BudiPradono. Budo Pradono adalah seseorang dibalik desain Dancing Mountain House. Dancing Mountain House adalah konsep rumah tanpa sekat. Karena karyanya tersebut ia berhasil mendapatkan beberapa penghargaan seperti Arcasia Architecture Awards (AAA) 2016, dan juga masuk nominasi ArchDaily Building of The Year 2018 dengan karyanya Casablanca
*BRB applying for a housing loan* Andry Trysandy Mahany 29 June 2017 1122 Dancing Mountain House is currently known as one of the best settlements in Asia. The residence has also gained an award as the Asian’s best residential project. It was designed by Budi Pradono, an architect who designed Bawen-Salatiga toll road which has been claimed as the most beautiful toll road in the world for its wonderful view. Now, let’s take a look at some facts and pictures of the project. 1. Dancing Mountain House by Budi Pradono was awarded as the best residency in Asia in Arcasia Architecture Awards AAA 2016. 2. Arcasia is Council of Asian Regional Architects, formed by 19 architecture organization in Asia. 3. Arcasia regularly holds architecture congress and awards excellent architects. 4. Dancing Mountain House became the best after putting the role of architecture among the society in its concept and combining modernization with traditions. 5. The residential project was finished in 2014 yet it became a trend again as Salatiga toll road raised its popularity lately. 6. Since Dancing Mountain House does not have blocking, it enables it to create a kinship nuance. WHAT DO YOU THINK? - This house in the Indonesian city of Salatiga was designed with multiple funnels on its roof to echo the area's mountainous topography. Pinterest. Today. Explore. When the auto-complete results are available, use the up and down arrows to review and Enter to select. Touch device users can explore by touch or with swipe gestures. 0% found this document useful 0 votes439 views11 pagesDescriptionAnalisis Dancing Mountain HouseCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsPPTX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes439 views11 pagesAnalisis Dancing Mountain HouseJump to Page You are on page 1of 11 You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Irgimendieta putra 41218120033musik cr. 452655_accom
HomeSitesAuthoritiesCollectionsHomeSitesAuthoritiesCollectionsSearch
Foto Budi Pradono “Inklusif itu mengajak semua ikut serta,” tegas Budi Pradono saat ditanya tentang makna inklusivitas. Orang tua saya sekarang sudah tiada, tapi waktu itu saya bangun Dancing Mountain House untuk orang tua saya sendiri. Mereka digusur dari rumah dinas setelah pensiun, waktu itu posisinya saya sedang di luar negeri. Ya

Desain Aristek Budi Pradono di Tanah Salatiga P House, proyek rumah individu karya arsitek Budi Pradono di tanah Salatiga dengan bangunan modern dan desain sophisticated. 17 Nov 2016 Dancing Mountain House atau P House, demikian ia disebut oleh pendirinya, arsitek Budi Pradono dari Budi Pradono Architects BPA adalah proyek rumah individu yang berdiri di tanah Salatiga, Jawa Tengah. Proyek P House melibatkan masyarakat setempat dalam pengerjaannya. “Saya menggunakan metode merancang sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat. Konstruksinya berbahan dasar bambu dengan meminjam’ bentuk-bentuk puncak gunung yang mengelilingi kota dan pedesaan Salatiga, yakni gunung Merapi, Telomoyo, Tidar dan Andong untuk atap rumah”, ujar Budi Pradono. BPA mengkombinasikan semangat artisanal dari tukang-tukang otodidak yang terbiasa membangun rumah-rumah desa dengan pengetahuan arsitekturalnya. Hasilnya adalah bangunan modern dengan desain sophisticated, yang menggunakan material tradisional semacam batu kali dan bambu. Budi juga menambahkan bahwa rumah tersebut didedikasikan untuk almarhum ayahnya, seorang pendidik dan pengajar di Salatiga. Selain membangun ingatan kolektif bagi keluarga besarnya, ia juga menggagas bangunan mungil perpustakaan umum bagi masyarakat setempat. Begitu indahnya semangat pengerjaan dan hasil karya P House, rumah ini kemudian meraih penghargaan dari Arcasia Award for Architecture AAA 2016. Oleh salah seorang juri, Rebecca Lo, dikatakan P House mampu menciptakan memori intim masa