ArticlePDF AvailableAbstractAustralia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi Tahun 1951 sehingga mewajibkan Australia menerapkan prinsip Non-Refoulement dan mengharuskan Australia bersikap simpati dan membuka wilayahnya untuk pengungsi dan pencari suaka dari negara lain. Tulisan ini membahas perkembangan kebijakan politik luar negeri Australia yang semakin sensitif terkait penanganan pengungsi dan pencari suaka. Kebijakan yang menerapkan prinsip Non-Refoulement kemudian berkembang menjadi kebijakan sekuritisasi migrasi. Dilema kebijakan ini terkait karakteristik pemimpin nasional serta orientasi ideologis yang dianutnya. Pada umumnya Pendana Menteri dari Partai Buruh lebih progresif terhadap para pengungsi dan pencari suaka, dibandingkan kebijakan Perdana Menteri dari Partai Liberal yang konservatif. Australia juga sangat memperhitungkan dinamika lingkungan eksternal khususnya yang berkaitan dengan situasi keamanan regional di Asia Tenggara. Kebijakan Australia yang dianggap bertentangan dengan prinsip Non-Refoulement menuai banyak kritik dari dunia internasional. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeAuthor contentAll content in this area was uploaded by M. Elfan Kaukab on Jan 30, 2021 Content may be subject to copyright. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 28 DILEMA POLITIK LUAR NEGERI AUSTRALIA DALAM PENANGANAN PENGUNGSI DAN PENCARI SUAKA Skolastika G. Maing 1, M. Elfan Kukab 2 1,2 Hubungan Internasional Program Magister, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 1 Email 2 Email elvankaukab Riwayat Artikel Diterima 19 November 2020 Disetujui 21 Desember 2020 Australia merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi Tahun 1951 sehingga mewajibkan Australia menerapkan prinsip Non-Refoulement dan mengharuskan Australia bersikap simpati dan membuka wilayahnya untuk pengungsi dan pencari suaka dari negara lain. Tulisan ini membahas perkembangan kebijakan politik luar negeri Australia yang semakin sensitif terkait penanganan pengungsi dan pencari suaka. Kebijakan yang menerapkan prinsip Non-Refoulement kemudian berkembang menjadi kebijakan sekuritisasi migrasi. Dilema kebijakan ini terkait karakteristik pemimpin nasional serta orientasi ideologis yang dianutnya. Pada umumnya Pendana Menteri dari Partai Buruh lebih progresif terhadap para pengungsi dan pencari suaka, dibandingkan kebijakan Perdana Menteri dari Partai Liberal yang konservatif. Australia juga sangat memperhitungkan dinamika lingkungan eksternal khususnya yang berkaitan dengan situasi keamanan regional di Asia Tenggara. Kebijakan Australia yang dianggap bertentangan dengan prinsip Non-Refoulement menuai banyak kritik dari dunia internasional. Kata Kunci Australia, kebijakan, pengungsi, non refoulement, sekuritisasi migrasi. Riwayat Artikel Received November 19, 2020 Accepted December 21, 2020 Australia is one of the countries that signed the 1951 Refugee Convention, which obliges Australia to apply the non-refoulement principle and requires Australia to be sympathetic and open its territory to refugees and asylum seekers from other countries. This paper discusses the development of Australia's increasingly sensitive foreign policy regarding the handling of refugees and asylum seekers. Policies that apply the principle of non-refoulement then develop into migration securitization policies. This policy dilemma is related to the characteristics of the national leader and the ideological orientation he adopts. In general, Labor Ministers are more progressive towards refugees and asylum seekers than the policies of the Prime Ministers of the conservative Liberal Party. Australia also really takes into account the dynamics of the external environment, especially with regard to the regional security situation in Southeast Asia. Australia's policy which is considered contrary to the principle of non-refoulement has drawn a lot of criticism from the international community. Key words Australia, policy, refugees, non-refoulement, migration securitization. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 29 1. PENDAHULUAN Australia merupakan negara yang menjadi salah satu negara tujuan para pegungsi dan pencari suaka di dunia, khususnya yang berasal dari Asia dan Afrika. Kedatangan para pengungsi dan pencari suaka ke Australia melalui dua jalur yaitu dengan menggunakan pesawat dan melalui jalur laut dengan menggunakan perahu atau kapal laut. Para imigran yang datang menggunakan perahu kemudian disebut dengan boat people atau manusia perahu. Pada umumnya boat people merujuk pada pencari suaka atau asylum seeker yang datang untuk memperoleh suaka di Australia. Sebagian besar dari mereka berasal dari negara konflik seperti Afghanistan, Iraq, Iran dan Sri Lanka. Peningkatan yang signifikan terkait jumlah pengungsi dan pencari suaka di Australia. Parliament Library mencatat angka kedatangan boat people meningkat dari angka menjadi orang atau meningkat sebesar 65% pada pada periode 2009-2013 Phillips, 2014. Akibat peningkatan angka ini, banyak pihak menganggap kedatangan pengungsi dan pencari suaka tidak hanya mengancam Australia dalam spektrum kedaulatan negara, tetapi nilai sosial budaya, ancaman serangan terorisme hingga ancaman terhadap nilai dan identitas asli masyarakat Australia McDonald, 2005; McMaster, 2002. Adanya ancaman yang sangat kompleks ini menyebabkan Australia mulai mengubah kebijakannya terkait penanganan pengungsi dan pencari suaka. Kewajiban Australia memberi perlindungan internasional bagi para pengungsi dan pencari suaka sebagai akibat dari penandatangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Australia menerapkan prinsip Good International Citizenship terkait kebijakan luar negerinya dalam upaya menangani pengungsi dan pencari suaka. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai-nilai kemasyarakatan memiliki peran di dalam penentuan kepentingan nasional. Berbeda dari kepentingan strategis atau kepentingan perdagangan, yang cenderung bersifat self-oriented, good international citizenship adalah sebuah prinsip yang mengacu kepada nilai-nilai kemasyarakatan dalam pengaplikasiannya. Good international citizenship merupakan sebuah prinsip kebijakan luar negeri Australia yang didasarkan kepada nilai-nilai moral dan hak asasi manusia-sebuah derivasi dari pemikiran kaum idealis akan tatanan dunia yang harmonis Evans, 2004. Dengan penerapan prinsip good international citizenship, Australia merespon pergerakan para pengungsi dan pencari suaka dengan simpati dan membuka perbatasan secara luas. Selain merupakan tanggung jawab internasional Australia, para pengungsi dan pencari suaka dengan produktivitas tinggi diharapkan dapat memberikan dampak positif yaitu menjadi kekuatan untuk membangun perekonomian Australia. Pemerintah Australia juga memiliki kewajiban untuk menyediakan anggaran khusus dan memberikan uang saku sebagai tunjangan dan sewa akomodasi bagi para pengungsi Phillips & Spinks, 2013. Namun setelah tahun 2001, Pemerintah Australia mulai mengadopsi berbagai aksi perlindungan perbatasan dalam rangka mencegah aksi penyelundupan manusia sebagai respon dari lonjakan arus para pengungsi dan pencari suaka yang memberikan dampak keamanan, sosial ekonomi dan beban finansial kepada pemerintah. Perubahan prinsip yang cenderung mempengaruhi kebijakan luar negeri Australia ini menunjukan adanya dilema terkait penanganan isu pengungsi dan pencari suaka di Australia. Dilema yang dihadapi ini utamanya terjadi pada aspek ideasional, di mana perkembangan prinsip good international citizenship cenderung dekat dengan kebijakan Partai Buruh, sedangkan pemerintah Australia di bawah Partai Liberal memiliki cara yang berbeda dalam memahami prinsip tersebut. Faktor dilematik ini semakin signifikan pada tahun 2013-2018 dibawah pemerintahan Tony Abbott dan Malcolm Turnbull yang kemudian dilanjutkan oleh Perdana Menteri yang baru Scoot Jhon Morrison yang merupakan tokoh politik Partai Liberal. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang di atas penulis mengajukan pertanyaan penelitian Mengapa Australia mengalami dilema implementasi politik luar negeri terkait penanganan pengungsi dan pencari suaka? Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 30 2. LITERATURE REVIEW Sebagai salah satu negara tujuan para pengungsi dan pencari suaka, permasalahan migrasi bukanlah isu baru di Australia. Meningkatnya jumlah pengungsi dan pencari suaka dari waktu ke waktu menimbulkan dua tujuan yang harus dicapai oleh Australia. Di satu sisi Australia memiliki kewajiban internasional dalam perlindungan pencari suaka karena telah meratifikasi Konvensi PBB 1951 sejak tahun 1954, dan di sisi lain Australia juga berupaya menjaga integritas perbatasan negaranya. Kondisi ini ditanggapi secara berbeda dalam berbagai periode kepemimpinan Perdana Menteri yang berbeda. Tidak heran dalam kajian keilmuan sudah banyak tulisan terkait isu tersebut. Salah satu hasil penelitian yang ditulis oleh Nurul Azizah Zayda berjudul Sekuritisasi Migrasi Paksa Pengungsi Lintas Batas di Indonesia yang disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang menjelaskan sekuritisasi migrasi merupakan konstruksi isu migrasi sebagai sebuah isu keamanan, apakah itu merujuk pada keamanan sosial-ekonomi, keamanan tradisional negara, ataupun identitas negara. Pada dasarnya di dalamnya juga terdapat proses simbolik yang menciptakan atau menegaskan retorika mengenai eksklusivitas komunitas politik. Sudah banyak terdapat studi mengenai sekuritisasi migrasi di negara barat yang berakibat pada pembatasan migrasi, bahkan mengaitkan kontra-terorisme dengan dengan pembatasan hak pengungsi lintas-batas Zayzda, 2017. Upaya sekuritisasi terhadap pengungsi dan pencari suaka di Australia terwujud dalam kebijakan unilateral pasca pemilihan umum tahun 2013. Hal ini ditulis oleh Fakhrul Rizal Razak dalam jurnal berjudul Kebijakan Uniteral Penanganan Imigran Ilegal Australia pasca Pemilihan Umum Australia Tahun 2013 yang dipublikasi dalam Global Jurnal Politik Internasional Universitas Indonesia. Tulisan ini menganalisis pengambilan kebijakan militer dalam menanggulangi isu imigran ilegal di Australia pasca Pemilu Australia tahun 2013. Dengan menggunakan strands of securitization, tulisan ini menjelaskan tujuan apa saja yang ingin dicapai oleh aktor sekuritisasi dari sekuritisasi isu imigran ilegal di Australia. Temuan tulisan ini menunjukan bahwa sekuritisasi yang dilakukan sejak masa kampanye hingga Pemerintahan Tony Abbot ditujukan untuk mengangkat isu imigran ilegal dalam agenda keamanan nasional karena kedaruratan isu ini dan legitimasi atas diambilnya tindakan luar biasa melalui Operation Sovereign Borders untuk mengeliminir ancaman dari kedatangan imigran ilegal ke Australia Razak, 2018. Konsep sekuritasi yang digunakan dalam menentukan kebijakan tersebut dikemukakan oleh Dinda Ayu Saraswati dalam tulisannya yang berjudul Sekuritisasi Migrasi Australia pada Masa Kepemimpinan Perdana Menteri Malcolm Turnbull yang dimuat dalam Journal of International Relations Universitas Diponegoro. Upaya sekuritisasi migrasi dilakukan oleh pemerintahan Perdana Menteri Malcolm Turnbull sebagai securitization actor. Securitization actor kemudian menggunakan speech act melalui berbagai media resmi pemerintah untuk mengartikulasikan isu migrasi sebagai ancaman. Upaya speech act yang dilakukan oleh Perdana Menteri Malcolm Turnbull begitu mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan perbatasan dan pemenuhan kewajiban internasional, mengingat terdapat krisis pengungsi yang terjadi tepat sebelum masa pemerintahannya dimulai. Speech act tersebut mendapat respon dari mayoritas masyarakat sebagai audience sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemerintah, sehingga dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan darurat yang diperlukan untuk mengatasi isu yang sudah dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional Australia sebagai referent object Saraswati, 2019. Perubahan pola kebijakan yang didasari dengan konsep sekuritasi imigran, menyebabkan adanya dilema kebijakan terkait penerapan prinsip good international citizenship. Dilema terkait terkait implementasi kebijakan tersebut dianalisa oleh Ni Luh Made Aprilia Marisa dalam jurnal berjudul Dilema Pemerintah Australia dalam Implementasi Prinsip Good International Citizenship pada Kebijakan terkait Pengungsi dan Pencari Suaka pada masa Pemerintahan Tony Abbott dan Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 31 Malcolm Tumbull. Tulisan ini menganalisa dilema yang dihadapi ini utamanya terjadi pada aspek ideasional, di mana perkembangan prinsip good international citizen cenderung dekat dengan kebijakan Partai Buruh, sedangkan pemerintah Australia di bawah Partai Liberal memiliki cara yang berbeda dalam memahami prinsip tersebut. Dilema ini berpengaruh pada kebijakan pemerintah Australia terkait pengungsi dan pencari suaka. Dalam usahanya menghadapi dilema ini, alih- alih mengubah kebijakannya sesuai dengan opini publik, pemerintah Australia melakukan issue framing Marisa, 2018. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang terkait dengan kebijakan dan konsep sekuritisasi migrasi di Australia, dalam tulisan ini penulisfokus pada dilema implementasi politik luar negeri Australia terkait penanganan pengungsi dan pencari yang dilakukan penulis dari masa Perdana Menteri Jhon Howard hingga Scott Morrison dengan menggunakan teori idealis untuk melihat prinsip Good International Citizenship dalam kebijakan luar negeri Australia, dan teori konstruktivis untuk melihat dilema implementasi kebijakan tersebut. Pada bagian akhir dari tulisan ini, penulis menambahkan penjelasan terkait kritik dunia internasional terhadap kebijakan Australia dalam menangani pengungsi dan pencari suaka. Dilema implementasi kebijakan yang dialami oleh Australia terkait penanganan pengungsi dan pencari suaka menggunakan dua teori yang notabene justru bersebrangan yaitu idealis dan konstruktivis. Idealis dideskripsikan sebagai paham yang didasarkan pada keyakinan bahwa niat baik sebuah negara dapat dipercaya Doyle & G. Jhon Ikenberry, 1997. Idealisme dalam kebijakan luar negeri adalah pemahaman bahwa sebuah negara harus menjadikan pemikiran politik dalam negerinya sebagai tujuan kebijakan luar negerinya. Penggunaan prinsip Good International Citizenship dalam kebijakan luar negeri Australia didasarkan kepada nilai-nilai moral dan hak asasi manusia. Prinsip ini sebagai sebuah derivasi dari pemikiran kaum idealis akan tatanan dunia yang harmonis. Prinsip ini pertama kali disebutkan oleh Gareth Evans, Menteri Luar Negeri Australia tahun 1988-1996, yang merupakan tokoh politik Partai Buruh. Terkait dengan masalah pengungsi dan pencari suaka, Australia didorong dengan alasan kemanusiaan untuk membantu pengungsi, memberikan makanan dan tempat tinggal serta adanya keinginan untuk mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang. Selain itu, prinsip ini juga menunjukan komitmen Australia untuk melindungi hak asasi manusia yang terancam di manapun mereka berada. Idealis masih memiliki celah dimana Australia dalam perkembangannya kemudian menerapkan isu sekuritisasi migrasi dalam implementasi kebijakan penanganan pengungsi dan pencari suaka. Dari sinilah teori Konstruktivis masuk untuk menjelaskan. Konstruktivis berargumen bahwa sistem nilai, keyakinan dan gagasan bersama sebenarnya juga memiliki karakteristik struktural dan menentukan tindakan sosial maupun politik. Sumber-sumber material sebenarnya hanya bermakna bagi tindakan atau perilaku melalui struktur nilai atau pengetahuan bersama Wendt, 1999. Di samping itu, struktur normatif dan ideasionallah yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik. Kepentingan sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik bukan menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut. Konstruktivis menekankan pada sumber-sumber munculnya kepentingan, yakni bagaimana aktor-aktor politik mengembangkan kepentingan-kepentingan dan agen saling menentukan satu sama lain. Konstruktivis pada dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material terhadap identitas dan kepentingan serta pada saat yang bersamaan, menekankan peran praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya, meskipun sangat menentukan identitas aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa adanya tindakan-tindakan aktor-aktor politik. Teori konstruktivisme dan perspektif konstruktivis telah digunakan dalam studi keamanan internasional dalam menjelaskan isu-isu seperti hak asasi manusia, identitas, dan globalisasi. Dalam kasus penanganan pengungsi Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 32 dan pencari suaka di Australia, ditemukan adanya pengkonstruksian isu migrasi menjadi sebuah isu keamanan sekuritisasi. Dalam hubungan internasional, sekuritisasi merupakan teori yang berkembang seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap studi keamanan kontemporer. Teori sekuritisasi ini dikembangkan oleh Barry Buzan yang menyebutkan ada beberapa hal yang menjadi faktor kesuksesan proses sekuritisasi yaitu bagaimana mengidentifikasi ancaman, meyakinkan pendengar untuk menerima kredibilitas dari ancaman tersebut, serta pengambilan langkah-langkah yang luar biasa sebagai respon dari ancaman tersebut Buzan, 1998. Aktor dalam konstruksi isu sekuritisasi migrasi adalah pemerintah Australia dengan mengidentifikasi ancaman dari kedatangan pengungsi dan pencari suaka ke Australia. Dampak dari peningkatan jumlah pengungsi dan pencari suaka ini kemudian disuarakan untuk menyakinkan rakyat Australia bahwa ini menjadi ancaman serius bagi kedaulatan Australia karena selain membawa dampak sosial dan ekonomi, para Ilegal Maritime Arrivals IMA juga menganggu wilayah perbatasan Australia. Oleh karena itu, pemerintah mengambil langkah-langkah serius dalam membatasi para pengungsi dan pencari suaka untuk masuk ke Australia. 3. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pola eksplanatif. Penulis melakukan analisis dengan data sekunder untuk menjawab rumusan masalah yang ada. Sumber data yang digunakan adalah buku-buku mengenai ilmu hubungan internasional yang akan mendukung analisis konseptual, serta buku, jurnal, laporan, sumber daring, dan liputan dari majalah ataupun koran terkait kebijakan-kebijakan Autralia dalam menangani isu pengungsi dan pencari suaka, disertai dengan materi-materi pendukung lainnya. Sumber-sumber tersebut diolah dan dipilih secara selektif sehingga kredibilitas datanya dapat dipercaya. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Australia, sebagai negara peratifikasi United Nations 1951 Convention Relating to the Status of Refugees, memiliki tanggung jawab internasional untuk menerapkan prinsip non refoulement yang merupakan inti dari prinsip perlindungan internasional bagi pengungsi dan pencari suaka. Prinsip Non Refoulement adalah prinsip larangan suatu negara untuk menolak, mengembalikan atau mengirimkan pengungsi ke suatu wilayah tempat dia akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat membahayakan hidupnya seperti penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam sebuah organisasi sosial tertentu, atau karena keyakinan politiknya. Tindakan suatu negara menolak pengungsi atau bahkan memulangkan kembali mereka secara paksa merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip hukum internasional ini. Hal ini juga merupakan tindakan pengingkaran komitmen masyarakat internasional untuk memberikan kontribusi terhadap penyelesaian permasalahan yang terkait dengan pengungsi yang telah dibuktikan dengan ditandatanganinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Status Pengungsi Nurcahyawan & Andika, 2017. Sejalan dengan prinsip Non Refoulement, kebijakan luar negeri Australia pada masa itu menerapkan prinsip Good International Citizenship dalam segala aspek termasuk penanganan pengungsi dan pencari ini menyebabkan Australia membuka perbatasannya dan menjadi “tuan rumah” yang baik bagi para pengungsi dan pencari suaka. Menurut pandangan idealis, kebijakan luar negeri Australia terbentuk karena adanya nilai-nilai dari kepentingan