapan mata Megar Permati itu sangat berbahaya. Ada kekuatan sihir yang memancar dari sepasang mata itu. Karena itu, maka Paksi pun harus meningkatkan daya tahannya serta kemampuan mempertebal kesadaran dirinya. Ia tidak boleh kehilangan kepribadiannya dan tunduk kepada kehendak Megar Permati. Peringatan Wijang itu membuat jantung Megar Permati bagaikan terbakar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia masih ingin meyakinkan dirinya atas kemampuan daya tahan lawannya yang masih muda itu. Karena itu, maka Megar Permati itu masih saja tersenyum sambil berkata, “Jangan takut, anak muda. Pandang mataku. Kau akan melihat indahnya dunia ini. Kau akan melihat betapa luasnya langit dan betapa cerahnya cahaya matahari. Kau akan melihat dirimu sendiri yang mengambang dalam kenikmatan hidup yang tidak akan sempat kau nikmati pada kesempatan lain.” Paksi menggeratakkan giginya. Meskipun ia memiliki kemampuan daya tahan yang tinggi serta kesadaran akan dirinya yang kuat, tetapi Paksi tidak mau memandang mata Megar Permati. Terdengar suara Megar Permati yang ramah, “Kenapa kau malu, anak muda. Kau akan melihat mataku. Kau akan mendengar suaraku. Kau akan melakukan apa yang aku katakan. Marilah. Jangan malu.” Paksi memang mengangkat wajahnya. Tetapi ia sudah memagari jantungnya dengan kesadaran yang tinggi, bahwa dirinya tidak akan terbenam ke dalam pengaruh sihirnya. “Megar Permati,” berkata Paksi, “kau tidak usah mencoba mempergunakan sihirmu untuk menguasai kehendakmu atas aku. Karena itu, kau tidak usah tersenyum-senyum seperti itu, karena aku tetap menyadari, bahwa di balik senyummu itu tersembunyi jantungmu yang berbulu setajam duri.” Senyum Megar Permati pun tiba-tiba lenyap dari bibirnya. Bahkan perempuan itu pun menggeram, “Anak iblis. Kau benar-benar akan mati.” “Kematianku tidak berada di tanganmu,” sahut Paksi. Lalu katanya, “Sekarang lebih baik kau serahkan Pangeran Benawa itu kepada kami. Kami akan pergi dan menyerahkannya kepada Harya Wisaka. Kami berjanji tidak akan menyakitimu dan tidak akan mengganggu perguruanmu.” Megar Permati tidak menjawab. Tetapi selendangnya kembali berputar dengan cepatnya. Namun pada saat yang bersamaan, Nyi Melaya Werdi benar-benar telah terdesak. Panas apinya tidak mampu mengatasi dinginnya embun lawannya. Bahkan udara yang dingin itu mulai merambah mencengkam kulitnya. Nafasnya pun menjadi terganggu karena udara pun seakan-akan telah membeku di lubang hidungnya. Sementara itu, serangan-serangan anak muda itu masih saja memburunya. Ujung pisau belati itu seakan-akan mulai berdesing di telinganya seperti seekor nyamuk yang berterbangan di sekeliling kepalanya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun segera memberikan isyarat kepada Megar Permati dengan siulan nyaring. Sejenak kemudian, kedua orang perempuan itu pun dengan cepatnya meloncat surut. Kemudian dibentangkannya selendangnya sepanjang kedua lengannya yang merentang. Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati itu bagaikan terbang meninggalkan arena. Paksi sudah bersiap untuk memburunya. Namun Wijang berdesis, “Biarkan mereka pergi.” Paksi mengurungkan niatnya. Sambil menarik nafas panjang ia berkata, “Kenapa kita melepaskan mereka?” “Apakah kau mempunyai kerangkeng untuk mengurungnya?” Paksi pun terdiam. Sementara Wijang itu pun berkata, “Mereka tidak akan pernah melupakan kekalahan ini. Tetapi itu bukan persoalan kita lagi. Itu persoalan mereka dengan Harya Wisaka.” Paksi tersenyum. Namun ia pun kemudian berdesis perlahan, “Mudah-mudahan mereka mempercayainya.” Sementara itu, Ki Demang dan orang-orangnya berdiri termangu-mangu. Mereka telah terpukau oleh pertempuran yang telah terjadi. “Bagaimana dengan anakmu?” bertanya Wijang kepada Ki Demang. Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dalam keadaan biasa, ia tidak mau mendengar pertanyaan seperti itu. Ia adalah demang yang berkuasa di kademangan itu. Tetapi menghadapi kenyataan yang terjadi, maka Ki Demang itu mengangguk hormat sambil menjawab, “Keadaannya cukup parah, anak muda.” Wijang pun kemudian melangkah mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan. Sebenarnyalah keadaan anak muda itu memang parah. Namun agaknya masih berpengharapan jika ia ditangani oleh seorang tabib yang baik. “Apakah di kademangan ini ada tabib yang baik?” bertanya Wijang kemudian. “Ada, anak muda,” jawab Ki Demang. “Seorang tua yang mempunyai pengalaman yang cukup luas.” “Baik. Hubungi tabib itu. Serahkan anakmu dalam perawatannya agar keadaannya dapat membaik. Berdoalah untuk anakmu. Kau tahu artinya?” Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Aku mengerti, anak muda.” “Selanjutnya, kau harus menemukan arti dari keseluruhan peristiwa ini. Kau harus berani melihat ke belakang. Kau harus mengenali anakmu lebih baik lagi. Apa yang pernah dilakukannya dan apa yang tadi dilakukan, sehingga ia mendapat malapetaka. Kau pun harus mengenali dirimu sendiri. Apa yang pernah kau lakukan dan apa yang pernah kau lakukan buat anakmu? Bukan memanjakannya, tetapi berbuat sesuatu yang membuat hidup anakmu itu berarti bagi banyak orang.” Ki Demang tidak menjawab. Kepalanya menunduk. Sekali-sekali ia sempat melihat anaknya yang dalam keadaan parah, mengerang kesakitan. “Bawa anakmu pulang. Ingat apa yang terjadi hari ini. Jika tidak terjadi perubahan atas dirimu dan tingkah laku anakmu, maka yang akan membunuh anakmu bukan kedua orang perempuan itu. Tetapi aku. Meskipun demikian kau boleh mengetahui, bahwa kedua orang perempuan itu adalah pemimpin tertinggi Perguruan Goa Lampin. Jika kau belum pernah mendengar, maka aku akan memberitahukan, bahwa Goa Lampin adalah ajang pembantaian bukan saja atas wadag seseorang, tetapi terutama