lalu dan jiwa keluarga secara sekaligus. “Saya juga kagum dengan penggunaan materi-materi di rumah lama yang ditransformasikan ke rumah baru, semacam romantika yang terus dibawa oleh keluarga, dan disaat bersamaan memberi cukup ruang publik bagi masyarakat sekitar dengan hadirnya perpustakaan” kata Rebecca.WS. Foto Dok. BPA AuthorDEWI INDONESIA ARTIKEL LAINNYA Budi Pradono yang menampilkan karya "Get Well Soon"di Galeri Nasional pada Juli silam.... Sebagai salah satu situs candi Buddha terluas di Indonesia, Nia Dinata mengangkat kisah peradaban Muarajambi dan kehidupan masyarakatnya hingga kini... Christie Basil menggunakan elemen “burung” dan “sangkar” sebagai analogi perjalanan kehidupan menuju sebuah pernikahan... Sejauh Mata Memandang berkesempatan menampilkan koleksinya dalam perhelatan yang digagas oleh Kedutaan Indonesia di Bulgaria dengan Duta Besar Iwan Bogananta Bulgaria, Albania dan Makedonia Utara ... Koleksi kapsul yang menampilkan sandal ciri khas Rajnik dan dihiasi oleh hiasan tiga dimensi khas Aidan dan Ice... Karakter wewangian yang kuat dari Dolce & Gabbana Eau De Parfum terbaru untuk tampil berani dan percaya diri... Hampir 10 tahun berlalu, Le Quartier masih dipandang sebagai salah satu restoran terdepan di Jakarta berkat komitmennya untuk selalu mengedepankan kualitas yang unggul....

esignthinking yang dilakukan oleh Budi Pradono dalam proses desain Hotel U Janevalla. Ragam akulturasi arsitektur lokal dan modern pada bangunan Dancing Mountain House di Salatiga. Ragam transformasi arsitektural bentuk hunian pasca bencana : studi kasus hunian tetap Desa di Pagerjurang dan di Desa Ngibikan

Melalui proyek residensi Dancing Mountain House atau P House, arsitek kenamaan Indonesia Budi Pradono BPA-Budi Pradono Architects merefleksikan sensasi kebaikan hidup yang memeluk alam sekitar. Kreasi unik dari P House ini berhasil meraih penghargaan prestisius dari AAA Arcasia Award for Architecture 2016. Bertempat di Hongkong Convention and Exhibition Centre, Wanchai, Hongkong pada 29 September 2016, penghargaan diberikan kepada Budi untuk kriteria proyek residensi. Arcasia sendiri merupakan Dewan Arsitek Regional Asia, yaitu institusi yang dibentuk oleh 19 organisasi arsitek se-Asia, dari Tiongkok sampai Pakistan. Indonesia menjadi anggota tetapnya, diwakili oleh IAI Ikatan Arsitek Indonesia. Salah satu misi dari Arcasia dalam memberikan penghargaan adalah mempromosikan peran arsitektur di masyarakat, dan ini sesuai dengan spirit yang dihembuskan oleh Dancing Mountain House. Rumah keluarga yang terletak di Salatiga, Jawa Tengah ini selesai dibangun pada tahun 2014 dengan bantuan komunitas penduduk desa setempat. “Saya memilih untuk menggunakan metode merancang yang sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat,” ujar Budi Pradono. Ia menambahkan, “Konstruksinya berbahan dasar bambu dengan atap rumah yang “meminjam” bentuk-bentuk puncak gunung yang mengelilingi kota dan pedesaan Salatiga, yakni Merapi, Telomoyo, Tidar, dan Andong.” Spirit tradisional dari para tukang otodidak yang terbiasa membangun rumah-rumah desa bertautan dengan pengetahuan arsitektural yang mumpuni dari seorang Budi Pradono. Hasilnya adalah perpaduan menawan antara material tradisional seperti bambu dan batu kali dengan sentuhan desain modern yang berlumur sofistikasi. Ruang-ruang rumah dibuat tidak bersekat borderless home dengan area sentral berupa ruang keluarga yang sekaligus juga menjadi ruang makan utama. Material-material di rumah lama yang ditransformasikan ke rumah baru, yang senantiasa menyuplai memori sarat intimasi dan romantika. Budi mendedikasikan rumah ini untuk almarhum ayahnya yang seorang pendidik dan pengajar di sebuah universitas lokal di Salatiga. Selain membangun ingatan kolektif bagi keluarga besarnya, Budi juga menggagas perpustakaan kecil untuk umum peninggalan ayahnya di kompleks rumah tersebut, yang bisa diakses oleh masyarakat setempat. Ruang-ruang rumah dibuat tidak bersekat borderless home dengan area sentral berupa ruang keluarga yang sekaligus juga menjadi ruang makan utama. Material-material di rumah lama yang ditransformasikan ke rumah baru, yang senantiasa menyuplai memori sarat intimasi dan romantika.