nasional Australia yang diwujudkan dalam kepentingan internasional. Nilai nilai tersebut terkait kemanusiaan dan perlindungan terhadap HAM. Namun dalam perkembangannya, dilema terjadi dalam implementasi kebijakan yang diambil dari masing-masing Perdana Menteri Australia sebagai aktor jumlah pengungsi dan pencari suaka yang berdampak kepada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Australia, menyebabkan adanya implementasi kebijakan yang tidak Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 33 mengedepankan prinsip Good International Citizenship. Australia mulai mengkonstruksi isu imigran menjadi isu keamanan sekuritisasi yang menganggu kedaulatan melihat faktor dilema dari setiap kebijakan Perdana Menteri tersebut, maka penulis membahas terkait ideologi Partai Liberal dan Partai Buruh di Australia, bagaimana kebijakan Pemerintah Australia terkait penanganan pengungsi dan pencari suaka, sertakritik internasional terhadap kebijakan Australia tersebut. Ideologi Partai Liberal dan Partai Buruh Australia Australia merupakan negara demokratis parlementer yang mengadaptasi sistem Westminster Parliament seperti di menggunakan sistem kepartaian multipartai, tetapi dalam kenyataannya terdapat dua partai besar yang merepresentasikan dua kekuatan mayoritas preferensi politik di Australia yaitu Partai Liberal-Nasional koalisi dua partai yaitu Partai Liberal dan Partai Nasional dan Partai Buruh Australia Australian Labour Party. Kedua partai ini silih berganti memenangi pemilu dan menempati posisi strategis sebagai Perdana Menteri Australia. Dari hal ini, partai politik memegang peranan penting dalam mewujudkan kebijakan pemerintahan Australia. Namun peranan Perdana Menteri juga tidak kalah penting, karena merupakan representasi dari kekuatan politik partai yang sedang berkuasa di parlemen Trinawati, 2013. Partai Buruh dan Partai Koalisi Liberal-Nasional memiliki perbedaan ideologis yang jelas karena terbentuk dari sejarah sosial politik Australia yang panjang. Partai Liberal memiliki ideologi yang mendukung hak-hak individu serta menekankan hak-hak dan kebebasan mereka. Namun, ideologi partai ini bersifat lebih umum dan filosofis. Partai ini dapat dikatakan konservatif cenderung mempertahankan yang sudah ada. Arah kebijakan politik luar negerinya mempertahankan hubungan keterikatan dengan negara-negara barat seperi Amerika Serikat dan Inggris. Pandangan Partai terhadap konstitusi adalah anti terhadap gerakan perubahan terhadap konstitusi yang sedang merebak saat ini. Dimana pemimpin Partai memiliki peranan yang cukup dominan dalam memutuskan suatu kebijakan, termasuk dalam kebijakan luar negeri. Partai koalisi Liberal-Nasional merepresentasikan kepentingan pengusaha-pengusaha besar dan petani yang menekankan pada kebebasan dan mekanisme pasar dalam mengelola kebijakan publik dan Industri Salomon, 1973. Partai Buruh Australia merupakan partai tertua di Australia yang telah berdiri sejak tahun 1891 dan dibentuk oleh kaum serikat pekerja pelabuhan yang ingin mengartikulasi kepentingan mereka untuk diperjuangkan dalam proses politik. Partai Buruh merupakan partai yang secara ideologi tidak berada dalam satu garis yang jelas atau dapat dikatakan mengambang. Hal ini karena Partai Buruh memiliki anggota yang beragam, mulai dari golongan sosialis kiri yang keras hingga mereka yang tidak menghendaki perubahan-perubahan besar pada tatanan soaial-ekonomi, sehingga kemudian banyak kepentingan yang harus diakomodasikan Hamid, 1999. Tidak ada ideologi yang dominan di dalam partai, sehingga kemudian penafsirannya bergantung kepada siapa yang memimpin partai. Namun demikian, ideologi Partai Buruh tertuang dalam mukadimah dari tujuan partai yang dirumuskan pada Konferensi Nasional 1981, yaitu Sosialisme Demokratis Wikipedia, Tujuan dari sosial-demokrasi yang dimaksud oleh Partai Buruh Australia adalah untuk menciptakan kesejahteraan umum dalam bidang perindustrian, produksi, distribusi yang dilakukan untuk menghapuskan penindasan tetapi tetap dalam prinsip demokrasi parlementer. Partai Buruh Australia mewakili kepentingan sosial demokrat yang menekankan pada perubahan cara pandang terhadap industrialisasi, dan lebih terbuka terhadap perkembangan isu-isu yang sedang terjadi seperti lingkungan dan minoritas. Selain itu, arah dari Politik luar negeri Partai Buruh juga lebih independen. Kebijakan Australia Terkait Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka Faktor dilema dalam implementasi kebijakan Australia dapat terlihat dari kebijakan setiap perdana menteri Australia yang memiliki latar belakang partai yang berbeda. Perbedaan Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 34 ini membentuk identitas dan kepentingan yang berbeda pula dalam menangani pengungsi dan pencari suaka yang datang ke Australia. Kebijakan imigrasi setiap perdana menteri Australia pada tahun 1996-2018 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kebijakan Imigrasi Australia Tahun 1996-2018 Hard Policy Pasifik Solution, Operasi Relax, Pengolahan Lepas pantai dan Visa Proteksi Soft Policy Menghapus Pasifik Solution, Menghapus Visa Proteksi, Memberikan Visa Permanen dan New Direction in Detension Julia Gillard 2010-2013 Hard Policy-Soft Policy Pasifik Solution II, Membuka Pusat Penahanan di Pulau Manus dan Nauru sertaHumanitarian Program Kevin Rudd II 2013-2013 Hard Policy Offshore Processing Centre Hard Policy Mengembalikan TPV, Operation Sovereign Border, Burn Turn Back, Offshore Processing and Settlement, Temporary Protection dan Fast-Track Processing of Asylum Claims MalcolmTurnbull 2015-2018 Hard Policy Bali Process dan Operation Sovereign Border OSB Hard Policy Operation Sovereign Border OSB Sumber Data diolah 2020 Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 35 Pada era pemerintahan Jhon Howard 1996-2007, tanggapan konservatif oleh kepemimpinan Partai Liberal ini sesuai dengan kebijakan garis keras yang diterapkannya. Dalam hal ini cenderung menolak kedatangan pengungsi dan pencari suaka dikarenakan adanya persepsi negatif, dimana pengungsi maupun pencari suaka dianggap sebagai pengganggu dan menjadi ancaman keamanan di Australia. Dalam merespon isu pengungsi dan pencari suaka, Howard menerapkan kebijakan garis keras, diantaranya Pasifik Solution, Operasi Relax, Pengolahan Lepas Pantai dan Visa Proteksi. Berdasarkan data United Nations High Commissioner of Refugee UNHCR pengungsi dan pencari suaka Australia mulai berdatangan pada tahun 1999, lonjakan pengungsi terjadi pada tahun 2006 dengan jumlah pengungsi dedangkan lonjakan pencari suaka terjadi pada tahun 2000 dengan jumlah pencari suaka. Dilanjutkan pada pemerintahan Kevin Rudd 2007-2010 dari Partai Buruh dengan tanggapan progresif, cenderung lebih