jiwanya.” Jantung Ki Demang terasa berdebar semakin cepat. Ia memang belum pernah mendengar Perguruan Goa Lampin. Tetapi keterangan anak muda itu membuatnya menjadi resah. “Pulanglah,” berkata Wijang kemudian. “Apakah kalian tidak singgah di rumahku?” bertanya Ki Demang. Wijang menggeleng. Katanya, “Terima kasih. Kami akan meneruskan perjalanan. Tetapi pada suatu saat kami akan singgah. Kami akan melihat apakah anakmu sudah berubah atau belum. Jika belum, maka aku akan membawanya, mengajarinya dengan caraku agar ia sedikit menghargai orang lain, terutama perempuan-perempuan.” “Ya, ya, anak muda. Aku akan mengajarinya.” “Kami pun ingin melihat caramu menjalankan tugasmu sebagai demang pada kesempatan lain. Kami adalah utusan Harya Wisaka yang mempunyai pengaruh yang besar di istana. Harya Wisaka akan dapat memerintahkan sekelompok prajurit untuk menangkapmu dan membawamu ke Pajang.” “Ya, ya, anak muda,” Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi apakah kedua orang perempuan itu tidak akan mendendam kami?” “Mereka akan melupakan kalian. Mereka mempunyai persoalan yang jauh lebih penting dari mengurus anakmu. Tetapi yang terjadi ada juga gunanya bagi anakmu.” Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, “Kami mohon ampun.” “Sudahlah. Aku akan pergi,” berkata Wijang kemudian. Namun ia masih sempat berkata sambil melangkah pergi, “Rakyatmu menjadi saksi apa yang telah terjadi disini.” Ki Demang terdiam. Tetapi di luar sadarnya ia memandang ke sekelilingnya. Beberapa orang bebahu serta orang-orang kademangannya, terutama di padukuhan itu, berdiri termangu-mangu. Sementara itu, anak Ki Demang masih saja mengerang kesakitan. Sedangkan beberapa orang terbaring diam. Ada di antara mereka yang terluka parah sehingga pingsan. Tetapi ada yang benar-benar telah terbunuh. Wijang dan Paksi pun tidak berpaling lagi. Mereka melangkah semakin jauh. Demikian keduanya hilang di tikungan, maka perhatian Ki Demang pun segera beralih kepada anaknya yang terluka parah. Kemudian dipandanginya beberapa orang yang juga telah menjadi korban karena kelakuan anak laki-lakinya. Ki Demang memang sangat menyesali perbuatan anaknya. Tetapi ia pun menyesali dirinya sendiri pula. Ia terlalu memanjakan anaknya itu. Apa yang dikehendakinya selalu dipenuhinya. Bahkan jika anaknya tertarik pada seorang perempuan tanpa memperdulikan keadaannya. Anak Ki Demang itu sudah memberikan beberapa orang gadis yang terlanjur mengandung kepada beberapa orang laki-laki dan memaksa mereka untuk menikahinya. Beberapa orang bebahu dan orang-orang kademangan yang sudah merasakan aman itu, mulai menilai lagi peristiwa itu. Mereka bersyukur bahwa akhirnya ada juga orang yang dapat memaksa anak Ki Demang itu untuk menyadari tingkah lakunya. Bahkan Ki Demang pun telah dipaksa untuk menilai sikapnya pula..... Sementara itu, Wijang dan Paksi pun telah berjalan semakin jauh. Dengan nada berat Wijang pun berkata, “Kita terpaksa harus memperlihatkan diri di antara para pemimpin perguruan yang sedang mencari Pangeran Benawa itu.” Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya. Yang terjadi adalah di luar kehendak kita.” “Anak demang itu memang gila. Seandainya tidak ada korban lagi, kita dapat meninggalkannya pergi. Tetapi kita tidak akan dapat membiarkan kedua orang perempuan itu membantai orang-orang padukuhan yang tidak bersalah itu. Orang-orang yang demikian takutnya kepada Ki Demang, sehingga mereka tidak mempunyai pertimbangan lagi untuk melakukan perbuatan yang bodoh itu.” “Tetapi kenapa ketakutan mereka kepada maut yang ditebarkan oleh kedua orang perempuan itu tidak dapat mengalahkan ketakutan mereka kepada Ki Demang.” “Ketakutan mereka kepada Ki Demang sudah berlangsung bertahun-tahun. Ketakutan itu seakan-akan telah melapisi dinding jantung mereka. Semakin lama menjadi semakin tebal, sehingga dapat mengalahkan perasaan-perasaan yang lain.” Paksi mengangguk-angguk. Orang-orang kademangan itu telah dicekam oleh kekuasaan Ki Demang yang sewenang-wenang itu sejak bertahun-tahun sehingga mereka tidak dapat melepaskan diri lagi daripadanya. Namun Paksi pun kemudian berdesis, “Kemana Melaya Werdi dan Megar Permati itu melarikan diri?” “Entahlah. Mungkin mereka pun mengurungkan niatnya untuk mencari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Tetapi mungkin pula mereka justru ingin melepaskan dendamnya kepada suami istri itu.” “Tetapi mereka akan berpikir ulang jika mereka akan bersikap keras terhadap Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang nampaknya cukup meyakinkan itu.” Wijang mengangguk-angguk. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Di telinga Paksi terngiang kembali kata-kata Ki Pananggungan, bahwa meskipun Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu berilmu tinggi, namun mereka masing-masing tidak akan melampaui kemampuan Paksi. “Mudah-mudahan,” berkata Paksi di dalam hatinya. Ia semakin yakin akan dirinya, setelah ia mampu mengalahkan Megar Permati. Bahkan ia pun mampu menangkal ilmu sihirnya pula. Wijang dan Paksi itu pun melangkah terus menyusuri jalan berbatu-batu. Sentuhan kaki mereka telah menebarkan debu yang kelabu. Beberapa orang yang lain pun berjalan dengan cepatnya pula menyusuri bayang-bayang dedaunan dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Di luar sadarnya, Wijang dan Paksi berjalan mengikuti jalan menuju ke Kembang Arum. Tetapi Kembang Arum masih cukup jauh. Ketika keduanya melewati sebuah padukuhan yang pernah terjadi tempat tinggal seorang yang menyebut dirinya Bahu Langlang, mereka sempat berhenti sejenak di depan regol halaman. “Rumah Bahu Langlang,” desis Paksi. “Nampaknya rumah ini sudah kosong,” sahut Wijang. Paksi mengangguk-angguk. Rumah Bahu