Pages21 ; This preview shows page 10 - 13 out of 21 pages.preview shows page 10 - 13 out of 21 pages.
A cultura house surgiu primeiramente com a música house. No início dos anos 80 quando os DJ’s de Chicago Estados Unidos começaram a mixar músicas da Disco em programas de bateria eletrônica. Uma danceteria chamada Warehouse onde surgiram esses DJ’s deu origem ao nome do estilo de música. No final dos anos 80 as pessoas começaram a se mover de uma maneira diferente ao som daquela batida. Esse movimento corporal ficou conhecido como Jacking. Os Clubs de Chicago e Nova Iorque desenvolveram essa cultura. A dança House não teve apenas um criador, pois foi de certa forma uma dança coletiva. Porém há nomes muito importantes que deram uma grande contribuição para esse estilo como Brian Green e Space Capitol. Características do House Dance Jacking a origem da dança house está nesse passo, pois marca o ritmo e dá a essência dessa dança. Os passos são executados no Up Tempo contra tempo, dentro da batida típica do house e sempre usa o HiHat chimbal como guia rítmico. O House tem uma grande influência da Salsa e do Tap sapateado americano. Nos anos 90 muitos movimentos de chão foram introduzidos e uma grande influência da Capoeira está presente hoje em dia nesse estilo de dança. Obs Todo conteúdo foi retirado de sites e estão sujeitos a correções.
padaobjek Dancing Mountain House ini. KATA KUNCI: material bambu, Dancing Mountain House, Budi Pradono PENDAHULUAN Dunia arsitektur saat ini tidak terlepas dari permasalahan lingkungan dan global warming. Pada masa revolusi di abad 18, dimana mulai banyak terbangun pabrik-pabrik, pembangkit listrik,

The Jakarta based architectural studio Budi Pradono Architects has designed "dancing hotel - U Janevalla hotel" that located on Aceh Street, Bandung, Indonesia. Project description by the architects Dancing Hotel was built on a site surrounded by commercial buildings and civic center. The 1000 square meter hotel stood right next to Arya Duta Hotel, which had been operating since the 90s. Behind the two hotel was Bandung Indah Plaza shopping mall. As one of the most strategic area in the city, undeniably the site would soon be surrounded by towering building complex. The challenge was to create a design adaptable to the ever-changing cityscape, relevant to both present and future urban lifestyle. image © Budi Pradono Architects Juxtaposing with the single mass typology adopted by most of the buildings on Aceh Street, the Dancing hotel was divided into two masses. A small corridor was formed between the two tower blocks, allowing natural airflow through the building, reducing excessive usage of air-conditioning. image © Budi Pradono Architects As a city, Bandung was known for its historical heritage. Since the colonial era, Bandung had been considered as one of the most important city in Indonesia, both politically and historically. An exodus of European architects, especially from the Netherland and Germany, came following the issue of Bandung replacing Batavia as the capital city of Dutch East Indies. The European architecture influence was implemented in numerous building design, transforming Bandung into an Indisch-styled city. image © Budi Pradono Architects The dilemma in designing the Dancing Hotel was to choose between retaining the Indisch influence, or adapting to modern approaches such as regionalism or minimalism. The architect felt that there was an urgency to create a new style representing the current era while responding to its surrounding context with a critique toward urbanization. Subsequently, a new architectural identity was born. West Java was well known for its traditional Jaipong dance. Its extravagant dance movement was then translated into building mass. In the end, dancing hotel became both a representation and reinterpretation of traditional art form, rather than architectural vocabulary. image © Budi Pradono Architects Every furniture was reduced to its basic function. The wardrobe was simplified into coat hanger while the cupboard was substituted with a shelve, creating a minimalist yet maximized interior space. The concept was also implemented in the usage of exposed materials and interior elements such as the pipeline. Programming was one of the most important aspect in hotel design. An outdoor café was placed right in front of the sidewalk, inviting pedestrian into the hotel. As a programming strategy to evenly distribute the visitors, fitness area, bar, café, and swimming pool was placed on the upper floors. Regarding the room’s volume, a four meter floor to floor height was chosen to give a sense of spaciousness inside the hotel rooms. As a result of widespread construction of hotels and apartments, innovation ceased to existas every space became generic and standardized. Architect Budi Pradono Architects Location Aceh Street, Bandung, Indonesia

BudiPradono Architects. Indonesia. HISTORY. 100 Study of Baan Tuk Din. Rehabilitation. 102 MATERIALS. 104 REVIEWS. 108 asa cartoon. house 5 soi sukhumvit 26 (attha krawi 1) sukhumvit rd. klongton klongteoy. bangkok 10110 thailand. T : +66 2258 2349. E : information.superpixel@gmail.com.