mempertahankan pendekatan yang mengedepankan aspek kemanusiaan, keadilan, dan integritas dalam merespon isu pengungsi dan pencari suaka. Hal ini tercermin dalam kebijakan menghentikan Pasifik Solution, menghapus kebijakan visa proteksi mengganti dengan pemberian visa permanent, memperkenalkan kebijakan new direction in detension yang merupakan revisi dari kebijakan penahanan Australia. Pada era ini terjadi lonjakan pengungsi terjadi pada tahun 2009 dengan jumlah pengungsi dan lonjakan pencari suaka terjadi pada tahun 2010 dengan jumlah pencari suaka. Berdasarkan data UNHCR jumlah pengungsi dan pencarisuaka pada era Kevin Rudd mengalami penurunan jika dibandingkan pada era pemerintahan Jhon Howard. Pada era pemerintahan Julia Gillard 2010-2013 dibawah naungan Partai Buruh yang progresif tetapi dalam implementasi kebijakannya Australia lebih bersikap hati-hati dan cenderung berada ditengah antara kebijakan keras dari Howard dan kebijakan lunak dari Kevin Rudd. Dalam hal ini Gillard tidak menginginkan kebijakan yang dianggapnya terlalu keras terhadap pengungsi dan pencari suaka ataupun terlalu menerapkan beberapa kebijakan yaitu membuka pusat panahanan di Pulau Manus dan Nauru serta menerapkan humanitarian program. Pada era pemerintahan Gillard lonjakan pengungsi terjadi pada tahun 2013 dengan jumlah pengungsi pengungsi dan lonjakan pencari suaka terjadi pada tahun 2012 dengan jumlah Berdasarkan data UNHCR jumlah pengungsi dan pencari suaka di Australia mengalami peningkatan pada era Gillard jika dibandingkan dengan era pemerintahan Kevin Rudd. Pada pertengahan tahun 2013, Kevin Ruud kembali menjabat sebagai Perdana Menteri Australia untuk kedua kalinya. Namun sebagai seorang tokoh dari Partai Buruh, kebijakan Rudd berbeda dengan kebijakan saat pada awal pemerintahannya. Kebijakannya pada periode kedua bertentangan dengan Partai Buruh yang digelutinya dan merupakan tindakan berbalik dari soft policy progresif menjadi lebih konservatif. Hal ini disebabkan Rudd bercemin pada kegagalan kebijakan yang cenderung lunak pada saat Rudd terpilih pertama kalinya. Rudd menerapkan kebijakan yang mengarah kepada kebijakan bipartisan yang sejalan dengan kebijakan garis keras dan restriktif. Kebijakan yang diterapkan dalam penanganan isu pengungsi dan pencari suaka yakni kebijakan offshore processing. Pemerintahan Rudd tidak bertahan lama hanya dari tanggal 27 Juni 2013 hingga 18 September Rudd diganti dengan Perdana Menteri Tony Abbott 2013-2015. Pada masa pemerintahan Abbott dibawah naungan Partai Liberal yang konservatif, menerapkan kebijakan yang mengesampingkan aspek HAM dan semakin restirktif dengan menolak kedatangan pengungsi dan pencari suaka ke Australia. Berdasarkan data UNHCR, lonjakan pengungsi pada era ini terjadi pada tahun 2015 lonjakan pengungsi sebesar dan lonjakan pencari suaka sebesar Jumlah pengungsi mengalami peningkatan jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya, sebaliknya jumlah pencari suaka mengalami penurunan. Total jumlah pengungsi dan pencari suaka pemerintahan sebelumnya yakni dan sedangkan pada era pemerintahan Tony Abbott total jumlah pengungsi dan Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 36 pencari suaka yakni dan Tony Abbott menerapkan lima kebijakan utama dalam menangani isu pengungsi dan pencari suaka di Australia yakni Operation Sovereign Border, Boat Turn Back, Offshore Processing and Settlement, Temporary Protection, Fast Track Processing of Asylum Claims. Setelah Tony Abbott turun, diganti olehPerdana Menteri Malcolm Turnbull 2015-2018. Turnbull masih dengan tanggapan konservatif yang sama dengan kebijakan Tony Abbott dan menekankan bahwa cara tersebut telah terbukti menjadi satu-satunya cara untuk menghentikan kematian di laut serta memastikan bahwa kedaulatan dan perbatasan Australia tetap aman. Kebijakan sekuritisasi migrasi Turnbull dengan menggunakan speech act, dimana Perdana Menteri Malcolm Turnbull memproduksi berbagai video anti penyelundupan manusia dalam berbagai bahasa sebagai alat komunikasi efektif. Malcolm Turnbull juga menyatakan bahwa Australia akan terus memainkan peran utama dalam upaya global untuk membantu para pengungsi. Dikatakan bahwa upaya-upaya tersebut tidak akan mungkin terjadi tanpa manajemen perbatasan Australia yang kuat dan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap sistem migrasi Australia yang dikelola dengan baik. Lebih lanjut Malcolm Turnbull menyatakan bahwa tanpa kepercayaan tersebut, Australia tidak akan mampu meningkatkan asupan pengungsi dan program pemukiman kembali ketiga terbesar di dunia di angka lebih dari 35%. Setelah krisis pengungsi di tahun 2015, tidak ada perubahan signifikan dari opini publik, mayoritas warga Australia masih menyetujui kebijakan pengembalian kapal yang dilestarikan oleh Perdana Menteri Malcolm Turnbull. Lebih lanjut Vote Compass dalam ABC News 2016 menyediakan data bahwa di tahun 2013, 45% pemilih tidak menyetujui kebijakan pengembalian kapal, sedangkan di tahun 2016, terdapat penurunan penolakan terkait kebijakan tersebut yaitu di angka 41%. Tindakan pemerintahan Malcolm Turnbull juga mempertimbangkan beberapa elemen penting sebagai faktor pendukung dari proses sekuritisasinya. Elemen pertama adalah pengaruh legitimasi functional actors, seperti oposisi politik. Malcom Turnbull memundurkan diri dan diganti oleh kepemimpinan Partai Liberal, Scott Morison 2018 dengan tanggapan konservatif atas kebijakan sekuritisasi yang diambil oleh Morrison juga tidak berbeda dengan sekuritisasi migrasi masih menjadi dasar kebijakan yang diambil seperti operasi perbatasan kedaulatan yang kontroversial untuk menghentikan pencari suaka masuk ke Australia dengan perahu. Mereka pun akan dikirim kembali ke tempat mereka berasal atau dipindahkan ke kamp terpencil dipulau Pasifik Mata Politik, 2019. Bagi negara-negara transit seperti Indonesia dan Malaysia menjadi beban juga karena para pencari suaka dan pengungsi yang hendak menuju australia di halangi oleh kebijakan pemerintah Australia. Di Indonesia jumlah pengungsi yang terus ditangani IOM sebesar orang dan berada di seluruh wilayah Indonesia, padahal Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Kebijakan Australia tersebut menuai kritik dari dunia internasional. Dari penjelasan di atas, dilema terlihat dari setiap kebijakan yang berbeda oleh setiap Perdana Menteri. Kebijakan dari Partai Buruh pada umumnya lebih progresif. Hal ini disebabkan adanya konstruksi sosial Partai Buruh Australia yang didominasi oleh kelas menengah ke bawah, sehingga kebijakan yang diambil selalu memperjuangkan hak-hak buruh dan menolak adanya penindasan. Oleh karena itu, dalam hal penanganan pengungsi dan pencari suaka kebijakan Perdana Menteri dari