Langlang itu memang kosong. Agaknya sejak Bahu Langlang meninggalkan rumah itu, maka semua penghuninya pun telah pergi pula. Kecuali tidak ada lagi ikatan, mereka juga takut menanggung beban, karena Bahu Langlang ternyata mempunyai banyak musuh. Wijang dan Paksi itu pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kembang Arum. Meskipun keduanya dapat berjalan lebih cepat, tetapi keduanya tidak merasa tergesa-gesa. Karena itu, maka mereka berjalan seenaknya. Menyusuri bulak-bulak panjang dan kemudian mereka memilih jalan singkat lewat lorong sempit di pinggir hutan yang jarang sekali dilalui orang. Mereka memang tidak menemukan jejak apapun. Agaknya Melaya Werdi dan Megar Permati tidak menuju ke Kembang Arum atau setidak-tidaknya mereka tidak melalui lorong di pinggir hutan itu. Ketika malam turun, Paksi dan Wijang baru saja meninggalkan lorong di pinggir hutan itu. Ternyata keduanya tidak berniat untuk melanjutkan perjalanan. Mereka ingin berhenti dan beristirahat. Karena itu, maka mereka pun telah mencari tempat untuk beristirahat dan bermalam. Bergantian mereka tidur malam itu di atas rerumputan kering di padang perdu. Binatang-binatang malam terdengar saling bersahutan. Ketika dari hutan itu terdengar aum seekor harimau lapar, Wijang yang mendapat giliran untuk berjaga-jaga tidak menghiraukannya. Tetapi ketika kemudian ia mendengar anjing hutan menyalak bersahutan, maka Wijang menarik nafas dalam-dalam. “Mudah-mudahan anjing itu tidak berkeliaran di padang perdu ini,” berkata Wijang dalam hatinya. Wijang lebih senang menghadapi seekor harimau loreng yang besar dari pada sekelompok anjing hutan yang licik. Tetapi ketika Wijang melihat beberapa batang pohon yang cukup besar, hatinya menjadi tenang. Ia dapat memanjat pohon itu, sehingga anjing-anjing liar itu tidak dapat memburunya. Ketika kemudian giliran Paksi untuk berjaga-jaga, maka Wijang pun berpesan, “Hati-hati dengan anjing-anjing yang licik itu. Mereka datang dalam kelompok yang besar.” Paksi mengangguk sambil mengusap matanya yang merah. “Hati-hati. Kau tidak boleh tidur lagi sampai menjelang fajar.” Paksi mengangguk. Wijang pun kemudian telah membaringkan dirinya di atas rerumputan kering. Sekali ia menguap. Namun kemudian Wijang itu pun telah tidur. Seakan-akan sama sekali tidak ada beban di kepalanya, sehingga dengan cepat ia menjadi lelap. Paksi lah yang setiap kali mengusap matanya. Embun terasa mulai menitik dari dedaunan. Namun tidak ada persoalan yang timbul malam itu. Menjelang fajar Wijang pun sudah terbangun. Berbenah diri dan kemudian melanjutkan perjalanan. Kembang Arum bagi keduanya sudah tidak jauh lagi. Sebelum panas matahari terasa menggigit kulit menjelang tengah hari, mereka sudah akan berada Padukuhan Kembang Arum. Tetapi pagi itu keduanya menyempatkan diri untuk singgah di sebuah kedai kecil. Penjual nasi yang sudah tua itu melayani mereka dengan lamban, sehingga rasa-rasanya untuk menunggu minuman dan makanan mereka harus duduk sampai punggungnya menjadi penat. Karena itu, maka perjalanan mereka terlambat beberapa saat. “Aku tidak telaten,” desis Paksi. Wijang tertawa pendek. Katanya, “Kenapa tergesa-gesa. Bukankah kita tidak dibatasi oleh waktu?” Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula. Panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit. Semakin lama semakin terasa. Keringat pun mulai mengembun di kening. “Padukuhan itu sudah tidak terlalu jauh lagi.” “Masih berapa lama kita berjalan?” “Jika kita tidak terhambat di kedai itu, kita sudah tinggal sebulak lagi.” “Sudahlah.” Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka mendekati Padukuhan Kembang Arum, maka matahari pun hampir sampai ke puncak langit. Panasnya sudah menjadi semakin terasa menggigit kulit. Beberapa orang yang bekerja di sawah telah meletakkan cangkul mereka, yang sedang membajak pun telah menyandarkan bajak mereka di pematang. Beberapa orang perempuan dengan menggendong bakul berjalan di bulak-bulak panjang membawa kiriman makan dan minuman bagi mereka yang bekerja di sawah. Wijang dan Paksi melangkah terus menyusuri jalan bulak yang panjang. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka, seorang perempuan berjalan seorang diri ke arah yang berlawanan. Namun kemudian perempuan itu telah berbelok melalui jalan sempit yang di sebelah-menyebelah ditumbuhi pohon jarak dan gerumbul-gerumbul perdu. Perempuan itu pun menggendong bakul dan membawa gendi. Nampaknya ia membawa kiriman bagi mereka yang bekerja di sawah yang letaknya tidak di pinggir jalan panjang itu. Wijang dan Paksi pun tidak menghiraukan lagi. Mereka berjalan terus di panasnya sinar matahari. Ketika mereka sampai di simpangan, di luar sadarnya mereka berpaling memandang ke arah perempuan yang membawa kiriman itu berbelok. Namun keduanya terkejut. Wijang dengan cepat mendorong Paksi surut sehingga terlindung gerumbul perdu yang tumbuh di pinggir jalan itu. “Apa yang terjadi?” desis Paksi. “Marilah kita lihat,” sahut Wijang. Dengan hati-hati dilambari kemampuan mereka yang tinggi, Paksi dan Wijang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan kecil itu mendekati perempuan yang membawa kiriman itu. Perempuan itu berdiri termangu-mangu. Tiga orang laki-laki muda berdiri di hadapannya. Paksi semakin terkejut ketika seorang di antara laki-laki itu berkata, “Kau Kemuning, kan?” Paksi kemudian bergeser semakin mendekat. Dari sela-sela pohon perdu Paksi sempat melihat perempuan yang membawa bakul itu. Perempuan itu memang Kemuning. Wijang pun telah bersungut pula. Dengan isyarat Paksi memberitahukan, bahwa perempuan itu adalah Kemuning. Wijang mengangguk-angguk. Tetapi keduanya masih tetap bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan sempit