ο»ΏKETIKA wacana pembentukan Badan Peradilan Khusus Pemilu pertama kali mencuat, penyikapan atas wacana ini direspons beragam, bahkan tidak lepas dari perdebatan. Di satu pihak ada yang mendukung, di pihak lain tak sedikit yang menolak. Pihak yang mendukung berargumen, kemendesakan pembentukan peradilan khusus menjadi keharusan demi menyikapi adanya benturan dan tarik ulur kewenangan antar lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi MK dan Mahkamah Agung MA. Pihak yang menolak berpendapat, pembentukan peradilan khusus pemilu dan pilkada belum dibutuhkan mengingat MK masih mempunyai kewenangan untuk menanganinya. Selain itu, dalam Pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah ditegaskan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan. Baca juga Komisioner KPU Dorong Pembentukan Badan Peradilan Khusus PemiluPolemik pembentukan peradilan khusus pemilu semakin mendapat tempatnya ketika disahkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali kota menjadi undang-undang. Pasal 157 ayat 1 UU itu mengamanatkan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Berdasarkan ayat 2, badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud dibentuk sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. MK sebagai peradilan sengketa hasil pemilu Kewenangan MK untuk menyelesaikan hasil pemilu diatur dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Dalam pasal 22E ayat 2 UUD 1945 dijelaskan, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden, dan wakil presiden, serta DPRD. Oleh karenanya, dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang MK pun ditegaskan, yang dimaksud perselisihan hasil pemilu adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kewenangan penyelesaian sengketa pemilu mengalami perluasan mencakup pula perselisihan hasil pemilukada. Dalam uji materi Perkara No. 072-073/PUUII/2004, MK berpendapat bahwa rezim pilkada langsung, walaupun secara formal ditentukan oleh pembentuk undang-undang bukan merupakan rezim pemilu, tetapi secara substantif adalah pemilu, sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi asas-asas konstitusional pemilu. Putusan tersebut memengaruhi pembentuk undang-undang untuk melakukan pergeseran pemilukada menjadi bagian dari pemilu. Oleh karena itu, pemilukada didefinisikan sebagai pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Pengisian jabatan kepala daerah secara langsung yang semula menjadi bagian dari sistem otonomi daerah bergeser menjadi bagian dari sistem pemilu yang penyelenggaraannya di bawah koordinasi KPU secara nasional. Dengan perubahan tersebut, kewenangan penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilukada dari MA dialihkan ke MK, sama halnya dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu pada umumnya. Peralihan kewenangan mengadili yang dijalankan MK sejak akhir tahun 2008 beberapa kali diuji konstitusionalitasnya. Pada uji materi dalam perkara No. 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak berwewenang mengadili perselisihan hasil pemilukada. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, MK berpendapat bahwa pemilukada sesuai Pasal 18 UUD 1945 yang masuk dalam rezim pemerintahan daerah adalah tepat. Meski tidak tertutup kemungkinan pemilukada diatur dalam UU tersendiri, tetapi tidak masuk dalam rezim pemilu seperti diatur Pasal 22E UUD 1945 yang harus dimaknai secara limitatif untuk memilih anggota DPR, DPR, DPRD, presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali. Makna ini yang dipegang teguh dalam putusan MK No. 97/PUU/XI/2013. Jika memasukan pemilukada sebagai bagian dari pemilu dan menjadi wewenang MK dalam penyelesaian perselisihan hasil, maka tidak sesuai dengan makna original intent dari pemilu. Penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil pilkada dengan memperluas makna pemilu seperti diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional. Baca juga Jimly Ada yang Usulkan, DKPP Saja yang Jadi Peradilan Khusus Pemilu Meski MK tidak lagi berwewenang mengadili sengketa pemilukada, semua putusan pemilukada tetap dinyatakan sah karena sebelum diuji, kedua pasal tersebut merupakan produk hukum yang sah. Sepanjang belum diberlakukan UU Pilkada yang baru, MK menyatakan masih berwewenang mengadili sengketa hasil pemilukada. Pada akhir masa bakti lembaga legislatif periode 2009-2014, terjadi perubahan kebijakan politik hukum, dengan diberlakukannya pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara tidak langsung melalui DPRD. Perubahan mekanisme pemilihan tersebut mendapat reaksi penolakan secara luas dari masyarakat. Menangkap reaksi tersebut, Presiden mencabut pemberlakuan aturan pilkada tidak langsung dengan menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Dalam Perppu yang mengembalikan mekanisme pemilihan secara