Partai Buruh lebih bersifat soft policy. Berbeda dengan Partai Buruh, konstruksi sosial Partai Liberal didominasi oleh kelas menegah ke atas dan pada umumnya beraliran konservatif. Hal ini menyebabkan kebijakan yang diambil oleh Perdana Menteri dari Partai Liberal bersifat hard policy. Pengungsi dan pencari suaka dilihat sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan hak-hak masyarakat Australia. Berdasarkan teori konstruktivis, maka konstruksi sosial yang berbeda antara kedua partai tersebut menyebabkan adanya perbedaan identitas setiap aktor politik terkait kepentingan dan tindakan yang diambil untuk menangani pengungsi dan pencari suaka. Kontruksi Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 37 kebijakan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut Gambar 1 Skema Konstruksi Kebijakan Australia Terkait Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka Skema di atas mengambarkan dengan jelas bahwa setiap aktor politik mengkonstruksi kebijakan yang diambil berdasarkan identitas masing-masing aktor. Identitas ini menyebabkan adanya kepentingan yang tertuang dalam setiap tindakan yang diambil. Dalam hal penanganan pengungsi dan pencari suaka di Australia, dilema implementasi kebijakan terjadi saat masing-masing Perdana Menteri merumuskan kebijakan terkait migrasi dengan merujuk pada identitas ini terkait partai pendukung masing-masing Perdana Menteri. Identitas aktor terbentuk dari kontruksi sosial partai yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Australia. Kritik Internasional Terhadap Kebijakan Australia Terkait Pengungsi dan Pencari Suaka Kebijakan pemerintah Australia dengan menerapkan kebijakan garis keras bagi para pengungsi dan pencari suaka mendapat kritik dari duna internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa PBB, UNHCR serta kritik dari Lembaga Swadaya Masyarakat LSM Indonesia. Kritik dari Indonesia terkait dengan posisi Indonesia yang menjadi tempat persinggahan pengungsi dan pencari suaka yang menggunakan jalur laut ke Australia. Seperti janji Perdana Menteri Morrison saat kampanye pemilihan umum bahwa akan membatasi jumlah pemberian visa kemanusiaan selama masa pemerintahannya, Morrison juga berjanji untuk membatasi jumlah warga pendatang yang datang ke Australia setiap tahun sebagai pengungsi dan meluncurkan serangkaian langkah-langkah yang menjelaskan secara terang-terangan siapa saja yang akan diizinkan tinggal. Kritik datang dari Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet yang memiliki keprihatinan serius tentang migrasi dan kebijakan suaka Australia. Dalam pidatonya pada acara Orasi Whitlam Institute di Sydney, New South Wales pada hari Rabu tanggal 9 Oktober 2019, Bachelet mengatakan kekhawatirannya mengenai pemrosesan pengungsi yang dilakukan di luar Australia dan penahanan berkepanjangan terhadap para pengungsi dan pencari suaka. Bachelet juga mendesak adanya belas kasihan dan rasa kemanusiaan dari pihak berwenang yang mengelola masalah ini, serta keprihatinan mengenai para pengungsi dan pencari suaka yang putus asa mencari keselamatan dan martabat mereka. Mereka adalah korban dan bukan penjahat. Banyak dari mereka terpaksa mengungsi karena mereka tidak punya pilihan lain. Tentu Michelle menyayangkan sikap Australia sebagai sebuah negara migran yang SOCIAL CONSTRUCTION  Partai Liberal Kelas menengah ke atas sayap kanan tengah-konservatif  Partai Buruh Kelas bawah kaum buruh dan sosialis demokrat-progresif ACTOR IDENTITIES  Partai Liberal/Konservatif  Partai Buruh/Progresif INTEREST  Partai Liberal/Konservatif Sekuritisai Migrasi untuk menjaga kedaulatan dan hak masyarakat Australia  Partai Buruh/Progresif Menjadi negara yang menjunjung tinggi HAM dengan menerapkan prinsip Non-Refoulement Konvensi Pengungsi 1951 ACTION  Partai Liberal/Konservatif Hard Policy  Partai Buruh/Progresif Soft Policy Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 38 telah keluar dari diskusi global yang penting untuk menemukan solusi yang kooperatif. Selanjutnya kritik datang dari UNHCR terhadap kebijakan Australia tidak memiliki standar perlindungan bagi para pencari suaka. Dalam kebijakan baru Australia ini para pengungsi dan pencari suaka yang menggunakan perahu yang datang menuju Australia akan langsung dikirim ke Papua Nugini dan bila memungkinkan akan tinggal di Menteri Australia Kevin Rudd dan Papua Nugini, Peter Oneil bersepakat untuk menjadikan pulau Manus sebagai lokasi proses klaim status pencari suaka menjadi pengungsi. Namun, Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi mengatakan ada kekurangan yang signifikan pada sistem hukum Papua Nugini dalam memproses pencari suaka. Ribuan pencari suaka berusaha mencapai Australia dengan perahu setiap tahunnya. Menurut PBB, saat ini Papua Nugini tidak siap untuk menerima para pencari suaka, karena tidak adanya kapasitas dan keahlian dalam pengelolaan pengungsi dan pencari suaka. Selain itu, kritik juga disampaikan oleh sejumlah LSM Indonesia sebagai bentuk protes terhadap kebijakan tersebut. LSM ini bernama SUAKA yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Human Rights Working Group. Mereka menyatahkan bahwa kebijakan Pemerintah Australia itu tidak sejalan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan Konvensi PBB 1951 mengenai Status Pengungsi. Juru bicara SUAKA, Ali Akbar Tanjung, kepada Radio Australia mengatakan apa yang dilakukan oleh Pemerintah Australia bukanlah sebuah keberhasilan dan melanggar hak asasi para pencari suaka. Pemerintah Australia semestinya mempererat kerjasama dengan Indonesia dan negara lain untuk mendorong pihak keamanan bertindak terhadap penyelundup manusia yang memanfaatkan kondisi pencari suaka dan bukan dengan menakut-nakuti para pengungsi dan pencari suaka dengan menempatkan mereka di Papua Nugini atau Nauru yang bukan tujuan mereka. Kebijakan tersebut juga dianggap sebagai diskriminasi karena hanya berlaku bagi pencari suaka yang datang melalui perahu saja. Hal ini melanggar mandat internasional yang harus dijalankan oleh Australia sebagai negara pihak untuk menangani pengungsi dengan cara yang tertuang dalam Konvensi 1951. SUAKA berharap Pemerintah Australia mau merevisi kesepakatannya terutama soal batas waktu mereka tinggal di pulau Manus dan Nauru untuk segera mendapat status pengungsi. 