itu. “Siapakah kalian?” bertanya Kemuning. “Kau orang baru di Padukuhan Kembang Arum?” Kemuning mengangguk. “Nah, karena itu, aku memerlukan datang menemuimu?” berkata salah seorang dari mereka. “Kau bukan anak Kembang Arum,” berkata Kemuning. “Memang. Kami memang bukan anak muda dari Kembang Arum. Kami tinggal di Sawahan.” “Sawahan? Bukankah Padukuhan Sawahan itu agak jauh dari sini?” “Ya.” “Jadi untuk apa kalian menemuiku?” “Aku ingin memperkenalkan diri.” “Ah,” Kemuning termangu-mangu sejenak. “Kau datang jauh-jauh hanya untuk memperkenalkan diri?” “Ya. Selain itu, kami memang mempunyai sedikit keperluan.” “Apa?” “Seorang gadis dari Sawahan telah dilarikan oleh anak muda dari Kembang Arum.” “O. Apa hubungannya dengan aku?” “Aku ingin minta kau pergi ke Sawahan. Kau segera akan kami antar pulang setelah gadis Sawahan itu pulang.” “Kenapa aku?” bertanya Kemuning. Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Aku memilih gadis yang paling cantik dari Kembang Arum.” “Tetapi aku orang baru disini. Aku tidak tahu-menahu tentang gadis Sawahan yang dilarikan itu.” “Sudahlah. Nanti kau akan mengetahui persoalannya. Sekarang aku minta dengan baik-baik kau ikut kami ke Sawahan.” Kemuning tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia meletakkan gendinya di tepi jalan. Kemudian bakul yang digendongnya itu pun diletakannya pula. Ketiga orang laki-laki muda yang menghentikan Kemuning itu menjadi heran. Bahkan Paksi dan Wijang pun menjadi tegang pula. “Ki Sanak,” berkata Kemuning, “aku mengatakan bahwa aku tidak tahu-menahu tentang gadis yang dilarikan itu. Karena itu, pergilah.” Ketiga orang itu menjadi heran, bahwa Kemuning nampaknya tetap tenang. Bahkan kemudian dengan nada berat ia berkata, “Pergilah. Jangan mengganggu aku.” Seorang di antara ketiga orang yang menghentikan itu berkata, “Jangan banyak bicara. Sekarang ikut kami ke Sawahan atau kami akan memaksamu.” “Sudah aku katakan, pergilah.” “Kami akan memaksamu,” geram salah seorang dari ketiga orang itu. Kemuning memandang ketiga orang itu berganti-ganti, seorang berwajah persegi. Giginya yang besar-besar tersembul dari sela-sela bibirnya yang tebal. Alisnya yang tebal hampir bertemu di atas hidungnya. Seorang lagi berwajah licin. Senyumnya selalu nampak di sela-sela bibirnya. Namun dari pandangan matanya yang liar. Kemuning menjadi ngeri. Sedangkan kawannya berwajah kasar. Sebuah bekas luka menggores di keningnya. Rambutnya tergerai dari bawah ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja. Orang yang berwajah licin dengan senyum di bibirnya itu pun berkata, “Jangan takut, Kemuning. Kau tidak akan disakiti. Kau hanya akan disimpan di Sawahan sampai gadis yang dilarikan itu pulang. Aku akan menjagamu jika ada orang yang ingin mengganggumu. Percayalah kepadaku.” “Jangan ganggu aku,” berkata Kemuning lantang. “Sekarang pergilah. Atau aku akan memaksa kalian pergi.” Ketiga orang laki-laki muda itu saling berpandangan sejenak. Yang berwajah kasar itulah yang bertanya, “Kau mau apa?” Tetapi Kemuning tidak menjawab. Tangannyalah yang menyambar mulut orang itu. Orang yang berwajah kasar itu benar-benar terkejut. Selangkah ia bergerak mundur. “Kaulah yang telah menyakiti aku,” geram orang itu. “Sekali lagi aku minta, pergilah.” “Anak ini tidak dapat diajak berbicara dengan baik-baik,” berkata orang yang berwajah persegi. “Karena itu, maka kita harus memaksanya.” Senyum bibir orang yang berwajah licin itu tiba-tiba telah lenyap. Dengan nada tinggi ia berkata, “Lakukan apa yang kami katakan.” Tetapi Kemuning menjawab, “Kau yang harus melakukan apa yang aku katakan.” Ketiga laki-laki itu telah kehilangan kesabaran. Ketiganya pun segera meloncat mengepung Kemuning. Paksi hampir saja meloncat dari persembunyiannya. Namun Wijang telah menggamitnya, ia pun memberi isyarat agar Paksi menunggu. Yang terjadi memang mendebarkan jantung Paksi. Ketika ketiga orang itu berusaha menangkap Kemuning, maka tiba-tiba saja gadis itu melenting. Tangannya yang cepat menyambar dada seorang di antara mereka sehingga orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Kemuning tiba-tiba saja telah menyingsingkan kain panjangnya. Di bawah kain panjangnya, ternyata Kemuning mengenakan pakaian khusus. Celana berwarna gelap sampai sedikit di bawah lutut. Paksi memang menjadi berdebar-debar. Ternyata Kemuning adalah seorang gadis yang juga memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi Paksi tidak tahu, apakah gadis itu memiliki kemampuan olah kanuragan sebelum ia berada di tangan Bahu Langlang atau sesudahnya. Apakah Ki Pananggungan yang kemudian telah melatih Kemuning dalam olah kanuragan. Jika demikian, maka Kemuning itu tentu masih berada pada tataran pemula. Dengan tegang Paksi ingin menyaksikan apa yang telah terjadi. Apakah Kemuning mampu melindungi dirinya atau tidak. Sementara itu, lorong kecil itu memang terkesan sepi. Sejenak kemudian Paksi menahan nafasnya. Ketiga orang laki-laki itu mulai mencoba menangkap Kemuning. Namun Kemuning itu pun segera meloncat dengan tangkasnya. Sambil memutar tubuhnya, kakinya terayun dengan cepat, mendatar menyambar dada salah seorang dari anak muda itu. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Ia tidak mengira bahwa Kemuning mampu bergerak setangkas itu. Namun kemudian orang itu pun telah menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Sambil menggeram ia meloncat menerkam Kemuning dengan jari-jari tangannya yang mengembang. Tetapi Kemuning cukup tangkas. Ia bergeser ke samping. Ketika seorang yang lain mengayunkan tinjunya ke arah wajahnya, Kemuning merendahkan dirinya. Tangannya terjulur lurus, justru menyongsong tubuh lawannya. Dengan derasnya tangannya telah mengenai dada lawannya. Terdengar keluhan tertahan. Sementara Kemuning pun berkata, “Jika kalian tidak mau pergi, aku akan berteriak. Orang-orang yang bekerja di sawah dan mendengar teriakanku, akan segera berdatangan.” “Kau tidak akan sempat berteriak,” geram orang yang berwajah licin. “Kenapa tidak? Bukankah aku sempat berbicara panjang sekarang?” Ketika orang yang berwajah persegi menyerang dengan ayunan kakinya yang mendatar, Kemuning sempat menangkisnya. Dikibaskannya kaki itu menyamping, sehingga sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Ternyata ancaman Kemuning itu membuat orang berwajah kasar menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengira bahwa kemuning sempat memberi perlawanan. Karena itu maka ia tidak menyerang lagi. “Aku memberi kesempatan pada kalian untuk yang terakhir kalinya. Kalian akan pergi atau tidak?” Orang yang berwajah kasar itu menggeram. Namun ia pun kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu. Perhitungan orang-orang itu ternyata keliru. Kemuning sempat memberikan perlawanan. Ancamannya untuk berteriak memang membuat ketiga orang itu menjadi cemas. Mereka menduga, bahwa dengan serta-merta mereka dapat menangkap Kemuning sebelum ada orang yang mengetahuinya. Menyeretnya ke dalam semak-semak dan kemudian dengan ancaman membawanya pergi tanpa banyak kesulitan. Tetapi yang terjadi ternyata lain. Ketika ketiga orang itu kemudian bergeser menjauh, seorang di antara mereka sempat berkata, “Pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi, Kemuning.” Kemuning tidak menjawab. Dipandanginya saja ketiga orang itu dengan tajamnya. Sejenak Kemuning berdiri termangu-mangu. Kemudian ia pun segera membenahi pakaiannya. Namun sebelum Kemuning memungut gendi dan bakulnya, ia mendengar semak-semak yang tersibak. Dua orang muncul dari balik gerumbul perdu di pinggir jalan. Dengan cepat Kemuning memutar tubuhnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Kemuning itu pun mengerutkan dahinya. Diamatinya kedua orang itu dengan seksama. Dari sela-sela bibirnya kemudian terdengar Kemuning itu berdesis, “Kakang Paksi.” Paksi tersenyum. Katanya, “Kau masih mengenal aku Kemuning.” “Tentu, Kakang.” “Aku lihat bagaimana kau menakut-nakuti ketiga orang laki-laki itu.” “Ah.” “Ternyata kau memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.” “Aku hanya mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak mau pergi.” “Tetapi kau sudah mempunyai bekal untuk melindungi dirimu sekarang.” “Paman Pananggungan mengajari aku bagaimana aku harus membela diri.” “Bagus,” desis Paksi, “ternyata kemampuan itu berarti juga bagimu.” “Baru itu yang dapat aku lakukan. Sedikit meloncat dan bergeser.” “Tetapi peningkatan kemampuanmu terhitung cepat, Kemuning.” “Ah,” Kemuning tertunduk. Namun Paksi pun kemudian telah memperkenalkan Wijang. Dengan ragu Paksi itu pun berkata, “Aku datang kali ini bersama kakakku, Kemuning.” Kemuning mengangkat wajahnya. “Namanya Wijang.” Kemuning itu pun mengangguk hormat, sementara Wijang pun berkata, “Mudah-mudahan aku tidak terlalu menjemukan.” “Ah,” Kemuning justru tidak tahu apa yang harus dikatakan. Paksi lah yang kemudian bertanya, “Apakah kau akan pergi ke sawah?” “Ya, Kakang.” “Jika demikian, marilah. Kami ikut pergi ke sawah untuk menemui Paman Pananggungan.” Demikianlah, Paksi dan Wijang menemui Kemuning yang berjalan cepat ke kotak-kotak sawah yang terletak di pinggir parit induk, sehingga sawah itu tidak pernah kekurangan air di segala musim. “Paman tentu akan senang sekali,” berkata Kemuning sambil berjalan di depan. Di sepanjang jalan, Paksi ternyata lebih banyak berbicara dengan Kemuning, sehingga Wijang lebih banyak berdiam diri sambil berjalan di belakang. Sambil berjalan Paksi pun kemudian bertanya, “Apakah ayah dan ibumu sudah menyusulmu kemari?” “Ayah dan ibu tidak tahu bahwa aku ada disini.” “Tetapi jika mereka pulang dan mengetahui bahwa kau tidak ada di rumah, mereka tentu akan menyusul kemari.” “Belum tentu. Mungkin ayah dan ibu mencariku di tempat sanak kadang yang lain.” “O,” Paksi mengangguk-angguk, “kau masih mempunyai sanak kadang yang lain kecuali Paman Pananggungan.” “Menurut ayah dan ibu, masih ada beberapa orang sanak saudara kami. Ayah dan ibu pernah mengajak aku mengunjungi mereka. Pada umumnya mereka baik padaku.” “Tetapi kenapa kau justru datang kemari?” “Nampaknya Bibi merasa lebih dekat dengan Paman Pananggungan dari sanak kadang kami yang lain.” “Jika demikian, bukankah pada saat nanti ayah dan ibumu akan mencarimu kemari?” “Ya. Ayah dan ibu pada suatu saat tentu akan kemari.” Paksi mengangguk-angguk. Namun bahwa keduanya masih belum datang ke Kembang Arum adalah satu kebetulan bagi mereka berdua. Sambil menunjuk sebuah gubuk kecil yang didirikan di tepi parit induk di bawah sepasang pohon turi yang sedang berbunga, Kemuning berkata, “Di gubuk itu biasanya Paman beristirahat.” “Apakah Paman Pananggungan bekerja sendiri di sawah?” “Paman bekerja bersama dua orang pembantunya. Paman sendiri jarang pergi ke sawah ini. Paman justru lebih sering pergi ke pategalan.” “Kenapa?” “Bukankah di pategalan udaranya lebih sejuk. Terik matahari pun banyak yang tertahan oleh pepohonan yang tumbuh semakin besar. Paman menanam beberapa batang pohon buah-buahan di pategalan.” Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun berpaling ketika ia mendengar Wijang terbatuk-batuk. “Marilah. Kenapa kau berjalan lambat sekali?” Wijang pun mempercepat langkahnya. Katanya, “Seekor binatang kecil masuk ke kerongkongan.” “Apakah kau tidak dapat mengatupkan mulutmu?” “Aku sedang menguap.” “Marilah, jangan berjalan di belakang.” Wijang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah mengambil jalan pintas meniti pematang langsung menuju ke gubuk kecil di bawah sepasang pohon turi itu. Ki Pananggungan memang sudah menunggu di dalam gubuknya bersama dua orang yang membantunya bekerja di sawah. Ketika ia melihat Kemuning berjalan bersama dua orang laki-laki, dahinya telah berkerut. Namun semakin dekat, Ki Pananggungan pun mulai mengenali salah seorang dari kedua orang laki-laki itu. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dari gubuknya, menyongsong Kemuning bersama kedua orang yang datang bersamanya. “Kau, Ngger,” sapa Ki Pananggungan. “Ya, Paman.” “Marilah, duduk berdesakan di dalam gubuk kecil ini.” Kedua orang yang membantu Ki Pananggungan itulah yang mengalah. Mereka turun dari gubuk itu dan melangkah beberapa langkah menjauh. Mereka pun kemudian duduk di bawah pohon turi yang berdaun rimbun itu. Dalam pada itu, Paksi dan Wijang pun telah duduk di gubuk itu pula. Ketika Kemuning meletakkan bakulnya, maka pamannya itu pun berkata, “Biarlah kedua orang itu minum dan makan lebih dahulu. Matahari telah sampai ke puncak. Agaknya mereka telah merasa haus dan lapar. Mereka sudah bekerja sejak matahari terbit.” Kemuning pun kemudian beringsut turun. Tetapi ia masih berceritera tentang tiga orang yang mencoba mengganggunya di jalan. “Siapakah mereka itu?” bertanya Ki Pananggungan. “Apakah kau belum pernah melihat mereka? Agaknya mereka bukan anak muda dari Kembang Arum.” “Memang bukan, Paman. Menurut keterangan mereka sendiri, mereka adalah orang Sawahan.” “Tentu juga bukan orang Sawahan. Mereka hanya ingin menyembunyikan jejak mereka.” “Aku juga menduga begitu, Paman.” “Untunglah bahwa Angger Paksi telah menolongmu lagi.” Paksi lah yang menyahut, “Bukan aku, Paman. Kali ini Kemuning telah membebaskan dirinya sendiri. Ternyata ia sudah memiliki kemampuan untuk menghadapi anak-anak muda yang tidak bertanggung jawab itu.” “Ah, apa yang dapat ia lakukan?” “Aku mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak pergi,” berkata Kemuning. Ki Pananggungan tertawa. Katanya, “Satu jenis ilmu yang ternyata mampu mengusir anak-anak muda itu.” Yang lain pun tertawa pula. Kemuning juga tersenyum sambil melangkah mendekati kedua orang yang duduk di bawah pohon turi itu. “Biarlah aku menunggu, Ki Pananggungan,” berkata salah seorang dari mereka. “Makanlah dahulu,” sahut Ki Pananggungan. “Aku baru menemui tamu-tamuku.” Kedua orang itu tidak menjawab. Bahkan Kemuning telah meletakkan bakulnya di atas pematang. Sementara itu, Paksi pun telah memperkenalkan Wijang kepada Ki Pananggungan. Dengan nada rendah Paksi berkata, “Kakakku ini bernama Wijang, Paman.” Tetapi baik Paksi mau pun Wijang terkejut bukan buatan. Ki Pananggungan itu pun membungkuk hormat sambil berdesis, “Ampun, Pangeran. Aku tidak dapat menyambut kedatangan Pangeran dengan sepantasnya.” Paksi dan Wijang itu menjadi tegang. Lebih-lebih lagi Paksi merasa bertanggung-jawab. Ialah yang mengajak Wijang pergi ke Padukuhan Kembang Arum. Tetapi ia tidak menduga sama sekali, bahwa Ki Pananggungan itu dapat mengenali Pangeran Benawa. “Paman,” berkata Paksi dengan gagap, “dari mana Paman mengenali bahwa yang datang bersamaku ini adalah seorang pangeran?” “Aku pernah berada di istana Pajang, Ngger,” jawab Ki Pananggungan. “Aku pernah melihat Pangeran beberapa kali. Dan siapakah yang belum pernah mengenal Pangeran Benawa?” “Baiklah, Paman,” berkata Pangeran Benawa kemudian. “Aku tidak akan ingkar. Tetapi sebaiknya aku mohon Paman melindungi keberadaanku di tempat ini.” “Aku mengerti, Pangeran. Itulah sebabnya aku minta Kemuning membawa kirimannya kepada kedua orang yang membantuku bekerja di sawah ini. Aku berharap bahwa mereka tidak mendengar pembicaraan kita disini.” Paksi pun kemudian berkata, “Paman. Sebaiknya kami berterus-terang. Pangeran Benawa sedang berada dalam penyamaran. Ia ingin mengembara untuk dapat menyaksikan kehidupan yang nyata dari rakyatnya. Bukan sekedar laporan dari para pemegang pemerintahan di segala tataran, bahwa semuanya berjalan dengan baik.” “Aku berjanji untuk tidak membuka rahasia ini.” “Apalagi para pemimpin dari beberapa perguruan sedang memburunya. Bahkan mungkin juga termasuk Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung.” “Kau sudah bertemu dengan mereka?” bertanya Ki Pananggungan. “Tidak secara langsung, Paman.” Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau belum mengatakan kepada Kemuning?” “Tidak, Paman. Kami tidak mengatakannya.” Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Paksi pun berceritera tentang kedua orang tua angkat Kemuning itu, namun yang dianggapnya sebagai orang tuanya sendiri. “Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati sedang mencari Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung. Mereka menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung.” Ki Pananggungan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Siapa yang dapat menahan Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tidak terbatas itu.” “Ah, Paman terlalu berlebihan.” “Aku berkata sebenarnya, Pangeran. Hanya Kangjeng Sultan dan Raden Sutawijaya sajalah yang dapat menyamai tataran ilmunya. Mungkin Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi.” “Tentu tidak, Paman. Ilmuku belum seberapa. Masih belum lebih tinggi dari ilmu Paksi.” “Pangeran tentu merendah. Maksudku, hanya beberapa orang sajalah yang mampu mengimbangi kemampuan Pangeran. Memang mungkin ada orang-orang berilmu tinggi yang tersembunyi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmu Pangeran Benawa hampir tidak bercela.” “Paman akan kecewa jika Paman melihat kenyataanku yang tidak lebih baik dari Paksi. Tetapi sudahlah, kita akan berbicara tentang sawah Paman yang subur ini,” berkata Pangeran Benawa kemudian. “Ya, Pangeran. Namun satu hal yang ingin aku katakan, bahwa keberadaan Pangeran di luar istana, serta kabar tentang hilangnya cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu, menjadi jelas bagiku sekarang. Sebenarnyalah Pangeran harus berhati-hati membawakan diri. Apalagi beberapa orang telah mencari Pangeran, yang tentu dihubungkan dengan cincin yang tidak ada di bangsal pusaka itu.