langsung tersebut, hanya gubernur, bupati, walikota yang dipilih, sedangkan wakilnya tidak dipilih secara Perppu yang ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dalam persidangan DPR masa bakti berikutnya, Pengadilan Tinggi diberi wewenang untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan, dan dapat diajukan keberatan ke MA. Batasan perselisihan hasil yang dapat diajukan adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon untuk maju ke putaran berikut atau memengaruhi penetapan calon terpilih. Belum sempat diimplementasikan, beberapa ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 mengalami perubahan dan penyempurnaan. Beberapa materi perubahan di antaranya tentang penyelenggaraan pemilihan menjadi secara serentak dan mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilihan melalui badan peradilan khusus. Namun, UU ini tidak menegaskan kedudukan badan peradilan khusus pemilu berada di lingkungan peradilan umum maupun peradilan TUN. UU itu juga menegaskan, selama peradilan khusus belum terbentuk, MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan. Istilah pemilihanβ digunakan UU ini untuk menyebut pemilukada. Bawaslu menuju Badan Peradilan Khusus Pemilu Gagasan tentang peradilan khusus pemilu menjadi relevan dipertimbangkan karena upaya hukum dalam tahapan pemilu yang terjadi selama ini seringkali tidak dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Misalnya, terkait berlapis-lapisnya upaya hukum pemilu sehingga kontraproduktif dengan tahapan pemilu yang dibatasi jangka waktu. Fritz Edward Siregar2019. Faktanya, upaya hukum tersebut terpisah dalam beberapa lingkungan peradilan. Dengan kondisi itu, upaya hukum terhadap tahapan pemilu mengalami tantangan lebih lanjut dengan pelaksanaan pemilu serentak 2024 karena tahapan proses pemilu dan pilkada dan upaya hukum atas setiap tahapan pemilu dan pilkada tersebut akan dilaksanakan secara bersamaan pada tahun yang sama. Jika menggunakan mekanisme peradilan sebagaimana hukum positif saat ini tentu akan sulit mewujudkan pemilu yang berkeadilan. Dalam Pasal 157 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang dapat diketahui bahwa ke depan, sebelum pemilihan serentak secara nasional, akan dibentuk Badan Peradilan Khusus Perselisihan Hasil Pemilihan. Namun karena hingga saat ini badan dimaksud belum terbentuk, maka MK yang memeriksa dan mengadili perselisihan hasil pemilihan tersebut. Sementara di Pasal 474 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang diperintahkan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu tanpa adanya niat untuk menciptakan badan peradilan khusus di luar MK. Hal ini tentu saja selaras dengan kewengan MK dalam Pasal 24C ayat 1 UUD 1945. Terkait situasi tersebut, usulan untuk mentransformasi Bawaslu menjadi Badan Peradilan Khusus Pemilu menjadi semakin relevan. Satu manfaat utama dari pembentukan peradilan khusus yang bersifat otonom adalah menghindarkan pengadilan yang sudah dibentuk, baik MA maupun MK, dari intervensi yang berbau politis. Dengan demikian, pilihan mentransformasi Bawaslu menjadi Badan Peradilan Khusus Pemilu dapat diwujudkan dalam dua pilihan model. Pertama, mendesaian badan peradilan khusus yang sejajar dengan MK dan MA selayaknya penerapan di Meksiko dan Brasil. Atau kedua, mentransformasi Bawaslu menjadi lembaga semi peradilan dengan fokus utama menyelesaikan sengketa pemilu. Pilihan untuk membentuk lembaga peradilan otonom yang sejajar dengan MA dan MK merupakan pilihan ideal berdasarkan pertimbangan-perbandingan konstitusi. Namun pilihan ini sulit diterapkan di Indonesia karena membutuhkan momentum perubahan konstitusi. Selain itu sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, UUD 1945 telah memberikan peran penyelesaian sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif kepada MK. Fritz Edward Siregar2019. Sedangkan pilihan mentransformasi Bawaslu menjadi lembaga semi peradilan dipandang lebih realistis untuk dicapai karena dapat dilakukan dengan perubahan di tingkat UU. Dari transformasi yang ditawarkan, hendaknya badan peradilan khusus yang akan dibentuk dapat menjadi sentral penyelesaian permasalahan pemilu di Indonesia. Jika mengacu ke UU Pilkada, pembentukan badan peradilan khusus pemilu dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan Serentak 2024. Sejatinya konsep peradilan khsusus pemilu sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi kita. Karena itu, hal tersebut menjadi usulan yang dipandang penting untuk segera didorong pembentukannya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Bahkanmenurut Yahya Harahap (2006: 18) mengemukakan bahwa 'putusan praperadilam memang mirip dalam acara perdata. Putusan praperadilan bersifat deklarator yang berisi pernyataan tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan.".