5. PENUTUP Australia mengalami dilema politik luar negerinya terkait implementasi kebijakan penanganan pengungsi dan pencari suaka karena adanya perbedaan kebijakan yang dikeluarkan oleh Perdana Menteri dari Partai Buruh Australia dan Partai Liberal. Pada umumnya kebijakan Perdana Menteri dari Partai Buruh Australia bersifat progresif dan menggunakan soft policydalam menangani masalah pengungsi dan pencari suaka di Australia. Sedangkan kebijakan Perdana Menteri dari Partai Liberal lebih bersifat konservatif dengan menggunakan hard policy. Kebijakan garis keras ini menuai kritik dari dunia internasional khususnya PBB maupun negara merupakan negara persingahan yang berbatasan langsung dengan Australia seperti ini dianggap melanggar prinsip non refoulement yang tertuang dalam Konvensi Pengungsi 1951 yang diratifikasi oleh Australia serta memberikan beban kepada Indonesia sebagai negara transit dari para pengungsi dan pencari suaka tersebut. 6. DAFTAR PUSTAKA Buzan, B. 1998. People, States and Fear The National Security Problem in International Relations. Great Britain Wheatsheaf Books Ltd. Doyle, M. W., & G. Jhon Ikenberry. 1997. New Thingking in International Relations Theory. Inggris Westview Press. Evans, S. G. 2004. Foreign policy and good international citizenship, March 1990, 1–8. Hamid, Z. 1999. Sistem Politik Australia. Bandung Remaja Rosdakary. Marisa, N. L. M. A. 2018. Dilema Pemerintah Australia dalam Implementasi Prinsip Good International Citizenship pada Kebijakan terkait Pengungsi dan Pencari Suaka Pada Masa Pemerintahan Tony Abbott dan Malcolm Turnbull. Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ, Vol. 8 No. 1, 28 - 39 ISSNprint 2354-869X ISSNonline 2614-3763 39 Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Mata Politik. 2019. Digelar Hari Ini, Berikut 4 Hal Penting tentang Pemilu Australia. McDonald, M. 2005. Constructing insecurity Australian security discourse and policy post-2001. International Relations, 3, 297–320. McMaster, D. 2002. Asylum-seekers and the insecurity of a nation. Australian Journal of International Affairs, 2, 279–290. Nurcahyawan, T., & Andika, S. R. 2017. Permintaan Maaf Australia dan Prinsip Non Refoulement Studi Kasus Pencari Suaka Sri Lanka, 21. Phillips, J. 2014. Boat arrivals in Australia a quick guide to the statistics. Parliament of Australia. Phillips, J., & Spinks. 2013. Boat arrivals in Australia since 1976. Parliament of Australia. Razak, F. R. 2018. Kebijakan Unilateral Penanganan Imigran Ilegal Australia Pasca Pemilihan Umum Australia Tahun 2013. Global Jurnal Politik Internasional, 202, 137–159. Salomon, D. 1973. Australia’s Government and Parliament. Melbourne Thomas Nelson Pty. Saraswati, D. A. 2019. Sekuritas Migrasi Australia pada Masa Kepemimpinan Perdan Menteri Malcom Turnbull. Jurnal of International Relations Undip, 5, Nomor 31, 544–553. Trinawati, Y. 2013. Politik Luar Negeri Australia terhadap Indonesia di bawah Pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd. Universitas Gadjah Mada. Wendt, A. 1999. Social Theory of International Politics. Inggris Cambridge University Press. Wikipedia. Partai Buruh Australia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Zayzda, N. A. 2017. Sekuritisasi Migrasi Paksa Pengungsi Lintas- Batas di Indonesia. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, 3, Nomor 1, 43–54. ... Laporan USCRI tahun 2001 menyebutkan bahwa terdapat 373 pengungsi dan pencari suaka yang terdampar di Indonesia dimana keseluruhan pengungsi dan pencari suaka berasal dari Irak, Afghanistan, Iran, Somalia, Liberia, Sierra Leone, dan Aljazair US Committee for Refugees and Immigrants, 2001 201320142015 dengan kebijakan temporary protection visa, operation sovereign border, turn back boat policy, offshore processing and settlement, temporary protection dan kebijakan fast-track processing of asylum claims Lumentut, Pelamonia & Korwa, 2020. Pada tahun 2018 hingga saat ini, Perdana Menteri Scott Marison masih melanjutkan kebijakan sebelumnya yang tetap melarang imigran ilegal untuk masuk ke wilayah teriori Austalia dan mengembalikannya ke wilayah perbatasan seperti Indonesia atau Papua Nugini Maing & Kukab, 2020. Apa dampaknya bagi Indonesia? ...Agung PriambodoThis article aims to unravel the issues of the threat of waves of refugees and asylum seekers in Indonesia. The concept of non-traditional security is adopted in this study as a framework for analyzing social problems of refugees and asylum seekers that have an impact on national security and interests. This research uses descriptive-qualitative analysis method to draw a common thread of threats that may arise along with the implementation of Presidential Decree no. 125 of 2016 concerning Handling of Refugees from Overseas. Referring to the results of data analysis, this study draws four reasons for the possible consequences of the wave of refugees in Indonesia, including the regulations in Presidential Decree no. 125 of 2016 with other laws and regulations, the dilemma of unlimited stay permits, and the lack of budget allocations for sustainable handling of Andhika Fikri BriliantoAnwar Hanifuddin FikriIka Kurnia Hardiantyp>The purpose of this study is to describe the principle of Non-Refoulement, whether the application of the principle of Non-Refoulement is absolute or not, how urgent it is for Indonesia to apply the principle of Non-Refoulement, and how the position of Afghan refugees in Indonesia when viewed from the principle of Non-Refoulement and whether there are any sanctions obtained by Indonesia if it expels Afghan refugees from its territory. What is interesting to study is how the position of the Taliban refugees in Indonesia is viewed from the principle of Non-Refoulement, because the existence of these refugees is part of the law and the international community which indirectly involves Indonesia. The novelty of this research lies in the object studied, namely Afghan refugees and the principle of Non-Refoulement without involving other interdisciplinary legal aspects. The research method used is deductive qualitative. The results showed that the Non-Refoulement principle is a prohibition principle for expulsion of refugees, the application of the Non-Refoulement principle is not absolute based on article 33 paragraph 2 of the 1951 Convention, and Indonesia has no urgency to apply the Non-Refoulement principle. Furthermore, the position of Afghan refugees in Indonesia is as a transiting refugee and has rights in accordance with the 10 points of refugee position listed in the 1951 Convention, and no sanctions are applied if Indonesia does not accept the arrival of refugees to its country. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan prinsip Non-Refoulement , apakah penerapan prinsip Non-Refoulement itu mutlak atau tidak, bagaimana urgensi bagi Indonesia untuk menerapkan prinsip Non-Refoulement , dan bagaimana kedudukan pengungsi Afghanistan di Indonesia bila ditinjau dari prinsip Non-Refoulement serta apakah ada sanksi yang didapat oleh Indonesia jika mengusir pengungsi Afghanistan dari wilayahnya. Hal yang menarik untuk dikaji adalah bagaimana kedudukan pengungsi Taliban di Indonesia ditinjau dari asas Non-Refoulement , karena keberadaan pengungsi ini menjadi bagian dari hukum dan masyarakat internasional yang secara tidak langsung melibatkan Indonesia. Kebaharuan penelitian ini terletak pada objek yang dikaji yaitu pengungsi Afghanistan dan asas Non-Refoulement tanpa melibatkan aspek hukum interdisipliner lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas Non-Refoulement merupakan prinsip pelarangan untuk pengusiran pengungsi, penerapan asas Non-Refoulement tidak mutlak berdasarkan Pasal 33 ayat 2 Konvensi 1951, dan Indonesia tidak memiliki urgensi untuk menerapkan prinsip Non-Refoulement . Lebih lanjut, kedudukan pengungsi Afghanistan di Indonesia adalah sebagai pengungsi yang singgah dan memiliki hak-hak sesuai dengan 10 poin kedudukan pengungsi yang tercantum pada Konvensi 1951, serta tidak ada sanksi yang diterapkan apabila Indonesia tidak menerima kedatangan pengungsi ke negaranya. Dekatpelabuhan sebagai pusat perdagangan Tanahnya tidak subur untuk pertanian. Mudahnya pembangunan permukiman Tanahnya relatif subur untuk pertanian Question 4 60 seconds Q. Sebagai salah satu negara tujuan imigrasi, Australia cukup diuntungkan karena. answer choices Jumlah penduduk usia tua meningkat Laju pertumbuhan penduduk menurun 403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID yehSDfpdCB7JWgKz-ZznfLL8wVPylH7BRBtSQfeJO4eAfQNSp7aPww== Sebagaisalah satu negara tujuan imigrasi, - 24456154 aquilaazafaniya aquilaazafaniya 21.09.2019 IPS Sekolah Menengah Pertama terjawab 1. Sebagai salah satu negara tujuan imigrasi, Australia cukup diuntungkan karena . a. jumlah penduduk usia tua meningkat. b. laju pertumbuhan penduduk menurun c. beban biaya pembangunan berkurang d. Jumlah
Mengapa negara Australia menjadi salah satu tujuan migrasi dari negara lain jelaskan? Jawaban. Karena Australia memiliki ekonomi yang kuat, namun mereka kekurangan akan pekerja terampil. Mereka membutuhkan keterampilan, bakat dan pengetahuan dari pekerja mancanegara untuk memenuhi kuota tenaga kerja dan membantu Australia mengembangkan pertumbuhan Ekonomi mereka. Mengapa Australia dianggap sebagai negara yang nyaman bagi para pengungsi dari negara lain? Australia merupakan negara yang banyak dijadikan sebagai tempat untuk mendapat perlindungan atau mencari kehidupan yang lebih layak oleh para pencari suaka dan pengungsi, karena Australia merupakan negara yang ikut menandatangani perjanjian dengan United Nations High Commissioner for Refugee UNHCR dan Australia juga … Mengapa Australia sering dijadikan daerah tujuan utama dari negara negara konflik berselisih perang termasuk Timur Tengah? Australia selama ini menjadi tujuan utama pengungsi dari negara–negara konflik. Hal itu ternyata karena Australia telah memiliki hukum yang mengatur soal pengungsi. “Australia menandatangani Konvensi Pengungsi pada tahun 1951. Mengapa penduduk yang berada di wilayah benua Australia mayoritas berasal dari imigran Eropa? Jawaban Imigran eropa lebih tepatnya orang inggris. jadi pada masa itu tahanan inggris penuh maka dia mengasingkan ke suatu benua. Pulau tersebut kaya akan emas maka berdirilah negara sendiri, yaitu australia. Apa yang menyebabkan negara Australia menjadi negara maju? Australia adalah salah satu ekonomi yang paling berdaya tahan, berpertumbuhan tinggi di dunia. Australia memiliki sektor pemerintah yang efisien, pasar buruh yang luwes dan sektor bisnis yang berdayasaing tinggi. Dengan sumber daya alam yang melimpah, Australia memiliki standar hidup yang tinggi sejak abad ke 19. Mengapa Australia didominasi oleh orang kulit putih? Benua Australia merupakan benua terkecil didunia yang sekaligus menjadi negara. Benua ini Didominasi oleh Penduduk yang Berkulit Putih dikarenakan Australia ini dulunya dijajah oleh Bangsa Inggris sehingga banyak pe pendatang dari inggris kesini. Suku aslinya dulu padahal adalah suku aborigin yang memiliki kulit hitam. Mengapa benua Australia dikatakan sebagai benua yang relatif datar dan paling stabil di dunia? Jawaban. karena benua Australia hanya berupa daratan. dan hanya ada 1 Negara yaitu Australia. benua australi dikatakan stabil karena benua Australia tidak berdampingan dengan benua benua yg lain yg salin berhubungan. References Pertanyaan Lainnya1Berapakah sudut awalan pada gaya straddle?2Manakah yang merupakan contoh limbah berbentuk bangun datar?330 Apakah bilangan prima?4Apa saja contoh molekul unsur?5Bagaimana bentuk perjuangan generasi muda pada masa sekarang?6Apa saja yang termasuk dalam industri pariwisata?7Dari mana asal cerita Putri Pandan Berduri?8Apa karakter topeng Panji?9Bagaimana contoh kalimat pembuka pidato?10Follow itu artinya apa ya?Sebagaisalah satu negara tujuan imigrasi, Australia cukup diuntungkan karena . A. jumlah SDM untuk tenaga kerja bertambah B. beban biaya pembangunan berkurang C. jumla penduduk usia tua meningkat D. laju pertumbuhan penduduk menurun 11. Jumlah angkatan kerja di Jepang tahun 2060 diperkirakan mengalami penurunan lebih dari 40%. Dameskk Dameskk IPS Sekolah Menengah Pertama terjawab Sebagai salah satu tujuan imigrasi Australia cukup diuntungkan karena... A Jumlah penduduk usia tua meningkatB laju pertumbuhan penduduk menurunC beban biaya pembangunan berkurangD jumlah SDM untuk tenaga kerja bertambah​ Iklan Iklan PPT174 PPT174 JawabanD. jumlah SDM untuk tenaga kerja bertambahsemoga membantu Iklan Iklan aidilginting aidilginting Jawaban sdm untuk tenaga kerja bertambah Iklan Iklan Pertanyaan baru di IPS jawaban ada 2bantu gw​ Pendidikan sangat besar peranannya dalam menumbuh kembangkan nasionalisme. pendidikan meyebabkan terjadinya transformasi ide dan pemikiran yang mendor … ong semangat pembaharuan di masyarakat. kebijakan pemerintah kolonial belanda yang berdampak besar dalam perluasan pendidikan di indonesia adalah? Jika sesuai aturan Cultuur stelsel memberikan kemakmuran karena a. rakyat bebas memilih lahan untuk tanaman ekspor b. rakyat dibina berbisnis perk … ebunan sesuai dengan keinginan pasar c. kegiatan mengusahakan tanaman ekspor tidak terlalu diwajibkan d. rakyat dilatih menanam tanaman unggulan di seluruh hanya jangan ngasal Bentuk integrasi sosial yang terjadi akibat terdapatnya norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disebut integrasi? Berikut ini bukan merupakan faktor interen dari lahirnya nasionalisme, adalah …? Sebelumnya Berikutnya
Sebagaisalah satu negara maju di dunia, Australia rupanya menganut sistem ekonomi yang sama dengan Amerika Serikat dan Inggris, yakni sistem ekonomi liberal (pasar). Kapitalisme awal di Australia sangat diuntungkan dari tanah yang dicuri dari penduduk asli serta eksploitasi super terhadap narapidana. Kelas ini unik karena merupakan
.