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang begitu, Paman. Terima kasih atas peringatan Paman.” Sementara itu, Paksi pun berkata, “Dalam pengembaraan ini, silahkan Paman memanggilnya Wijang.” “Wijang.” Ki Pananggungan mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku akan memanggil Pangeran, Angger Wijang.” Pembicaraan mereka pun terhenti sejenak. Kemuning telah membenahi mangkuk yang dipergunakan oleh kedua orang yang membantu Ki Pananggungan bekerja di sawah. Kemuning itu pun kemudian bangkit berdiri dan melangkah mendekati gubuk itu sambil bertanya, “Bagaimana dengan Paman?” “Aku akan pulang saja Kemuning. Aku akan makan di rumah bersama Angger Wijang dan Angger Paksi.” Dengan demikian, maka Kemuning pun segera memasukkan isi bakulnya kembali. Tetapi salah seorang dari kedua orang yang membantu bekerja di sawah pamannya itu berkata, “Tinggalkan saja gendinya, Nduk.” “Baik, Paman,” jawab Kemuning, “tetapi jangan lupa, nanti bawa gendinya pulang.” Kedua orang itu tersenyum. Salah seorang dari mereka menjawab, “Jika aku lupa, besok kau tidak usah mengirim minuman kemari.” “Jika bukan aku yang pergi ke sawah?” “Siapa pun yang pergi.” “Tanpa gendi dan tanpa bakul?” “Ah. Nanti kami tidak kuat mengangkat cangkul setelah matahari sampai di puncak.” Kemuning pun tertawa pula. Namun kemudian ia minta diri, “Sudah, Paman. Aku akan pulang bersama Paman Pananggungan serta kedua orang tamu itu.” “He, siapakah tamunya, Nduk? Tamu Ki Pananggungan atau tamumu?” Kemuning mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Tentu tamu Paman Pananggungan.” Kedua orang itu tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Demikianlah, maka Ki Pananggungan bersama Kemuning dan kedua orang tamunya telah meninggalkan gubuk kecil itu menuju ke Padukuhan Kembang Arum. Ketika mereka sampai di rumah Ki Pananggungan, maka Paksi pun telah disambut dengan gembira oleh Nyi Pananggungan dan Nyi Permati. Bersama Wijang, maka Paksi pun telah dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun kepada Nyi Pananggungan, suaminya menyebut tamunya yang seorang lagi sebagai kakak Paksi yang bernama Wijang. Kemuning yang kemudian pergi ke dapur telah memberitahukan kepada Nyi Pananggungan bahwa Ki Pananggungan masih belum makan di sawah. Pamannya itu ingin makan di rumah bersama kedua orang tamunya. Nyi Pananggungan pun kemudian menjadi sibuk mempersiapkan makan bagi suaminya dan kedua orang tamunya dibantu oleh Kemuning. Sementara itu Nyi Pananggungan minta agar Nyi Permati ikut menemui tamunya di pringgitan. “Aku menyempatkan diri untuk singgah,” berkata Paksi kepada Nyi Permati yang menemuinya bersama Ki Pananggungan. “Kami senang sekali menerima kunjungan Angger berdua,” berkata Nyi Permati. “Aku kira, Bibi sudah tidak ada disini.” “Kemana?” “Aku kira ayah dan ibu Kemuning sudah menyusul kemari.” “Mereka tidak tahu bahwa aku dan Kemuning berada disini.” “Tetapi jika mereka mencari, pada suatu hari tentu akan datang kemari.” Nyi Permati mengangguk. Namun kemudian ia berdesis, “Aku berdoa, mudah-mudahan keduanya tidak mencari Kemuning. Aku berharap agar keduanya mengembara saja tanpa pernah pulang.” “Tetapi bukankah mereka mencintai Kemuning?” Paksi tidak bertanya lagi. Sementara minuman pun telah dihidangkan. Minuman yang masih mengepulkan asap putih yang tipis. “Marilah, Ngger. Silahkan minum mumpung masih hangat,” Ki Pananggungan pun mempersilahkan. Paksi dan Wijang pun telah mengangkat mangkuknya dan menghirup minumannya yang membuat keringat mereka semakin banyak membasahi pakaian mereka. Sementara itu, maka Kemuning pun telah menghidangkan nasi dan lauk-pauknya pula. Meskipun mereka mempersiapkan makan siang itu dengan sedikit tergesa-gesa, namun bagi Paksi dan Wijang, hidangan itu sudah lebih dari cukup. Nyi Permati pun kemudian mempersilahkan mereka makan, sementara Nyi Permati telah meninggalkan mereka masuk ke ruang dalam. Sambil makan Ki Pananggungan pun berkata, “Nyi Permati berharap bahwa kedua orang tua angkat Kemuning itu tidak datang untuk mengambil Kemuning.” “Tetapi bukankah mereka bersikap baik di rumah? Mereka mengajari Kemuning melakukan hal-hal yang baik dan berarti?” “Tetapi pada suatu saat, akhirnya Kemuning akan mengetahui juga.” “Mengetahui bahwa ia bukan anak kandung kedua orang yang dianggap orang tua sendiri itu?” “Bukan itu. Akhirnya Kemuning akan tahu, apa yang sering dikerjakan oleh kedua orang tua angkatnya. Dengan demikian, maka hati gadis itu pada suatu saat akan hancur.” Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Tetapi agaknya sulit bagi Kemuning melepaskan diri dari kedua orang yang sudah dianggap orang tuanya sendiri itu. Nyi Permati agak terlambat menyadari keadaan Kemuning serta hari depannya. “Bagaimana dengan Ki Pananggungan sendiri?” bertanya Paksi. “Bagiku, aku sama sekali tidak berkeberatan jika Kemuning tetap berada disini. Tetapi agaknya keberadaannya disini juga menimbulkan persoalan seperti yang baru saja terjadi tadi ketika Kemuning pergi ke sawah.” “Apakah itu akan menjadi persoalan yang berkepanjangan?” “Mudah-mudahan tidak. Tetapi jarang gadis-gadis padukuhan mempunyai keberanian seperti Kemuning.” “Apa salahnya,” desis Paksi. “Ia akan dapat menarik perhatian banyak orang. Tetapi aku tidak akan berhenti. Aku ingin Kemuning memiliki kemampuan yang akan dapat menjadi pelindung bagi dirinya sendiri.” Paksi mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Wijang, maka Wijang masih sibuk menyuapi mulutnya. Sekali-sekali ia berdesis kepedasan. Tetapi ia masih saja mengambil sambal terasi. Paksi tersenyum melihat bibir Wijang yang merah. Tetapi Wijang memang senang sekali makan sambal. Sementara itu Ki Pananggungan pun berkata, “Aku berharap kau tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Juga kepada Pangeran Benawa aku mohon untuk bersedia tinggal disini untuk beberapa hari.” Wijang mengusap bibirnya yang terasa agak panas. Sekilas ia memandang Paksi yang sedang mengunyah makanannya. Paksi sengaja membiarkan Wijang menjawab lebih dahulu. Setelah meneguk minumannya, maka Wijang itu pun berkata, “Sebenarnya aku tidak berkeberatan, Paman. Kami berdua memang pengembara yang tidak mempunyai tujuan tertentu, sehingga karena itu, kami sama sekali tidak terikat oleh waktu. Tetapi jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung datang ke tempat ini, maka suasananya akan dapat berubah.” “Tetapi bukankah keduanya belum mengenal kalian?” “Memang belum, Paman. Tetapi jika mereka mulai memperhatikan kami, maka kemungkinan buruk dapat terjadi.” Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Katanya, “Tetapi bukankah keduanya belum pasti akan datang kemari? Seandainya mereka datang kemari, maka demikian mereka datang, kalian berdua dapat meninggalkan tempat ini sebelum terjadi benturan-benturan yang tidak kita kehendaki.” Wijang memandang Paksi sejenak. Katanya, “Terserah kepada Paksi.” Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu, jika kita tinggal disini barang dua tiga hari?” Wijang tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku tidak berkeberatan. Tetapi aku harap kau selalu ingat, bahwa banyak orang yang kemudian memburu Pangeran Benawa. Agaknya sikap Harya Wisaka itu menimbulkan gejolak baru bagi para pemimpin perguruan yang terlalu bernafsu untuk memiliki masa depan yang terbaik itu.” Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Maksudmu, tentu Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga sudah mendengar bahwa Harya Wisaka sedang memburu Pangeran Benawa.” “Ya,” jawab Wijang. “Baiklah. Aku tidak akan pernah melupakannya.” “Mudah-mudahan penyamaran Pangeran tidak akan dapat dikenal orang.” “Beberapa orang yang mengenal aku dengan baik berada di pihak Paman Harya Wisaka.” Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Sekilas Wijang telah menceriterakan sikap Harya Wisaka yang sedang memburu Pangeran Benawa. “Tetapi apa artinya Harya Wisaka bagi Pangeran Benawa.” “Paman Harya Wisaka tidak sendiri. Ia agaknya telah menguasai sekelompok prajurit pilihan serta prajurit sandi.” “Siapakah yang telah membantu Harya Wisaka itu, Pangeran?” Wijang memang menjadi ragu ragu. Namun kemudian ia pun berdesis, “Yang aku ketahui langsung adalah Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan.” Ki Pananggungan terkejut mendengar nama itu. Di luar sadarnya ia pun bertanya, “Apakah Pangeran tidak keliru?” “Tidak, Paman. Aku dan Paksi melihat langsung. Tidak hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Bahkan Paksi pernah dibelikan dawet cendol di pasar.” Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengenal Ki Rangga Suraniti. Sebenarnyalah Pangeran, aku pernah menjadi seorang prajurit di Pajang. Tetapi justru setelah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu bersama ayahandanya, Ki Gede Pemanahan serta Ki Penjawi, menewaskan Harya Penangsang, aku mengundurkan diri. Meskipun demikian, aku masih sering pergi ke istana. Aku masih akrab dengan beberapa orang prajurit, termasuk Ki Rangga Suraniti. Meskipun aku sudah bukan prajurit, tetapi aku masih sering membantu tugas-tugas sandi. Baru pada saat-saat terakhir ini aku benar-benar ingin beristirahat dan berada di lingkungan keluargaku.” Ki Pananggungan berhenti sejenak. Namun kemudian ia pun melanjutkannya, “Menurut pendapatku, Ki Rangga Suraniti adalah seorang prajurit yang baik. Ia sudah menunjukkan pengabdian yang besar bagi Pajang.” “Sikap seseorang dapat saja berubah, Paman. Tetapi semula aku juga tidak percaya, bahwa Ki Rangga Suraniti bekerja bersama dengan Paman Harya Wisaka memburu Pangeran Benawa.” “Kenapa Pangeran tidak kembali saja ke istana? Bukankah pengembaraan Pangeran dapat dilanjutkan pada kesempatan lain, setelah Pangeran membuat penyelesaian dengan Harya Wisaka?” “Aku tidak tahu, apakah jika hal itu aku sampaikan kepada ayahanda dan para pemimpin di Pajang, mereka dapat mempercayainya. Sementara itu, aku tahu benar, bahwa Paman Harya Wisaka adalah seorang yang licik.” Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Katanya, “Apakah Ki Rangga Suraniti tidak dapat mengenali Pangeran?” “Aku selalu menghindar, Paman. Ki Rangga Suraniti belum pernah melihat aku berkeliaran di sisi selatan kaki Gunung Merapi ini.” “Satu keterangan yang sangat menarik, bahwa Ki Rangga Suraniti terlibat dalam usaha Harya Wisaka. Aku sendiri belum mengenal Harya Wisaka dengan baik. Tetapi aku mengerti, bahwa Harya Wisaka memang seorang yang keras hati. Jika pada tempatnya, keras hati dapat berarti sikap yang baik. Tetapi jika mengetrapkannya keliru, akibatnya seperti tingkah-laku Harya Wisaka itu.”

.
  • ldvac27rlz.pages.dev/600
  • ldvac27rlz.pages.dev/843
  • ldvac27rlz.pages.dev/966
  • ldvac27rlz.pages.dev/753
  • ldvac27rlz.pages.dev/446
  • ldvac27rlz.pages.dev/983
  • ldvac27rlz.pages.dev/214
  • ldvac27rlz.pages.dev/935
  • ldvac27rlz.pages.dev/505
  • ldvac27rlz.pages.dev/517
  • ldvac27rlz.pages.dev/923
  • ldvac27rlz.pages.dev/493
  • ldvac27rlz.pages.dev/855
  • ldvac27rlz.pages.dev/862
  • ldvac27rlz.pages.dev/641
  • jejak di balik kabut 10