Budi Pradono is one of Indonesia’s most respected architects. His designs evoke an artist’s sensitivity alongside the intellectual-efficiency of a world-class designer. Through his own Budi Pradono Architects, the 46-year old has worked on myriad renowned projects, both locally and internationally. Dancing Mountain House - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA These projects have included the Pure Shi Shi Lin exhibition space in Taipei; La Danza del Nastro in Finland; the Wellness Archipelago in Kiev Island, and the Amoe Museums Park Masterplan in Korea. Then there are his much-praised and referenced residential projects around the country – the Slanted House in Pondok Indah, Jakarta; the Dancing Mountain house in Salatiga; the Canggu House in Bali; and the R House in Depok. Dancing Mountain House - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA Many of his work has garnered awards. Most recently, the Dancing Mountain house won the best residential award across Asia at the 2016 Arcasia Architecture Awards AAA in Hong Kong last September. Issi Villa - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA Born in Salatiga, Budi Pradono sharpened his architectural finesse through a wealthy resume which includes stints at the Beverley Garlick Architects Sydney-Jakarta and International Design Consultants Jakarta-San Fransisco. Budi obtained his masters at Berlage Institute in Rotterdam, Netherlands, and was the Project Architect at Kengo Kuma & Associates in Tokyo, Japan. Issi Villa - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA For Budi, architectural design is a form of applied arts, which means that it should be applicable but also enforce a high level of contribution to a space’s look and function. It should also be a space for constant progress and creation. Pure Shi Shi Lin - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA “Of course, as architects, we also have a responsibility to implement new designs in the field,” he says. For Budi, the best part of constructing a design is in seeing how seemingly-disparate elements slowly come together to form a complete whole. Pure Shi Shi Lin - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA “In the design process, there are times when we have to collect both physical and non-physical data. The most difficult of which is trying to configure an invisible data into a design, and the most satisfying is when all of your invisible data is rationalized and turned into a drawing and meshed with the building owner’s needs, which are stored in a program,” explains Budi before continuing, “That is when the light starts to shine – just like when you’re cooking and all the ingredients turn into a whole meal – and architecture starts to take shape into a cool, arousing whole.” Rumah Miring - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA Rumah Miring - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA “Of course, as architects, we also have a responsibility to implement new designs in the field.” By Budi Pradono Tentaring Kayu Manis - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA Clearly, Budis approach is a personal and emotional one. The results speak for themselves; buildings, spaces, and homes that evoke a sense of welcome without omitting function. It only makes sense that Budi has been on the receiving end of so many awarding events. Tentaring Kayu Manis - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA “That is when the light starts to shine – just like when you’re cooking and all the ingredients turn into a whole meal – and architecture starts to take shape into a cool, arousing whole.” By Budi Pradono U- Janavella Hotel - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA “Awards, for me, are recognitions from a community as well art and architecture aficionados. Of course they are encouraging in energizing us architects in continuing to create works that contribute something for humanity… and the local community,” Budi says, adding that one of his proudest awards was the one given by the prestigious Ikatan Arsitek Indonesia, the Architecture Arcasia Award. U- Janavella Hotel - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA Nature also plays into Budis designs, seen vividly in his residential projects, which all features living spaces that brush up against sceneries and its natural surroundings. It is a form of reaction towards serving the human need for an organic existence, which is slowly evaporating.” U- Janavella Hotel - Image Courtesy of Budi Pradono Architects BPA Concludes Budi, “I think, because everything is digital nowadays, and everyone is reliant on the Internet……people would like to feel close to nature. That is why, whenever I am building something that is close to nature, it is important for me to understand its surrounding environment and to try and respect it by using some the materials cut down from trees or utilizing other organic materials around.”

BudiPradono. Arsitek satu ini juga dikenal hingga mancanegara karena mendapatkan penghargaan dari Arcasia Architecture Award tahun 2016. AAA merupakan salah satu Dewan Arsitektur yang dibentuk oleh 19 organisasi yang ada di Asia. Salah satu karyanya yang dikenal dunia adalah Dancing Mountain House.