- Artikel ini ditulis guna menjelaskan soal kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak secara lebih jelas. Soal ini dibahas untuk dimanfaatkan sebagai referensi ketika kesulitan mempelajari materi yang diterima. Berkembangnya latihan soal yang mengikuti dengan kompetensi dan kurikulum yang diterapkan terkadang menjadikan murid kesulitan memahami soal meski sudah diberikan contoh dan dipaparkan sebelumnya. Di sinilah artikel tentang kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak dibuat untuk menyelesaikannya. Dengan tujuan memberikan murid lebih menguasai setelah membaca artikel kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak yang ditulis dengan penjelasan yang lebih ringkas. Baca Juga Tujuan Diadakannya Hubungan Antarbangsa di Dunia Adalah, Kunci Jawaban PKN Kelas 11 Adik-adik dapat tahu penjelasan yang dibutuhkan dengan membaca penjelasan di bawah ini Pertanyaan Kemukakan bahwa badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak Jawaban Badan peradilan bersifat bebas dan tidak memihak adalah konsekuensi dari negara Indonesia sebagai negara hukum dan negara konstitusional sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam UUD 1945. Di bidang peradilan pidana keberlakukan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak ini dengan tegas dinyatakan di dalam KUHAP sebagai salah satu asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. Pasal 1 angka 9, yang menentukan βMengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang iniβ. Uraian Asas Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak dan Kekuasaan Kehakiman Keberlakuan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak di Indonesia merupakan konsekuensi dari negara Indonesia sebagai negara hukum dan negara konstitusional sebagaimana dengan tegas dinyatakan dalam UUD 1945. Di bidang peradilan pidana keberlakukan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak ini dengan tegas dinyatakan di dalam KUHAP sebagai salah satu asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. Di dalam KUHAP secara tegas asas ini dimuat di dalam 1. Pasal 1 angka 9, yang menentukan βMengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang- undang iniβ. 2. Penjelasan Umum angka 3 huruf e yang menentukan βPeradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilanβ. Penyelenggaraan asas peradilan yang bebas dan tidak memihak ini, menurut UUD 1945 dilaksanakan oleh Kekuasaan Kehakiman.
- Konsep peradilan bebas dan tidak memihak sudah seharusnya ada dan dijalankan di setiap negara hukum. Ini berkaitan dengan kewajiban dan wewenang hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya. Supaya keadilan dan kebenaran dapat yang dimaksud dengan peradilan bebas dan tidak memihak? Arti peradilan bebas dan tidak memihak Dikutip dari buku Hukum Jaminan Kesehatan Sebuah Telaah Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan 2020 oleh Endang Wahyati Yustina dan Yohanes Budiwarso, peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah hakim bebas dari pengaruh siapa pun dalam melaksanakan tugasnya. Hakim tidak boleh dipengaruhi dengan alasan apa pun, entah itu karena kepentingan jabatan politik maupun uang ekonomi. Konsep ini merupakan salah satu prinsip negara hukum, selain supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, dan juga Bedanya Peradilan dan Pengadilan Menurut Jimly Asshiddiqie dalam buku Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia 2010, konsep peradilan bebas dan tidak memihak ditujukan untuk menjamin keadilan dan kebenaran. Agar hal itu tercapai, tidak boleh ada intervensi dalam proses pengambilan putusan oleh hakim, baik dari kekuasaan eksekutif, legislatif, masyarakat, maupun media massa. Peradilan bebas dan tidak memihak berarti hakim tidak memihak kepada pihak mana pun, kecuali kebenaran serta keadilan. Meski begitu, dalam menjalankan tugasnya, mulai dari pemeriksaan perkara hingga penjatuhan putusan, hakim harus bersifat terbuka dan menghayati nilai-nilai keadilan yang tertanam di masyarakat. Kesimpulannya, maksud dari peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah hakim tidak boleh dipengaruhi dan bebas intervensi dari pihak mana pun dalam menjalankan kewajiban dan wewenangnya. Baca juga Sistem Hukum dan Peradilan Indonesia Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
.