Tidak heran jika rumah karya arsitek handal akan mengagumkan dengan hasil yang penuh perhitungan. Tentu saja, rumah yang dirancang oleh para arsitek akan berbeda dengan rumah yang dirancang oleh orang rumahan. Rumah yang dirancang tersebut tidak serta merta menghasilkan bentuk sebuah rumah, namun lebih dari itu. Seperti halnya konsep yang jelas, desain rumah yang luar biasa serta tampilan rumah yang memukau. Desain rumah yang ditangani oleh para arsitek tentu tidak akan sia-sia. Hal ini terbukti dari banyaknya rumah hasil rancangan arsitek handal yang sangat menarik perhatian banyak orang. Tentu, rumah yang dirancang oleh para arsitek akan sedikitnya dijadikan sebagai inspirasi bagi banyak orang, terutama calon pemilik rumah. Seperti salah satu rumah rancangan aristek terkenal dimana beliau telah merancang desain rumah yang berbeda dari yang lain. Rumah ini dikenal dengan sebutan P House atau Dancing Moutain House. Untuk lebih mengetahui bagaimana hasil rancangan rumah tersebut? Yuk kita simak penjelasan kami di bawah ini! Dancing Mountain House atau yang sering disebut dengan P House ini yakni karya Budi Pradono Architects BPA. Beliau telah berhasil mendapatkan penghargaan sebagai proyek residensial terbaik seantero Asia dalam Arcasia Architecture Awards AAA tahun 2016. Perlu Anda ketahui bahwa Arcasia yakni sebuah Dewan Arsitek Regional Asia yang dibentuk oleh 19 organisasi arsitek se-Asia. Untuk institusi ini, Indonesia tentunya diwakili oleh Ikatan Arsitektur Indonesia IAI yang juga sebagai anggotanya. Rumah dengan konsep rumah yang luar biasa ini dirancang dengan menyisipkan rumah dengan perpustakaan untuk berbagi pengetahuan kepada penduduk setempat. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat Dancing Mountain House ini berasal dari rumah-rumah tua dengan memaksimalkan penggunaan bahan-bahan lokal yang tersedia di daerah sekitarnya seperti bambu, tanah liat, batu, dan batu bata. Rumah ini juga dibangun oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi. Yang membedakan P House dengan rumah lainnya dimana P House ini menggunakan teknologi asli yang digunakan oleh masyarakat yang ahli dalam sistem struktur bambu dan juga kerajinan batu lokal. Proyek ini setidaknya bertujuan untuk menonjolkan rumah-rumah Desa Jaw. Dimana dengan menambahkan bentuk pegunungan di beberapa ruang sebagai sebuah interpretasi pegunungan di sekitarnya. Atap di dalam rumah ini dibuat terbuka yang sekaligus berfungsi sebagai cahaya langit guna mendapatkan cahaya alami sebanyak mungkin ke dalam rumah tersebut. Secara umum, material bahan yang digunakan untuk membuat rumah ini yakni dari bambu sebagai bahan struktur utama yang mudah ditemukan di sekitar proyek bangunan rumah tersebut. Jika dilihat dari desain rumah tersebut, maka Dancing Mountain House atau P House termasuk ke dalam jenis rumah unik. Ingin tahu seperti apa keunikan dari P House ini? Yuk kita simak dibawah ini! Dancing Mountain House Sebagai Rumah Bertajuk Tradisional Dancing Mountain House yang dirancang oleh Budi Pradono ini memang lebih mengedepankan sisi tradisional. Dapat dilihat di lingkungan tersebut tentunya hampir semua pohon besar yang ada di lingkungan tersebut dipertahankan. Hal ini untuk menonjolkan rumah tersebut bertajuk alam. Di tengah taman tersebut dapat Anda temukan sebuah pohon pule’. Pohon ini diketahui menjadi salah satu pohon yang digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tidak heran jika pohon yang satu ini sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Dancing Mountain House Dibuat Untuk Perpustakaan Terbuka Pemilik rumah P House yang dirancang oleh Budi Pradono ini merupakan seorang pensiunan dosen yang ingin berbagi koleksi buku ekonomi dan sains kepada masyarakat sekitar. Mereka menghargai struktur bambu yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat saat ini. Pada awalnya rumah ini dibuat sebagai sebuah hunian untuk anaknya, akan tetapi karena tinggal diluar kota, maka dibuatkan rumah ini sebagai sebuah perpustakaan kolektif untuk berbagi ilmu. Perpustakaan atau ruang belajar dibuat dengan geometri lain yakni bentuk oval yang berdiri terpisah sebagai paviliun. Diharapkan dengan adanya bangunan ini, maka masyarakat sekitar dapat memanfaatkan keberadaan buku-buku di perpustakaan dengan sebaik-baiknya. Dikarenakan pada awalnya akan digunakan sebagai sebuah hunian, maka ruang tidur dioperasikan secara mandiri dan tetap tertutup. Sedangkan untuk semua area publik benar-benar terbuka dan menghadap ke arah taman dan juga hutan tropis di depannya. Dancing Mountain House Dirancang Dengan Konsep Rumah Pedesaan Karena proyek ini berada di daerah terpencil pinggiran kota kecil, proyek ini menggunakan sinar matahari sebagai cahaya alami di siang hari dan menggunakan pemanas air matahari untuk mandi. Saat musim hujan, maka air hujan dikumpulkan yang akan digunakan selama musim kemarau. Sedangkan untuk depan rumah tersebut menghadap sebuah taman sehingga memungkinkan dalam jumlah paling banyak mendapati cahaya. Karakter proyek ini menunjukkan interpretasi kontemporer tentang bentuk rumah desa sederhana. Karakter struktur bambu dominan tentu cukup signifikan. Penggunaan bambu sebagai bahan atap tentu sebagai bahan material yang baru dan dibangun disana. Sedangkan dari kejauhan bangunan-bangunan tersebut tampak seperti rumah-rumah di pedesaan. Lokasi dan Kondisi Dancing Mountain House Dancing Moutain House atau P House ini terletak di ketinggian 2000 m di atas permukaan laut dan terletak di punggung Gunung Merbabu yang dikelilingi oleh beberapa gunung lain seperti Gunung Merapi dan Gunung Telomoyo. Daerah ini cukup dingin dengan suhu rata-rata sekitar 17-22 ° C. Secara konseptual proyek ini mencoba untuk menonjolkan kenangan masa kecil keluarga dengan keterbukaan dengan berbagi ruang. Kamar mandi utama adalah ruang sosial di mana masih bisa berinteraksi dengan ruangan lainnya Sedangkan ruangan lain dihubungkan oleh ruangan inti seperti dapur, lounge, pantry, ruang makan dan ruang keluarga sehingga semuanya benar-benar terbuka. Secara teknis, proyek ini memberikan contoh penggunaan bambu dengan menggunakan teknik lama dan juga teknologi baru untuk masyarakat sekitarnya. Dari sudut pandang ekonomi dan sosial, proyek ini dibangun dengan menonjolkan aspek ekonomi dan juga budaya di daerah sekitarnya. Dancing Mountain House Dibuat Dengan Material Alami Kesederhanaan dari rumah ini tentunya merupakan tema kedua yang ditonjolkan oleh proyek ini. Material bahan yang digunakan untuk membangun rumah ini yakni seperti batu bata, bambu, dan batu dengan cara lain. Pintu-pintu yang digunakan di setiap ruangan adalah pintu daur ulang dari rumah tua, tentu hal ini sebuah strategi penggunaan bahan daur ulang. Bahan – bahan yang digunakan diantaranya • Infill bata merah dan batu • Fasad batu, bata, kaca • Lantai beton ekspos, pecahan bambu kamar tidur dan batu andesit kamar mandi • Langit – langit pecahan bambu dan kertas insulasi • Lainnya profil baja dan kaca Demikianlah beberapa keunikan dari Dancing Mountain House atau P House yang ternyata wajib untuk Anda ketahui. Semoga bermanfaat! .
  • ldvac27rlz.pages.dev/342
  • ldvac27rlz.pages.dev/201
  • ldvac27rlz.pages.dev/828
  • ldvac27rlz.pages.dev/529
  • ldvac27rlz.pages.dev/736
  • ldvac27rlz.pages.dev/148
  • ldvac27rlz.pages.dev/182
  • ldvac27rlz.pages.dev/172
  • ldvac27rlz.pages.dev/378
  • ldvac27rlz.pages.dev/209
  • ldvac27rlz.pages.dev/258
  • ldvac27rlz.pages.dev/504
  • ldvac27rlz.pages.dev/917
  • ldvac27rlz.pages.dev/96
  • ldvac27rlz.pages.dev/13
  • dancing mountain house budi pradono